“Apalagi cuma dipenjara, jurnalis dibunuh sudah biasa. Di sini nyawa siapa pun murah! Kamu harus sangat hati-hati masuk ke isu-isu sensitif baik bagi negara ataupun bagi rakyat Turki sendiri.”
Kamis, 21 Januari 2016, kelar sejenak dari urusan tesis tentang nobelis sastra Orhan Pamuk, saya pergi dari Istanbul menuju Bursa, sebuah kota penting dalam peta sejarah politik Turki pra-Konstantinopel. Saya datang ke sana atas undangan ringan Serhan Sopyan, kawan keturunan Albania yang menyebut dirinya seorang Atatürkçü atau Kemalis. Asosiasi tempatnya bergiat, bernama Atatürkçü Düşünce Derneği atau Organisasi Pemikiran Atatürk (disingkat ADD), akan mengadakan satu acara peringatan pada 24 Januari untuk Uğur Mumcu (1942-1993), jurnalis dan pemikir yang terbunuh karena keberaniannya menentang kekerasan negara.
Berangkat menuju Bursa dari Istanbul bagian Eropa adalah sepucuk kenikmatan dunia tiada tara yang sekaligus meringkus kerinduan saya kepada Tanah Air. Penyebabnya adalah Laut Marmara, terusan selat Bosphorus yang membelah Istanbul sebelum ke Laut Hitam. Dengan memakai kapal ferry yang berdurasi sekitar setengah jam, saya seperti berlayar di selat Madura, dari Surabaya. Tetapi tanah yang menyambutku kali ini bukan Madura, melainkan Yalova, tetangga Bursa!
Tanggal 22 Januari adalah perjumpaan pertama saya dengan mereka di kantor ADD sendiri. Meski warisan sekulerisme Atatürk pelan-pelan mulai ditinggalkan dan dihapus oleh penguasa berideologi Islamis AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan), proses transfer dan penanaman ideologi sekuler dan Kemalisme terus berlangsung, salah satunya melalui ADD yang telah hadir nyaris ke semua kabupaten di Turki. Proses ideologisasi di Turki—baik nasionalis, Islamis, komunis ataupun kaum sekuler—sudah sampai pada tahap yang natural; terinternalisasi ke dalam laku keseharian mereka. Artinya, secara mayoritas paradigma, pola pikir dan prilaku rakyat Turki bisa dibaca dan dipahami menurut posisi ideologinya masing-masing. Yang abu-abu sedikit!
Kali ini saya tengah berada dalam lingkaran kecil komunitas anak-anak muda sekuler, para pelanjut perjuangan Atatürk. Gedung tak begitu mewah itu terletak tepat di pinggir sungai bernama Kirmasti (Yunani Kuno: Kremaste), atau orang lokal sendiri lebih akrab menyebutnya dere (sungai kecil/anak sungai), Kirmasti Deresi. Orang-orang Turki mempunyai persepsi sendiri untuk menyebut sungai (nehir/river/bengawan): airnya besar dan tak mati, misalnya Dicle Nehri (Sungai Tigris), Fırat Nehri (Sungai Euphrate), Aras Nehri (Sungai Aras), dll yang mempunyai panjang hingga ratusan kilometer, bahkan melintasi negara lain.
Tepat di tepi dere di tengah kota Mustafakemalpaşa saya bersama anak-anak muda dan pelajar SMA yang aktif menjadi lokomotif dan penggerak dalam organisasi penyelamat pemikiran dan idelogi sekuler tersebut menyiapkan sebuah acara memorial untuk mengenang seorang jurnalis penting yang dilenyapkan nyawanya: Uğur Mumcu.
Di lantai yang sama ada birahane (warung bir) yang menghadap ke samping. Sejak masuk ke ruangan kantor ADD di Mustafakemalpaşa, saya mencium aroma bir sedikit liar. Untuk memastikan, saya menghampirinya yang hanya berjarak sekitar belasan langkah dari pintu masuk kantor ADD. Untuk ukuran sebuah kota kabupaten, Mustafakemalpaşa dapat dibilang sebagai kota di mana ruh dan spirit sekulerisme Kemalis masih terasa berdetak. Di sini cukup mudah dijumpai meyhane (bar), pavyon (klub malam) dan jenis-jenis tongkorangan berbau alkohol lainnya, sebentuk identitas yang ditanamkan dan didukung oleh para Kemalis.
Budaya minum bir berjalan bersamaan dengan proyek modernisme di bawah Atatürk yolu (jalan/cara Atatürk), yaitu di antaranya jalan kebebasan rakyat, jalan ilmu pengetahuan, jalan bangsa Turk (yang unggul dan tercerahkan), jalan kemenangan, jalan pemikiran, jalan demokrasi, dan jalan modernisme dan negara hukum (Güventürk, 1963: 26). Juga, penamaan atas kabupaten ini, nisbat kepada Bapak Republik Turki Mustafa Kemal Atatürk yang juga dikenal dengan Mustafa Kemal Paşa, pun menancap dalam memori orang-orang setempat. Menyebut nama Mustafakemalpaşa yang tergenang dalam pikiran rakyat Turki, khususnya orang lokal di kabupaten itu, adalah Mustafa Kemal Atatürk itu sendiri.
Jurnalis Dibungkam
Jauh sebelum Mumcu, jurnalis yang tewas dibunuh di Turki berjumlah puluhan. Menurut data Committee to Protect Journalists, Turki kerap menduduki tiga teratas sebagai negara yang paling banyak memenjarakan wartawan, selain Tiongkok dan Iran. Pada 2013 misalnya, ada 40 wartawan yang dibui otoritas Turki (posisi teratas tahun itu). Yang terbaru adalah penangkapan wartawan kawakan Can Dündar, pemimpin redaksi Cumhuriyet, pada November 2015. Dalam lima tahun terakhir, menurut sebuah laporan, kebebasan pers di Turki mengalami kemunduran seiring aturan ketat terbaru yang mendukung penyensoran negara terhadap situs web dan media sosial.
“Apalagi cuma dipenjara, jurnalis dibunuh sudah biasa. Di sini nyawa siapa pun murah! Kamu harus sangat hati-hati masuk ke isu-isu sensitif baik bagi negara ataupun bagi rakyat Turki sendiri,” pesan Serhan suatu waktu ketika saya mengutarakan rencana dan ketertarikan riset ihwal gerakan suku Kurdi di Turki bagian Timur dan Tenggara.
Menurut rilis Çağdaş Gazeteciler Derneği (Progressive Journalists Association), salah satu persatuan jurnalis berpengaruh selain Türkiye Gazeteciler Cemiyeti (The Turkish Journalists' Association), jurnalis yang terbunuh di Turki berjumlah 77 orang. Sebanyak 19 jurnalis-cum-penulis dari 77 tersebut dilenyapkan pada masa-masa akhir keruntuhan Kesultanan Ottoman.
Dalam sejarah kelam penghilangan nyawa jurnalis, Tevfik Nevzat dapat dicatat sebagai nama perdana yang tewas karena dibunuh ketika dikirim ke penjara. Selain tempat lahirnya di Izmir, tak ada catatan resmi kapan tanggal dan tahun Nevzat lahir. Yang terekam dalam jejak sejarah adalah bahwa sejak tahun 1884 Nevzat bersama sastrawan terkenal masa awal republik Halit Ziya Uşaklıgil (1866-27 Maret 1945) menerbitkan majalah sastra bernama Nevruz. Pada November tahun 1886 mereka berdua mempelopori terbitnya sebuah harian bernama Hizmet. Pun novel pertama Halit Ziya Uşaklıgil mulai diterbitkan secara bersambung di harian tersebut.
Karena media yang mereka dirikan dianggap berseberangan dengan pemerintahan masa-masa akhir kesultanan Ottoman di bawah Abdülhamit II, akhirnya Tevfik Nevzat dikirim ke sebuah penjara di Provinsi Adana. Di penjara tersebut Nevzat dibunuh pada 19 Maret 1905 dan keberadaannya hilang lenyap tanpa kabar.
Setelah Tevfik Nevzat, nama-nama jurnalis-cum-penulis yang dilenyapkan pada akhir era Ottoman adalah Hüseyin Kami (Konya, 26 Maret 1905), Hüseyin Hilmi Bey (Istanbul, 6 April 1905), Hasan Fehmi Bey (Istanbul, 6 April 1909), Ahmet Samim (Istanbul, 9 Juni 1910), Zeki Bey (Istanbul, 10 Juli 1911), Silahçı Tahsin (Istanbul, 27 Juli 1914), Rupen Zartanyan (Istanbul, 24 April 1915), Siamanto (Istanbul, 24 April 1915), Yervant Sırmakeşliyan (Erukhan) (Istanbul, 24 April 1915), Armen Darian (Istanbul, 24 April 1915), Levon Laents (Istanbul, 24 April 1915), Tılgdadints (Istanbul, 24 April 1915), Krikor Zohrab (Urfa, 15 Juli 1915), Taniel Varujan (Çankırı, 13 Agustus 1915), Rupen Sevag (Çankırı, Agustus 1915), Hasan Tahsin (Osman Nevres) (Izmir, 15 May 1919), Ali Kemal (Izmit, 6 November 1922) dan Ali Şükrü Bey (Ankara, 2 April 1923).
Setelah Turki menjadi republik, pemenjaraan dan pembunuhan terhadap jurnalis terus berlangsung sengit, termasuk terhadap Hrant Dink (tewas 19 Januari 2007), Ahmet Taner Kışlalı (21 Oktober 1999), Sayfettin Tepe (29 Agustus 1995), dan Onat Kutlar (11 Januari 1995). Ada pula kasuspenculikan dan penghilangan paksa, misalnya menimpa Nazım Babaoğlu (hilang 12 Maret 1994) dan İhsan Uygur (6 Juli 1993).
Ada beragam cara dan pelaku eksekusi terhadap para wartawan dan pemikir Turki ini. Pelaku terbanyak adalah agen negara atau intelijen dengan memasang bom atau membunuhnyadi tahanan. Tetapi ada juga pelakunya dari warga sipil sebagaimana terjadi pada Hrant Dink dan Kamil Başaran. Pelaku penembakan terhadap Dink adalah bocah berusia 17 tahun bernama Ogün Samast. Sementara Başaran ditembak oleh pemilik restoran hanya karena tidak suka dengan caranya menulis dan menurunkan liputan.
Di Turki, yang masyarakatnya sangat dinamis dalam haluan politiknya, kita cukup mudah mengenali individu atau kelompok sebagai kawan dan lawan. Selama studi dan tinggal di Turki dalam tiga tahun terakhir, saya menjumpai kecenderungan bahwa seseorang yang berseberangan secara ideologis akan sulit untuk menjadi kawan (dalam arti kompromis) bila sudah bertemu di arena politik. Perjuangan kelompok-kelompok politik ini acapkali bermuncratan darah, pelenyapan nyawa, dan tidakan teror lain.
Kaum sekuler akan sangat sulit mencapai titik temu dengan kelompok Islamis dalam konteks perjuangan ideologi mereka. Sama halnya gejolak massa nasionalis dan ultra-nasionalis melawan kelompok lain yang membawa bendera etnis selain Turk, misalnya HDP (Partai Rakyat Demokratik) yang berafiliasi dengan suku Kurdi. Belum lagi massa komunis yang diwakili oleh Partai Komunis Turki (TKP) dan kelompok-kelompok devrimci (revolusioner) lain yang berafiliasi dengan Marxist-Leninist seperti Front-Partai Pembebasan Rakyat Revolusioner (DHKP-C). Salah satu ketegangan kutub ideologis itu terlihat dari pemilu tahun lalu. Karena macet mencapai solusi di parlemen untuk membentuk pemerintahan dari pemilu 7 Juni 2015, digelarlah pemilu ulang pada 1 November.
Di bawah AKP, dengan membawa ideologi Islamis dan memakai jalan demokrasi, kutub ketegangan ideologi Turki bisa sedikit reda. Kelompok-kelompok yang sebelumnya berseberangan seperti kaum nasionalis (yang mendefinisikan diri Turk-Islam) dan komunitas suku Kurdi religius akhirnya mulai bisa dirangkul oleh penguasa dengan mempertemukan spirit dan simbol Islam. Namun ideologi kelompok sekuler-Kemalis berhaluan Atatürk yolu, seperti juga ditunjukkan oleh Uğur Mumcu, jelas tidak akan bisa bertemu dengan ideologi AKP.
Spirit Atatürk dan Mumcu yang ingin Turki menjadi independen dalam konteks ekonomi-politik belum bisa ditunaikan oleh AKP, karena praktik ekonomi dan politik pemerintah Turki cenderung liberal. Titik kontras itu tetap memupuk konfrontasi ideologis antara AKP dan CHP (Partai Rakyat Republik), corong kaum sekuler. Apalagi warisan-warisan sekulerisme ala Atatürk pelan tapi pasti mulai ditinggalkan.
Uğur Mumcu
Di seberang Kirmasti Deresi ada monomen patung Mustafa Kemal Atatürk, sebuah situs wajib di setiap daerah di Turki. Di area patung tersebut acara untuk mengenang Uğur Mumcu dihelat. Sebuah siang musim dingin, tepat tanggal 24 Januari sekumpulan massa yang didominasi anak-anak muda mengelilingi patung, membawa foto Uğur Mumcu dengan dihiasi bunga dan memampang figura para tokoh sekuler. Mereka lalu membaca Vurulduk Ey Halkım Unutma Bizi (Wahai Rakyatku, Ingat Kami yang Telah Dibunuh), sebuah puisi pamflet yang ditulis sendiri oleh Uğur Mumcu dan selalu dibaca oleh generasai-generasi Kemalis untuk mengenang tokoh-tokoh penting mereka yang hilang atau dibunuh.
Untuk menangkap pesan puisi pamflet tersebut, saya ingin menerjemahkan satu bait saja dari Vurulduk Ey Halkım Unutma Bizi seperti berikut ini:
Petani miskin di Giresun, kami mati demi kalian.
Pekerja tembakau di Aegean, kami mati demi kalian.
Orang-orang kampung tak bertanah di daerah Timur, kami mati demi kalian.
Para pekerja di Istanbul, di Ankara, kami mati demi kalian.
Di Adana, para pengumpul kapas dengan tangannya yang terberai lebur, kami mati demi kalian.
Kami ditempak, digantung, wahai rakyatku, ingat kami yang telah dibunuh....
“Bizler Uğur Mumcu'nun etrafa dağılıp saçılan her parçasıyız, Mustafa Kemal'in gösterdiği yol onun açtığı ışıktan yürümeye devam edeceğiz,”* ujar Zeynep Nida Ortalık, ketua sayap pemuda ADD Mustafakemalpaşa, di sela-sela obrolan kami.
Uğur Mumcu lahir di Provinsi Kırşehir (Anatolia Tengah) 22 Agustus 1942. Mumcu menempuh pendidikan di Ankara hingga menyelesaikan sekolah hukum di Ankara University pada tahun 1965. Sejak awal kuliah Mumcu sudah dikenal sebagai aktivis gigih dan revolusioner. Di usia 20 tahun, Mumcu menulis artikel berjudul “Türk Sosyalizmi” di mana artikel ini menjadi pemenang pada lomba kepenulisan, semacam manifesto awal untuk jalan perjuangannya kelak. Setelah lulus sarjana Mumcu bekerja sebagai praktisi hukum, kemudian pada tahun 1969 mengakhiri karirnya di ranah hukum dan kembali ke almamaternya, bekerja menjadi asisten dosen hingga 1972.
Tahun 1960-an hingga 1990-an, saat banyak rekannya yang jurnalis dan pejuang kemandirian Turki tewas dibunuh, Mumcu adalah salah satu suara yang lantang. Saat rekannya Abdi İpekçi, redaktur utama Milliyet, dibunuh pada 1 Februari 1979, Mumcu menulis di harian Cumhuriyet pada 1 Februari 1980 bahwa “kekuatan negara tidak cukup mengungkap” pembunuhan itu. İpekçi dikenal berkat kolom-kolomnya yang menyuarakan kebebasan berekspresi, Kemalisme, dan Turki yang independen. Pembunuhan terhadap İpekçi kelak dialami Mumcu sendiri.
“Mumcu adalah seorang Kemalis sejati, dikenal sebagai sosok yang gigih mengaplikasikan nilai-nilai Kemalisme tetapi harus meregang nyawa lebih awal. Tanpa memperhatikan ideologi, Mumcu berjuang melawan segala bentuk emperialisme demi menjaga hak-hak rakyat dan sekaligus menunjukkan kecintaannya kepada mereka. Hari ini orang yang tidak mengerti Uğur Mumcu saya pikir mereka tidak paham politik. Kami harus meniru pendirian dan keberaniannya. Kegiatan anma programı seperti ini dihelat di seluruh Turki oleh ribuah orang,” tambah Zeynep.
Pendirian dan keberanian Uğur Mumcu sudah terlihat sejak dirinya bekerja sebagai penulis kolom di surat kabar. Selain bekerja di Cumhuriyet sebagai penulis kolom tetap, Mumcu sempat menulis di beberapa surat kabar seperti Akşam, Yeni Ortam dan Milliyet. Karena tulisan-tulisannya yang kritis dan tajam melawan negara, Mumcu akhirnya dipenjara untuk pertama kalinya setelah kudeta meliter tahun 1971. Setelah keluar dari penjara, Mumcu semakin menjadi-jadi bersuara melawan segala bentuk kekerasan negara dan kedekatan Turki dengan negara imperealis, seperti Amerika dan Israel.
“Evet, ülkemiz işgal altındadır; evet, güzel yurdumuz işgal edilmiştir. Evet, yeraltındaki kanlı çeteler ülkemizi işgal etmiştir,”** tulis Mumcu di harian Cumhuriyet, 11 Desember 1979.
Pekerjaan yang mengantar Mumcu pada kematian adalah sebuah proyek investigasi independen untuk mencari hubungan antara PKK (Partai Pekerja Kurdistan) dengan Organisasi Intelejen Nasional (MIT) Turki. Umcu percaya ada keganjilan di balik badan intelejen Turki terhadap PKK dan Abdullah Ocalan, sebagai pendirinya. Tetapi, sebelum kerja investigasi tersebut selesai, Mumcu tewas di halaman rumahnya pada 24 Januari 1993 ketika ia menghidupkan mesin mobil. Sebuah bom plastik yang dilekatkan di mobilnya meledak. Banyak yang menduga kematiannya terkait investigasi independen ketika dia menyelidiki hubungan antara Partai Pekerja Kurdistan (PKK) dan Organisasi Intelijen Nasional Turki. Proses keadilan atas kematiannya masih buram sampai kini, meski banyak yang meyakini melibatkan peran Mossad (dinas rahasia luar negeri Israel), CIA (dinas intelijen AS), dinas rahasia Turki, kekuatan negara dan bersenjata Turki, serta PKK sendiri.
Sebagai upaya mengenang perjuangannya, keluarga dan rekan-rekannya mendirikan sebuah yayasan bernama Uğur Mumcu Araştırmacı Gazetecilik Vakfı (Uğur Mumcu Investigative Journalism Foundation) pada Oktober 1994.
Setelah orasi dan pembacaan puisi pamflet, sekolompok massa melakukan yürüyüş (long march) dengan membentangkan bendera Turki dan simbol Mustafa Kemal Ataturk. Kemudian simbol-simbol anma yang hari itu dipakai untuk mengenang Mumcu mereka taruh di bawah patung Atatürk dengan sebuah spanduk bertuliskan: TERÖRÜ LANETLİYORUZ (Kami mengutuk Teror).
Malam harinya, bersama Serhan dan teman-teman pemuda aktivis Kemalis yang lain, kami mengumpulkan barang-barang yang sehari tadi dipasang di monumen Atatürk tengah kota Mustafakemalpaşa. Inventaris itu kami simpan kembali di kantor ADD. Di malam musim dingin yang pucat, saat rintik-rintik salju tipis menerpa halus, kami meluncur ke sebuah meyhane. Di sana musik arabesk mengiringi kami memuncaki malam….
Note:
* Kami semua adalah bagian dari Mumcu yang dihabisi dan dicerai-beraikan, kami akan melanjutkan perjuangannya kepada jalan cahaya yang telah ditunjukkan oleh Mustafa Kemal.
**Ya, negeri kita berada di bawah pendudukan; ya, negeri kita yang indah ini telah dijajah. Ya, para mafia keparat telah mencabik tanah ini.
Turki, Januari-Februari 2016
*) Tulisan ini disalin dari Pindai.org dengan versi lebih panjang.
Daftar Bacaan
Mumcu, Uğur (2000). Dost Yüzlerde Zaman, UM:AG (Uğur Mumcu Araştırmacı Gazetecilik Vakfı): Ankara
Mumcu, Uğur (2000). Polemikler, UM:AG (Uğur Mumcu Araştırmacı Gazetecilik Vakfı): Ankara
Mumcu, Uğur (1997). Terörsüz Özgürlük, UM:AG (Uğur Mumcu Araştırmacı Gazetecilik Vakfı): Ankara
Mumcu, Uğur (1999). Söze Nereden Başlasam?, UM:AG (Uğur Mumcu Araştırmacı Gazetecilik Vakfı): Ankara.
Mumcu, Uğur (1999). Bu Düzen Böyle mi Gidecek?, UM:AG (Uğur Mumcu Araştırmacı Gazetecilik Vakfı): Ankara.
Güventürk, Faruk (1963). Gerçek Kemalizm, Okat Yayınevi: İstanbul
Bernando J. Sujibto
Penulis dan Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi di Selcuk University, Konya Turki. Sedang merampungkan riset tesis tentang karya Orhan Pamuk. Follow Twitter @_bje.