(Berikut ini adalah cuplikan satu bab novel terbaru Orhan Pamuk berjudul “Malam-Malam Wabah”, diterjemahkan dari bahasa Turki oleh tim kami, Bernando J. Sujibto).
Gubernur Sami Pasha berpikir keras tentang usaha pentingnya karantina kepada syekh Hamdullah. Pasha mengenal syekh itu segera setelah dia ditugaskan ke pulau itu lima tahun lalu. Waktu itu, dia tampil dengan perawakan seorang lelaki yang lemah lembut, sopan, dan penuh kasih sayang dengan minat yang kuat terhadap karya sastra. Mungkin pembawaanya masih begitu. Di tahun pertama, mereka pernah berbincang hal ihwal kehidupan, buku, dan spiritualitas. Meskipun bersahabat, langkah karantina kali ini tidak akan berjalan baik untuk persahabatan maupun negara, dan sialnya urusan bisnis akan berpindah ke ranah internasional.
Karena penulis utama dua surat kabar berbahasa Yunani Adekatos Arkadi masih berada dalam penjara bawah tanah, Gubenur Pasha memanggil editor utama Neo Agnos ke hadapannya agar menuliskan berita tentang upaya disinfektan terhadap pondokan syekh Hamdullah jika besok surat kabar itu terbit. "Tidak perlu berita lain untuk topik ini," pintanya. Dengan kebohongan yang tak perlu yang seolah-olah terjadi wabah kolera, sang gubernur berkata "baru keluar dari oven!" sembari menawarkan buah prem, kenari, dan kopi kepada jurnalis muda nasionalis Yunani ini, yang sebelumnya pernah dijebloskan ke penjara dan surat kabarnya dibredel berkali-kali. Tepat di pintu ketika hendak keluar, Pasha mengancamnya sembari tersenyum dan mengatakan bahwa tugas media adalah mendukung sultan dan negara, jangan berbuat ceroboh terhadap krisis dan bencana yang melanda hebat di mana Istanbul dan dunia sangat peka terhadap masalah ini, jika tidak ingin kembali menanggung risiko.
Keesokan harinya, petugas juru tulis membawa koran Neo Agnos yang baru saja naik cetak. Petugas penerjemah dengan hati-hati membacakan berita kepada Pasha yang diterjemahkan dari bahasa Yunani ke bahasa Turki dengan suara jelas.
Yang dikatakan Gubernur Pasha untuk “jangan ditulis!” dalam berita sepertinya tetap ditulis dengan sangat jelas, diumumkan ke seluruh pulau dan dunia bahwa tim disinfektan ditolak masuk di gerbang pondok Helveki. Di tengah berita yang tersebar, Pasha menginginkan rasa puas terhadap kabar ini terus diperluas. Gubernur ingin segera melihat bahwa berita ini telah membuat para ahli jimat, para petani yang taklid kepada syekh, para pemuda imigran Kreta yang pemarah, semua umat Muslim, dan bahkan yang paling tercerahkan sekalipun mencurigainya sebagai anti-gubernur dan melawan karantina.
Ada peristiwa sejarah yang berhubungan dengan Manolis, jurnalis yang menulis berita tersebut. Tiga atau empat tahun sebelumnya, jurnalis pemberani itu pernah melakukan peliputan tentang masalah-masalah pemerintah kota—tentang jalan-jalan yang rusak, dugaan-dugaan kasus penyuapan, pegawainya yang pemalas dan bodoh—untuk melemahkan posisi gubernur dan pemerintahan Usmani. Ketika Gubernur Pasha mengancam akan menutup surat kabar dan mengirimkan utusan agar mengatasi situasi, dengan sedikit bersabar tetapi tetap tidak mentolerir, jurnalis itu pun sedikit melunak. Berselang waktu kemudian, publikasi yang menuduh gubernur dan menyalahkan karantina dalam berita tentang "insiden kapal jamaah haji", yang kali ini membuatnya sangat gelisah, memaksa Manolis terjerembab ke penjara bawah tanah dengan alasan lain, tetapi setelah beberapa waktu tekanan dari Duta Besar Inggris dan Prancis dan juga karena telegram dari Istana Mabeyn membuatnya harus dibebaskan.
Sekarang hal ganjil berbau khianat yang membuat Pasha merasa sakit adalah bahwa setiap perjumpaannya dengan Manolis, yang sudah dikeluarkannya dari penjara, kedekatan khusus yang dibangunnya terasa sia-sia! Begitu mereka bertemu di Hotel Splendid, di antara kereta kuda dan para kuli, Pasha mengatakan kepada Manolis bahwa dia sudah menulis kontroversi dengan sangat baik di korannya, mengucapkan selamat kepadanya untuk sumber-sumber informasinya, dan sudah menyiapkan anggaran uang gubernur untuk penerbitan artikelnya di surat kabar berbahasa Turki Havadis-i Minger milik kantor gubernur, dan untuk dua artikel yang lain. Di lain waktu, ketika mereka bertemu di restoran Degustation, sang gubernur memperlakukan Manolis dengan baik di depan semua orang, mengajaknya duduk di sampingnya, memesan sup ikan belanak aroma bawang, dan mengabarkan kepada semua orang bahwa surat kabarnya paling dihormati di wilayah Levant.
Setelah semua kedekatan ini, Gubernur Pasha yakin bahwa permintaan kecil kepada Manolis agar tidak menuliskan berita tentang larangan akses tim disinfektan ke pondok syekh akan diterima. Bagi Pasha situasi ini mengindikasikan adanya kekuatan lain di waktu bersamaan, dan kekuatan ini membuat Manolis berpikir bahwa dirinya menuliskan semua berita ini dan tentu saja artikel-artikel yang lama. Kekuatan itu siapa? Pasha memutuskan untuk menjebloskan jurnalis provokator dan pemberani ke penjara bawah tanah, menggosok hidungnya sekali lagi di sel yang dingin dan lembab, dan sembari menekan mencari tahu siapa yang telah menulis berita tentang kapal-kapal jamaah haji. Polisi-polisi sipil yang dikerahkan untuk mencari Manolis akhirnya menemukannya ketika dia sedang membaca buku (Leviathan karya Thomas Hobbes) di sebuah taman rumah pamannya yang menjadi tempat persembunyiannya, bukan di rumah sendiri di daerah Kora, dengan kumpulan salinan surat kabar dari kantornya, dan lalu membawanya ke penjara bawah tanah. Pasha, yang hatinya melunak, akhirnya meminta agar penjara jurnalis di sel bagian barat, lebih aman dan jauh dari epidemi.
Sampai pada bagian ini, agar pemahaman terhadap cerita lebih baik, kami ingin mundur tiga tahun silam dan menceritakan tentang “Pemberontakan Kapal Haji" yang runyam secara politis dan masih sangat menyiksa secara personal. Beberapa sejarawan menyebut insiden itu sebagai "Pemberontak Jamaah Haji", dengan pesan tersirat bahwa orang-orang berhaji yang salah, padahal itu tidak benar.
Tahun 1890, salah satu langkah yang diambil oleh "Kekuatan Besar" untuk menghentikan wabah kolera yang menyebar ke seluruh dunia melalui Mekkah dan Madinah dari kapal-kapal jamaah haji dari India adalah dengan melakukan karantina sepuluh hari di setiap negara saat kapal-kapal tersebut kembali. Karena tidak mempercayai karantina yang diberlakukan oleh pemerintahan Usmani di Hijaz misalnya, Prancis memberlakan karantina terakhir bagi jamaah haji yang datang dari Hijaz dengan kapal Persepolis dari perusahaan Messagerie di wiliyah yang dikuasai Prancis di Aljazair sebelum mereka kembali ke daerah masing-masing.
Otoritas Usmani juga menerapkan langkah ini berdasar pada kelemahan dan ketidakbecusan Organisasi Karantina Hijaz di tahun-tahun pertama. Komite Karantina di Istanbul mewajibkan “karantina tambahan” bagi para jamaah haji yang dibawa oleh kapal di setiap sudut daerah kekaisaran—tak peduli ada atau tidak ada bendera kuning atau penumpang sakit.
Karena harus menunggu sepuluh hari di karantina di daerah mereka masing-masing, setelah melakukan perjalanan panjang yang frustrasi dan mengakibatkan kematian banyak orang (seperlima jamaah haji dari Bombay dan Karachi tewas selama perjalanan ini), mereka berdemonstrasi besar-besaran. Dalam situasi tersebut, para prajurit juga dipanggil, dan tenaga medis meminta bantuan polisi dan pasukan keamanan di banyak tempat. Karena tempat-tempat karantina di pulau-pulau kecil dan di pelabuhan terpencil tidak memadai seperti terjadi di Minger, atau rumah-rumah tua para petani yang berhaji tidak cukup untuk menampungnya, mereka menyewa secara serampangan dan menggunakan kapal-kapal murah, tongkang dan barang-barang rongsokan. Sebagian kapal tersebut ditarik ke teluk yang terpencil, atau berlabuh di daerah kosong seperti Chios, Kusadasi dan Thessaloniki, dan tenda-tenda darurat milik militer dibangun di sekitar mereka. Selama sepuluh hari, para petugas kesehatan berusaha mengumpulkan makanan, minuman dan membersihkannya untuk para jamaah haji yang berada dalam karantina.
Para jamaah yang ingin kembali ke rumah masing-masing sangat menentang karantina. Mereka yang dalam perjalanan tidak mengalami gangguan sakit ikut terkapar sekarat dalam sepuluh hari terakhir. Percekcokan dan pertengkaran jamaah haji melawan para dokter dari kekaisaran Usmani yang kebanyakan orang Yunani, Armenia, dan Yahudi tak terhindarkan. Adanya pajak karantina di tengah karantina paksa tersebut membuat mereka naik pitam. Beberapa jamaah kaya dan banyak akal bulus menyogok para dokter agar bisa terbebas dari karantina sejak awal, dan bagi yang lain menunggu dalam kesabaran.
Ketidakbecusan penanganan di pulau Minger menciptakan peristiwa serupa yang paling mengerikan di negara Usmani. Kapal bernama Persia berbendera Inggris dari Mekkah dilarang masuk ke pelabuhan pusat kota, seperti sudah diperintahkan oleh telegram yang dikirim dari Istanbul, dan empat puluh tujuh jamaah haji dibawa ke sebuah kapal barkas rusak yang ditemukan oleh Manajer Karantina Nikos, dan kapal bekas itu kemudian ditarik berlabuh di salah satu teluk kecil di utara pulau Minger. Dikelilingi oleh pegunungan berbatu dan tebing yang tak tertembus, teluk terpencil ini cocok untuk karantina karena berfungsi sebagai penjara alami bagi para jamaah. Tetapi gunung dan tebing-tebing itu menyulitkan pasokan pengirim makanan, air bersih, dan obat-obatan untuk mereka.
Pendirian tenda di pantai untuk mengontrol para jamaah haji, tempat penampungan dokter, tentara, dan peralatan kesehatan lainnya tertunda karena badai. Dalam badai lima hari itu, para jamaah haji di Minger terombang-ambing karena ombak, menderita tanpa makanan dan minuman, dan terik matahari memanggang punggung mereka. Ini pengalaman pertama mereka bepergian ke luar pulau dalam sejarah hidupnya. Ada jamaah paruh baya berjanggut di antara kerumunan jamaah haji yang bekerja sebagai pekebun zaitun dan petani-petani kecil itu. Di antara mereka ada juga anak-anak muda religius berjanggut yang membantu bapak dan kakeknya.
Lima hari kemudian, ketika wabah kolera makin merebak di tongkang pengap itu, satu dan dua jamaah yang sudah kelelahan mulai tewas setiap hari. Jumlah korban meningkat setiap hari. Para jamaah haji tua dan alim terus bersabar meskipun para petugas dan dokter yang membawanya ke kapal bekas yang kotor dan menjadi sumber penyakit itu tidak muncul lagi. Dua dokter Yunani, yang datang ke karantina dengan menunggang kuda selama tiga hari, lalu memakai perahu dayung dan pelan-pelan menaiki kapal yang penuh penyakit untuk memeriksa mereka yang telah frustasi dan marah. Beberapa jamaah tidak bisa memahami mengapa mereka ditahan di sini, tetapi mereka mulai merasakan kondisi yang semakin tragis. Sebagian jamaah haji tua yang hampir mati, dengan pandangan mata yang aneh, tidak ingin dokter Kristen itu menyuntikkan cairan obat kepada dirinya. Sementara dua alat penyemprot disinfektan yang dibawa melintasi gunung dengan menunggang kuda sudah rusak pada hari pertama. Sisa tenaga mereka dihabiskan bertengkar melawan sebagian jamaah yang mengatakan mayat-mayat akan dilempar dari kapal, dengan bersikeras “mereka mati syahid, kerabat kami, dan kami akan menguburkannya di desa.”
Pemberontakan pun terjadi di atas kapal itu pada akhir minggu pertama di tengah epidemi yang sudah tidak dapat dikendalikan dan selain itu karena penguburan mayat-mayat berbau busuk terbengkalai dan terus bertambah setiap harinya.
Para jamaah haji yang marah pertama-tama menyerang dua prajurit Muslim dari Trabzon dan melemparkannya ke laut. Karena sebagian besar jamaah (faktanya, mayoritas penduduk di bawah kekaisaran adalah Muslim) yang tidak bisa berenang mati tenggelam, sang Gubernur Pasha munghukum Komandan Garnisun secara berlebihan.
Sementara itu, para jamaah haji yang muda berlayar dengan sisa rongsokan kapal, tetapi kapal ringkih itu akan menerobos bebatuan, bergoyang ke kiri dan kanan seperti mabuk laut di alam terbuka untuk sementara waktu, dan setengah hari kemudian mereka terdampar di teluk lain, sebuah tempat agak ke barat.
Dengan menuruni batu-batu, para jamaah yang sudah kelelahan tidak bisa dengan mudah keluar menuju desa karena mereka harus mengambil air yang dipakai untuk menyeimbangkan berat barang-barang yang dibawanya. Jika terus begitu, pemberontakan mungkin bisa dilupakan meskipun itu sudah menelan nyawa. Ketika bergerak, para jamaah haji terjebak dalam perahu dengan mayat-mayat yang semakin membusuk, sembari berjuang melawan gelombang, menjaga keseimbangan, dan mereka juga tidak bisa memindahkan botol-botol air zamzam yang sudah terkontaminasi kolera.
Beberapa saat kemudian, pasukan keamanan yang mengawasi kapal mereka sudah mengambil posisi di belakang bebatuan dan di atas tebing. Para komandannya memperingatkan mereka untuk menyerah, mematuhi aturan karantina, meninggalkan kapal, dan tidak mendarat. Para jamaah haji kalang kabut dan sporadis: Mereka sudah paham akan dikarantina lagi dan mereka akan mati kali ini. Bagi para jamaah, karantina yang ditemukan di Barat adalah bentuk kelicikan umat Kristen untuk menghukum dan membunuh para jamaah haji yang sehat dan lalu menggasak uangnya.
Suatu pagi, ketika sejumlah jamaah mulai menaiki bebatuan dan kabur melewati jalan-jalan pintas, kedua pasukan mulai menghujani tembakan. Anggota prajurit yang lain ikut memberondongnya untuk menutup jalan kabur. Mereka bersemangat seperti ketika mengusir gerombolan musuh yang menyerang Minger. Butuh delapan hingga sepuluh menit untuk membungkamnya. Banyak para jamaah haji yang tewas tertembak.
Gubernur Sami Pasha melarang publikasi berita tentang kejadian ini; berapa banyak jamaah haji yang ditembak atau mereka yang menyerah dan kembali dikarantina, sampai hari ini—seratus dua puluh tahun kemudian (beberapa dari mereka yang benar-benar meninggal karena kolera di karantina kedua); dan berapa banyak dari mereka akhirnya kembali ke desa-desa dalam kondisi sakit, dan tidak ada pula keterangan di balik sejarah yang mengerikan ini ke seluruh pulau. Tetapi dari data-data periodik dan telegram yang dikirim ke Istanbul, ke Istana Mabeyn atau langsung ke Sultan Abdülhamit, tampaknya peristiwa itu merupakan sumber penting dari perkembangan selanjutnya. Gubernur Pasha tidak pernah berhasil dikritik, disalahkan, atau dianggap melakukan kejahatan sebagai tanggung jawabnya dalam peristiwa bersejarah ini. Dia menunggu hukuman dari sultan, tetapi tidak pernah terjadi. Ketika dihadapkan dengan beragam kritik, Pasha mengatakan bahwa keputusan mengirim tentara ke karantina jamaah haji demi melindungi pulau dari wabah kolera sudah tepat, dia juga menambahkan bahwa kejadian itu tidak akan seturut hati nurani dengan membiarkan bandit membunuh prajurit dan menculik kapal negara (faktanya kapal itu disewa), tetapi dia juga menjelaskan bahwa dirinya tidak memberikan perintah menembak para jamaah, dan kejadian itu semata karena kesalahan prajurit.
Mengenai kejadian ini, Pasha sudah memutuskan bahwa pertahanan terbaik adalah melupakannya. Untuk itu, dia memberikan perhatian khusus agar tidak ada surat kabar yang menurunkan berita dan itu berhasil dalam beberapa saat. Pada tahun pertama sang gubernur menuturkan bahwa mereka yang meninggal dalam perjalanan haji secara resmi disebut "syahid" sebagaimana dijelaskan dalam agama kita—ditempatkan dalam posisi tertinggi. Ketika keluarga korban jamaah haji mendatangi pusat kota untuk menuntut kompensasi, Pasha menjamu mereka di kantornya sembari membuka percakapan bahwa “para syahid mempunyai tempat yang indah di surga,” dan menambahkan “bahwa mereka yang menuntut kompensasi akan dikabulkan dengan segenap usaha, tetapi tolong jangan berbicara kepada wartawan Yunani”. Ini adalah pertama kali sang gubernur efektif menerapkan kompensasi yang diberikan oleh negara.
Mungkin tragedi itu sudah dilupakannya sehingga dalam sebuah wawancara yang disampaikan kepada surat kabar Yunani Neo Agnos dengan menggunakan ungkapan "para jamaah haji yang miskin" ketika menanggapi tentang para jamaah haji yang telah membangun fasilitas sumber air di desa mereka. Kata-kata tersebut tidak dipedulikan oleh siapa pun. Namun, di surat kabar Neo Agnos yang terbit hari itu, Manolis menulis dengan kembali membuka polemik bahwa para jamaah haji tidak miskin, tetapi sebaliknya, mereka adalah umat Muslim kaya di pulau yang dengan cara baru menjual hartanya untuk pergi haji, dan banyak dari mereka menderita sakit dan meninggal di tengah perjalanan. Tetapi bukankah akan lebih baik jika penduduk desa Muslim yang kaya berkumpul di pulau Minger di mana tingkat pendidikan mereka jauh lebih rendah daripada kaum Ortodoks, daripada terburu-buru menghamburkan uang di kapal-kapal Inggris dan di gurun nun jauh di sana, atau paling tidak memperbaiki menara-menara masjid yang rusak di lingkungan mereka?
Sebenarnya, mementingkan sekolah daripada masjid merupakan sikap "modern" yang dipercayai sang gubernur, tetapi ketika membaca artikel itu, dia merasa seperti mau tenggelam dalam kemarahan. Manolis juga gelisah hal ihwal sikapnya terhadap umat Muslim, tetapi alasan utamanya adalah membuka dan menghangatkan kembali topik "Pemberontakan Kapal Haji " yang sudah diharapkan terlupakan oleh gubernur.
Setelah kemunculan artikel pertama di atas, gubernur mulai memata-matai gerak-gerik jurnalis. Selesai membaca berita "tim disinfektan tidak dapat memasuki pondok", Pasha memanggil dua mata-mata terakhir yang sedang bertugas (satu penjual roti, dan yang lain adalah pedagang yang hilir mudik dengan pakaian bekas) dan mati-matian mencari informasi kepada orang-orang goblok ini tentang siapa yang menulis artikel untuk Manolis, setelah dia dijebloskan ke penjara, sehingga membuat gubernur kehilangan waktu untuk mengurus karantina. Apa yang dipelajari dari mata-mata itu membuat gubernur semakin khawatir: Ya, seluruh pulau sudah mendengar kabar tentang tim disinfektan yang ditolak syekh Hamdullah dan itu telah menjadi desas-desus yang meluas.
"Kenapa mereka tidak menguasai pondok?" tanya Pasha pada kedua mata-mata itu. Pertanyaan ini sudah ditanyakan kepada seorang penari yang mengobrol dengan Madam Marika, tetapi mata-mata si penjual roti itu tidak mengerti. "Saya tidak paham sama sekali, Yang Mulia Pasha!" jawabnya.
"Karena syekh Hamdullah juga wabah," celetuk mata-mata berpakaian bekas.
"Apa?" tanya Gubernur Pasha.