Puluhan ribu rakyat sipil membacakan takbir dan doa sembari menyemut sejak di rumah alhamrhum di Emek Mahallesi, kabupaten Safranbolu
[Rakyat Turki ikut menyalati dan mendoakan seorang tentara. Foto Yeniakit] |
Mungkin saya berlebihan jika mengatakan bahwa rakyat Turki adalah rakyat paling mencintai tentara dan angkatan perang di antara negara-negara lain di dunia. Ada aspek-aspek lain yang sangat sulit ditemukan di balik pertontonan dukungan dan kecintaan mereka terhadap angkatan perang. Selain Turki, tentu saja ada Amerika yang sama-sama sangat menghargai dan mencintai pasukan militer mereka. Khususnya setelah misinya berhasil pada Perang Dingin—dengan sendirinya kembali mengangkat moral tentara setelah gagal di Perang Vietnam—tentara Amerika menjadi kebanggaan seluruh rakyatnya dan dianggap sebagai generasi terbaik yang mengendalikan kekuatan dunia. Setelah itu, karena faktor kekuatan yang membanggakan, tentara Amerika menjadi “tentara dunia” yang bisa datang kapan saja dan mengintervensi negara-negara lain dengan sangat mudah.
Namun begitu saya sadar bahwa pembuktian dan parameter di balik kecintaan rakyat terhadap mereka tentu membutuhkan data valid dan ukuran-ukuran yang rigid sebelum menjadi klaim. Tetapi dalam kesempatan kali ini, saya ingin menunjukkan sebuah peristiwa yang menggambarkan antusiasme rakyat Turki ketika menyalati dan mengantar seorang tentara yang meninggal dalam perang di Afrin, Suriah. Antusiasme rakyat Turki terlibat dalam prosesi ritual agama hingga seremoni resmi kenegaraan adalah potret unik yang tidak bisa ditemukan di negara lain, baik dalam aspek jumlah maupun gairah dukungan yang berlimpah.
Memang, Turki secara kekuatan militer jauh di bawah negara-negara seperti Amerika, Rusia dan China (dengan anggaran dana untuk militer yang fantastis), tetapi moral bangsanya yang mewujud dalam komitmen dukungan dan partisipasi kepada militer telah ditunjukkan dalam setiap laku keseharian. Jangan terkejut jika kita mendapati banyak rakyat Turki menyatakan siap menjadi pasukan sukarelawan yang kapan saja bisa dilatih dan ikut misi perang. Jika dilacak lebih jauh, faktor adanya wajib militer (askerlik) yang terus dijalankan hingga sekarang (khusus untuk laki-laki) bisa menjadi basis lahirnya kesadaran dan komitmen nyata dari segenap lapiran masyarakat Turki. Inilah yang saya sebut sebagai keunikan, hal-hal lain di balik kecintaan, di mana logika maupun premis-premis ilmiah mandul.
Namanya Ömer Bilal Akpınar, pejabat infanteri senior berpangkat sersan dari angkatan bersejata Turki yang meninggal pada 8 Februari 2018. Ada dua hal yang sangat menyentuh hati dan emosi mayoritas rakyat Turki dari sosok yang mengabdikan hidupnya untuk membela negara dan bangsa itu. Pertama tentu saja jumlah rakyat yang ikut menyalati, mendoakan dan hingga mengantarkannya ke liang lahat. Seperti dilaporkan oleh media-media lokal Turki termasuk Yeniakit, puluhan ribu rakyat sipil membacakan takbir dan doa sembari menyemut sejak di rumah alhamrhum di Emek Mahallesi, kabupaten Safranbolu. Setelah itu, janzahnya dibawa ke pusat kota Karabük (Karabük kent meydani) dan dilakukan upacara pelepasan di Karabük Valiliği (Karabük’te şehidi, alana sığmayan on binler uğurladı, 08/02/2018).
Kedua adalah surat wasiat yang ditulisnya sendiri. Surat wasiat adalah bagian dari ritual para tentara sebelum berangkat tugas dan mengangkat senjata. Ketika menjalankan tugas mereka hanya mempunyai dua kemungkinan: kembali pulang atau meninggal di pertempuran. Ömer Bilal menjadi salah satu dari mereka yang menulis surat wasiat dan membuat rakyat Turki tersedak. Tulisnya, “Saudaraku, perang ini adalah perang salib, melawan dengan iman, antara kebenaran dan kebatilan, kekufuran dan tauhid… jagalah keluargaku. Kuburkan aku di Safranbolu, Saudaraku.” Dalam hal mengocok emosi dan memperdalam rasa empati, surat wasiat menjadi salah satu media yang bisa dipakai oleh para tentara sebelum berangkat perang.
Bagi Turki, surat wasiat bukan melulu urusan personal yang, misalnya permintaan maaf kepada semua kerabat, kerap kali dimunculkan secara mendalam. Ia juga dipentaskan menjadi narasi heroik bagi nasionalisme, menyajikan sebuah sosok yang hadir di tengah-tengah emosi publik demi melindungi bangsa dan negara dari ancaman. Wasiat dengan narasi begitu akhirnya menjadi milik bersama semua rakyat Turki karena sentimen membela negara dan bangsa (juga agama meski tidak selalu masif) telah menjadi keyakinan dirinya berkorban demi negeri (vatana kurban). Dengan begitu, nasionalisme dan patriotisme muncul dan terasah secara terus-menerus.
Selain Ömer Bilal, dalam laporan www.haberler.com ada Hüseyin Şahin dari provinsi Samsun yang proses sebelum pemakamannya juga dihadiri oleh ribuan orang dan bahkan diklaim hingga mencapai jumlah sekitar (Samsunlu Şehidi 10 Bin Kişi Son Yolculuğuna Uğurladı, 11/02/2018); Nurullah Seçen dari kabupaten Ereğli, Konya juga dilaporkan bahwa rakyat yang hadir di hari pelepasan mencapai puluhan ribu; dan terakhir, seperti dilaporkan oleh ensonhaber.com terjadi pada sosok tentara Ahmet Aktepe yang berasal dari Erzurum dengan dihadiri ribuan pelayat yang ikut menyolati dan mendoakannya (Afrin şehitleri son yolculuğuna uğurlandı, 06/02/2018).
Saya tidak bisa menyebutkan satu per satu acara pelepasan untuk para tentara yang gugur di Afrin selama operasi militer Turki yang sudah berjalan lebih dari 23 hari hingga 12 Februari 2018. Jumlah tentara Turki yang gugur selama ini sudah lebih dari 100 personal dan melumpuhkan lebih dari 1480 teroris dari pihak musuh. Tapi saya bisa memastikan bahwa dalam situasi rumit seperti ini—di mana Turki berada dalam ancaman yang cukup serius di tengah absennya otoritas pemerintahan Suriah di bagian utara negara itu dan dinilai Turki akan menjadi tempat infiltrasi gerakan teroris yang mengancam negara—rakyat Turki hadir secara nyata memberikan dukungan dan menyampaikan terima kasih kepada para pejuang negara.
Sebelum lebih jauh, saya ingin memastikan bahwa jumlah angka yang tertera dalam pemberitaan di atas tidak bisa diverifikasi secara pasti. Tetapi secara gamblang kita bisa melihat gambar-gambar dan video yang menunjukkan partisipasi rakyat dalam keramaian yang sangat sesak seperti itu, misalnya keramaian masif di Karabük. Meksipun jumlah yang hadir tidak bisa dihitung secara pasti, antusiasme rakyat Turki dengan menghadiri proesesi sebelum pemakaman harus dilihat sebagai gerakan kesadaran dan kepedulian atas nama bangsa dan negara. Artinya, solidaritas seperti itu tidak akan pernah muncul di tengah masyarakat yang kehilangan wawasan dan orientasi nasional, apalagi di negara-negara yang mempunyai konflik dan kekerasan antarmasyarakat dalam situasi terpolarisasi secara maksimal.
Mereka yang hadir di tengah-tengah pelepasan para şehit (syahid), istilah yang dipakai oleh orang Turki untuk menyebut mereka yang gugur membela negara, adalah rakyat jelata yang terpanggil secara tulus menyampaikan belasungkawa dan empati yang mendalam sebagai bangsa dan warga negara. Meski tidak sedikit yang beroposisi terhadap pemerintahan dan menunjukkan penentangan atas kebijakan-kebijakan yang dimabil Presiden Recep Tayyip Erdoğan, rakyat Turki tidak bisa beroposisi melawan tentara mereka. Rakyat Turki menitipkan amanah kesatuan negara dan kedamaian internal bangsa kepada militer yang bertugas baik di perbatasan maupun di daerah-daerah yang menjadi sarang konflik di Turki.
Dalam banyak kasus, sebagai negara yang mempunyai tradisi militeristik yang kuat, masyarakat Turki mempunyai kebanggaan tersendiri tehadap militer dan angkatan perang mereka. Tetapi bukan berarti bahwa semua anggota militer menjadi panutan ataupun sumber kebanggaan. Banyak rakyat Turki juga tidak menghendaki kekuatan militer yang justru masuk ke relung-relung kekuasaan, misalnya dengan dalih menjaga konstitusi, tetapi dalam praktiknya justru dipakai oleh para jenderal dan orang-orang internal militer untuk menguasasi negara, misalnya lewat kudeta militer yang sudah biasa terjadi di Turki sejak tahun 1960.
Singkatnya, masyarakat Turki mencintai tentara dan personel pasukan militer yang jelas-jelas berjibaku dengan tugasnya yang secara fisik bisa mereka lihat. Rasa cinta tersebut kemudian diekspresikan khususnya ketika di antara mereka ada yang gugur di medan perang. Situasi seperti itu kerap kali menciptakan narasi heorik yang diproduksi secara masif oleh media dan pada gilirannya akan menjadi bumbu bagi nasionalisme rakyat Turki.
Nasionalisme
Kenapa rakyat Turki bergitu besar menunjukkan antusiasne dan dukungan terhadap pasukan militer, khususnya yang bertugas perang dan menumpas separatis? Pertanyaan seperti ini sebenarnya sudah lama menjadi bagian dari renungan dan pengamatan saya sendiri. Saya seringkali tertegun diam menyaksikan antusiasme rakyat Turki terhadap apapun yang menyangkut dengan perjuangan harga diri bangsa dan negara. Untuk menjawab pertanyaaan seperti itu saya coba masuk ke tengah emosi rakyat dan memori bersama (collective memory) yang hidup dan bergeriat dalam laku keseharian mereka.
Terma nasionalisme khas Turki tentu saja bisa diketengahkan di sini sebagai faktor umum yang sudah terbentuk dan membentengi bagian terluar dari kehidupan bangsa. Jika diibaratkan sebuah benteng, nasionalisme bertugas melindungi warga negara Turki dari serangan dan ancaman musuh dari luar. Tetapi di sisi lain, nasionalisme Turki justru sangat embedded dan terinternalisasi dalam jiwa setiap warga, menjadi paradigma dan karakter kebangsaan di bawah republik Turki. Rancangan ideologis tentang Turki modern yang diproduksi oleh para ideolog Turki modern dan telah meletakkan fondasi nasionalisme seperti Namık Kemal (1940-1888), Ziya Gökalp (1876-1924), Ahmed Agaoğlu (1869-1939) dan Yusuf Akçura (1876-1935) tetap bertahan hingga nyaris satu abad. Nasionalisme Turki adalah proyek ideologi politik dan kebudayaan untuk meneguhkan eksistensi suku bangsa Turki (Turk sebagai suatu etnik), dalam semua aspeknya, yang nyaris sama seperti langkah Jepang dengan mengidentifikasi dasar-dasar gerakan nasionalisme mereka melalui kebudayaan (Nihonjinron).
Sebagai ideologi negara, nasionalisme bekerja sangat efektif dalam mengelola sentimen atas nama nation dan national. Dua ranah ini sangat penting bagi nasionalisme Turki dengan misalnya dibuatkan Undang-Undang Pasal 301 yang mengatur secara khusus tentang sentimen negatif terhadap nation dan national, salah satunya misalnya tentang insult Turkishness atau Turkish nation. Di bawah kekuasaan Tayyip Erdoğan lewat Partai Keadilan dan Pembangunan (APK) istilah Turkishness akhirnya diganti menjadi Turkish nation untuk mewadahi secara lebih luas bangsa dan warga negara Turki, tanpa melihat identitas etnik mereka. Pasal tersebut satu sisi sangat rawan menjadi alat pembungkaman, misalnya pernah menyasar ke novelis Orhan Pamuk. Tetapi di sisi lain, ia menjadi sangat efektif dalam proses ideologisasi nasionalisme dengan mengangkat sentimen bangsa.
Selain nasionalisme, saya melihat ada ancaman nasional (national threat) yang faktor penyatu bagi mereka. Di balik kegagahannya sebagai bangsa besar dan penakluk, Turki di waktu bersamaan adalah bangsa yang cukup vulnerable, yaitu bangsa yang selalu merasa dikepung dan diancam oleh para musuh. Saya memakai terma vulnerable bukan dalam makna etimologi, tetapi lebih kepada pemahaman terminologi untuk mewadahi perasaan masif dari sebuah bangsa yang merasa selalu ingin dipecah-belah, semacam reproduksi emosi dan mental yang kerap kali dideklarasikan oleh kelompok ultranasionalis (kasus Turki) ataupun oleh militer sendiri (dalam kasus di Indonesia), dengan tujuan agar warga negara menyatukan langkah dan komitmen membela negara. Meski narasi ini tidak bisa diklaim sebagai memori kolektif yang menyasar secara massal, perasaan rentan akan perpecahan (karıştırmak) menjadi narasi yang cukup mudah ditemui di tengah-tengah rakyat.
Untuk itu, rakyat Turki sangat taktis dan efektif dalam hal mengenali siapa musuh-musuh mereka dan narasi tentang musuh yang harus diwaspadai karena berpotensi mengganggu tetap dikelola oleh penguasa sebagai upaya polulis untuk mendapatkan legitimasi di tengah publik. Akhirnya, rakyat Turki dengan cukup mudah dapat mengidentifikasi musuh-musuh mereka, misalnya Armenia, Yunani, Rusia, Prancis, Inggris, Israel dan Amerika. Selain dua negara terakhir, rakyat Turki mengenang mereka sebagai musuh yang menyejarah. Sementara Israel dan Amerika tidak lebih sebagai musuh yang lahir belakangan.
Musuh-musuh yang saya sebutkan di atas bukan lantas tidak menjalin hubungan kerja kedua negara. Mereka sangat terkait erat dengan memori dan ingatan sejarah bangsa Turki. Karena selain Armenia, Turki mempunyai hubungan bilateral dengan negara-negara di atas.
Di samping itu, organisasi yang berpotensi memecah-belah seperti PKK (Partai Pekerja Kurdistan), kelompok komunis dan organisasi yang berafiliasi dengannya, Al-Qaeda, Hizbut Tahrir dan ISIS adalah musuh nyata dalam internal negara. Sementara dari luar negeri khususnya di perbatasan mereka, muncul nama organisasi seperti PYD/YPG (faksi militer Kurdi di Irak dan Suriah) yang menjadi target operasi militer Turki lewat operasi Ranting Zaitun (Zeytin Dali Harekati). Siapa pun yang berani berafiliasi dan mendukung kelompok di atas secara gamblang akan menjadi musuh bersama (common enemy) bagi rakyat Turki.
Dalam kondisi demikian, kepercayaan rakyat Turki hanya bersandar kepada pasukan keamanan, mulai dari polisi hingga angkatan bersenjata yang mereka miliki. Karena pasukan keamanan Turki selalu berjibaku dengan berbagai ancaman baik dari internal maupun eksternal dan rakyat Turki melihat dan merasakan secara nyata keberpihakan militer terhadap negara. Keterlibatan militer yang begitu dalam terhadap negara dan bahkan dunia politik sekalipun tidak bisa dilepaskan dari tradisi militer yang membentengi republik Turki. Khususnya sebelum AKP berkuasa, militer mempunyai kendali sangat besar terhadap negara yang secara gamblang bisa dilihat dari praktik-praktik kudeta yang sekaligus merontokkan demokrasi. Seperti dikutip M. Alfan Alfian dari M Naim Turfan dalam Looking After and Protecting the Republik: The Legitimation of The Military’s Authority in Turkey, militer diposisikan sebagai garda depan revolusi dengan hak untuk campur tangan dalam politik, jika kelangsungan negara dalam bahaya (Alfian, 2018: 33). Meski tentu saja bercorak otoritarian ketika intervensi militer terus membayangi negara, pertemuan sipil-militer dalam tingkat grass root cenderung menyisakan aspek-aspek emosional karena mereka dianggap sebagai benteng negara. Tetapi, ketika sudut pandang yang dipakai adalah relasi sipil-militer dalam konteks demokrasi, negara Turki tentu bukan model yang ideal, untuk tidak mengatakan buruk.
Dalam tulisan ini, saya tidak sedang membicarakan relasi sipil-militer dalam diskursus dan kajian demokrasi, tetapi lebih fokus ingin mengungkap sisi-sisi “pertemuan emosi” antarmereka yang sangat akrab, dekat dan penuh cinta! Kematian seorang tokoh politik sekalipun sangat susah untuk dihadiri oleh rakyat hingga di atas 10 ribu. Tetapi Ömer Bilal Akpınar, sebagai pasukan perang yang kesehariannya tidak terekspos secara berlebihan, mempunyai cerita lain dan, bagi saya, sangat beruntung karena telah berhasil menyedot perhatian dan cinta, setidaknya, dari masyarakat Karabük dan sekitarnya.
Pertemuan emosi antara sipil dan militer tentu saja tidak terbentuk secara gegabah dan serampangan. Bagi saya, semua itu adalah hasil dari kinerja ideologi pancasila dengan meletakkan posisi militer sebagai guardian terhadap negara dan bangsa. Yang awalnya diletakkan sebagai garda depan untuk menjaga republik (cumhuriyet bekçisi) yang sekuler, militer Turki di bawah Erdoğan semakin didekatkan kepada rakyat dan di waktu bersamaan rakyat sipil diperkuat pengetahuan demokrasinya. Sehingga akhirnya rakyat Turki menolak segala bentuk kudeta (darbeye hayır) yang secara gamblang dibuktikan lewat aksi turun ke jalan untuk melawan percobaan kudeta 15 Juli 2016.
Pertemuan emosi antara sipil-militer dan kehadiran solidaritas di antara rakyat sipil, bagi saya, disebabkan oleh situasi Turki terkini. Militer di Turki bekerja melawan maut yang secara langsung terlibat dalam misi perang ataupun operasi keamanan di perbatasan. Saya menyaksikan sendiri bahwa tentara dan pasukan keamanan Turki tidak pernah berada dalam situasi yang tenang dan nyaman. Lihat saja korban-korban tewas dari pihak militer Turki yang terus berguguran dari waktu ke waktu, dalam operasi yang dilakukan menumpas PKK di bagian tenggara dan timur. Sejak kelompok separatis itu aktif melakukan perlawanan dengan mengangkat senjata sejak tahun 1980-an, sudah tidak terhitung jumlah pasukan keamanan Turki yang tewas dalam menjalankan tugasnya.
Untuk itu, solidaritas, empati dan bahkan emosi yang lahir di tengah situasi seperti itu adalah keniscayaan yang harus lahir di Turki. Saya percaya bahwa nasionalisme dan kecintaan rakyat Turki (atau bahkan kita semua) kepada aparat militer semakin menggebu-gebu di tengah situasi di mana negara dan bangsa berada dalam ancaman. Tetapi sebaliknya, jika aparat keamanan dan pasukan militer sekalipun hanya menggebuki rakyatnya sendiri karena melakukan demo mempertahankan tanahnya dari penggusuran misalnya, jangan berharap mendapatkan empati dan rasa cinta yang tulus dari rakyat.
Bernando J. Sujibto
Penulis adalah peneliti sosial dan kebudayaan Turki. Alumni pascasarjana Sosiologi di Selcuk University, Konya Turki. Follow Twitter @_bje.
Penulis adalah peneliti sosial dan kebudayaan Turki. Alumni pascasarjana Sosiologi di Selcuk University, Konya Turki. Follow Twitter @_bje.
EmoticonEmoticon