Sejak pagi warung dibuka, ia sudah mulai bekerja dan berakhir pada jam 11 malam. Artinya, jam kerja Ahmet di atas 12 jam!
[Titik Bertemunya Rumi dan Shemsi Tibriz. Foto Didid Haryadi] |
Berkunjung ke kota Konya selalu memiliki pengalaman yang berbeda. Kota ini sangat tenang dan cocok bagi mereka yang ingin merasakan semangat spiritual dari tokoh sufi besar, Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273). Di kota ini ada beberapa tempat yang bisa menjadi tujuan persinggahan. Mulai dari makam Rumi yang berada dalam komplek museumnya, makam Tibris yang merupakan guru spiritual Rumi, sampai lokasi berjumpanya Rumi dengan Sang Guru yang dikenal dengan titik “bertemunya dua laut”. Lokasi-lokasi tersebut terbilang mudah dijangkau, dan jaraknya tak terlampau jauh antara satu dengan yang lainnya. Ditunjang pula dengan sistem transportasi modern dan terintegrasi, membuat para pejalan lebih nyaman pastinya. Kita juga bisa memilih berjalan kaki, sambil mereguk aroma peninggalan Kerajaan Seljuk (1077–1308) dengan melalui beberapa situs yang tersisa.
Malam itu saya juga memilih berjalan kaki. Merasakan kabut tipis yang menutupi jalanan lengang dan menerobos temaram lampu-lampu kota. Sampai-sampai udara dingin yang menusuk kulit mengharuskan saya berjalan lebih cepat. Udara waktu itu mencapai titik minus 7. Tak heran jika asap selalu keluar dari mulut saat percakapan kecil dilakukan. Tiba di sebuah pasar aksesoris yang berada tidak jauh dari kompleks makam Rumi, saya bersama seorang kawan memilih menepi ke sebuah warung untuk mencari makanan.
Secangkir teh panas menjadi pilihan utama untuk menghangatkan badan. Sedangkan untuk menambah energi, nasi dengan lauk ayam bakar yang telah dipotong kotak-kotak pun kami pesan. Kami tak harus menunggu lama, sang pelayan pun datang bersama nampan berisi teh dan nasi ayam bakar. Makanan datang bersama rasa kaget. Di hadapan saya berdiri seorang garson yang ternyata masih seorang bocah. Sebenarnya ini bukan perjumpaan pertama saya dengan bocah yang bekerja di sebuah warung makan atau warung teh. Di beberapa kota besar di Turki, jika kita masuk ke warung-warung kecil akan ada bocah yang bekerja di sana.
Setelah melihat sang pemilik warung ke luar untuk mengobrol dan merokok bersama kawannya di parkiran komplek pasar, saya menikmati sajian makan malam, sembari mengobrol dengan bocah tadi. Namanya Ahmet, usianya 14 tahun. Ia berasal dari Suriah, negeri yang kini sedang bergolak karena perang dan menyisakan pilu mendalam bagi semua orang. Nilai-nilai kemanusiaan kini semakin tercampakkan karena gejolak perang dan politik transaksional antar negara. Ahmet adalah salah satu korbannya.
Ahmet mengaku telah bekerja lebih dari setahun di warung ini. Ia ke sini karena kondisi di daerahnya yang tidak memungkinkan lagi untuk bermain bersama teman-temannya. Sebagai tambahan informasi, Turki sendiri salah satu negara yang menampung pengungsi asal Suriah dalam jumlah sangat besar. Ada beberapa pengungsi yang memilih ke kota-kota besar di Turki untuk mencari kehidupan baru. Beragam cerita yang dipunya mereka, sama dengan rupa pekerjaan yang dilakukan.
Malam semakin larut, jam dinding hampir menunjukkan pukul 11 malam. Di luar sangat sepi, tentu karena musim dingin telah meringkus kota ini. Orang-orang melilih menghangatkan badan di dalam ruangan. Saya melanjutkan obrolan dengan melontarkan beberapa pertanyaan kepada Ahmet. Penuturan Ahmet mengenai kedua orang tuanya yang masih di kampung halaman, hingga perjalanannya ke sini yang seorang diri membuat saya semakin penasaran dengan bocah ini. Berbekal kemampuan Bahasa Turki yang terbatas, Ahmet mencoba bercerita hal lain kepada saya. Sebelumnya saya bertanya, dia bisa berbahasa Inggris atau tidak, dan sayangnya dia tak paham sama sekali.
Akhirnya, untuk melunasi rasa penasaran kepada bocah ini, saya memintanya mendekat ke meja makan kami. “Berapa lama jam kerja kamu di sini?” saya kembali melanjutkan obrolan. Ia pun bercerita bahwa sejak pagi warung dibuka, ia sudah mulai bekerja dan berakhir pada jam 11 malam. Artinya, jam kerja Ahmet di atas 12 jam! Saya bertanya lagi tentang gajinya dalam sebulan. Jawabannya sungguh sangat mengejutkan saya. 250 Lira, ujarnya sambil tersenyum meski saya menangka betapa getir senyuman itu. Mungkin uang sekecil itu (untuk ukuran Turki karena rata-rata gaji minimum 1300 TL) sudah cukup banyak bagi Ahmet. Seketika saya menghentikan makan dan memintanya membawakan kami dua gelas kecil untuk menuang air mineral yang saya bawa. Setelahnya saya menawarinya makan dan duduk di sebelah kami. Namun, ia menolak, dengan sesekali melihat ke arah pintu. Mungkin ia memastikan, jika bosnya memperhatikan caranya melayani pembeli.
Akhirnya saya mengakhiri obrolan dengan bocah ini. Kami pun menawarkan beberapa koin Lira. Tapi Ahmet menolak. Namun saya mencoba meyakinkannya bahwa ini memang untuknya. Saya memintanya mendekat. Sambil melihat ke luar pintu lagi, ia pun menerimanya dan tersenyum sambil bertutur terima kasih dalam Bahasa Turki. Ia sepertinya takut kalau saja bosnya melihat dirinya menerima uang dari para pembeli.
Perbincangan pun selesai. Malam semakin larut. Kami memutuskan untuk beranjak. Tak lama kemudian, saya bertanya kepada si Ahmet berapa harga makanannya. Ia berlari ke luar dan memanggil sang bos. Ternyata masih tersisa beberapa Lira dari jumlah yang seharusnya kami bayar. Saya meminta izin kepada pemilik warung, apakah boleh memberikan uang kembalian kepada si Ahmet. Ia pun membolehkannya. Dan saya pun memanggil sang bocah yang masih membereskan meja. Awalnya ia tidak ingin menerimanya. Meski saya meyakinkannya bahwa sang pemilik warung telah mengizinkannya. Namun, sang bos memintanya untuk tidak menolak. “ambil uangnya dan masukkan ke dalam kantong, Ahmet,” ujar si bos. Ahmet dengan kain lap di tangan kirinya pun menerima uang dari kami sembari tersenyum takut.
Kami pamit dari warung. Kembali ke penginapan, menembus malam yang semakin dingin. Saya menyimpan tanya tentang bocah tadi. Kesunyian malam membawa memori saya kembali ke masa kanak-kanak, hingga masa bermain dan belajar di sekolah.
Ahmet, bocah 14 tahun yang bekerja dalam sunyinya malam. Ia selalu menunggu 250 Lira setiap bulannya. Jari-jari tangannya kini terlatih untuk melayani para pengunjung. Di saat bocah-bocah lainnya sedang tertidur pulas dengan selimut dan hangatnya kasih sayang orang tua; besok hari bocah-boca lain pergi ke sekolah, belajar dan bermain; sedangkan si Ahmet harus terbangun lebih awal, menyiapkan serta memastikan meja dan kursi makan telah siap bagi para pengunjung, sekaligus menyiapkan senyuman ramah dan polos kepada setiap yang datang.
Didit Haryadi
Pimpinan Redaksi Turkish Spirit. Mahasiswa master program Sosiologi di Istanbul University. Person In Charge untuk Indonesia Turkey Research Community (ITRC) di Istanbul.
Pimpinan Redaksi Turkish Spirit. Mahasiswa master program Sosiologi di Istanbul University. Person In Charge untuk Indonesia Turkey Research Community (ITRC) di Istanbul.