Entah mengapa pertama kali tiba di Konya saya merasakan hampir seperti di rumah sendiri
Betapa senangnya jika bisa kuliah ke luar negeri. Entah mengapa menyenangkan, padahal belum tentu kualitas kampus di luar negeri lebih baik daripada di Indonesia. Perasaan ini memang tidak bisa dinalar. Entah datangnya dari mana. Yang jelas ini pasti akibat doktrin “luar negeri” yang artinya super jos, wah, naik pesawat, salju, makan roti, tidak ada nasi, dan lain-lain.
Sampai-sampai saya pernah bilang pada teman saat kuliah S2. “Mbah Hambal,” kataku memanggilnya “Ayo kuliah ke luar negeri. Ndak penting jurusan apa yang penting ke luar negeri. Ke Mesir, ke Sudan, ke Yaman, kek. Entah di sana ngambil jurusan olahraga atau menjahit ndak masalah. Yang penting orang rumah tahunya luar negeri. Nanti pulang dipanggil Pak Yai biar bisa gampang dakwahnya.”
Tawa pun meledak…. kekekek…kwkwakwk…. Tawa kami seperti orkestra yang dipimpin oleh Bethoven KW minus 4 derajat C. Tawa campuran Jawa Nganjuk sepuhan Kediri dan Madura Jember.
Sejak guyonan tersebut saya beruntung karena ternyata dapat menapakkan kaki di Turki. Tempat Nabi Musa bertemu dengan gurunya, Nabi Khidr. Lebih indah lagi bisa hidup di kota santrinya Turki. Bumi Cinta Mevlana, kotanya Jalaluddin Rumi. Ketika saya menempuh studi di sini, banyak teman-teman yang bertanya mengenai situasi dan kondisi di Turki. Entah yang berbau studi murni maupun kondisi sosial politik. Mereka tertarik untuk studi di sini. Saya pun mencoba jujur dan menjawab dengan data-data, sebagaimana saya sejak di bangku kuliah digembleng untuk menyuarakan kebenaran. Peh jadi kayak Gus Dur.
Karena saya masih beberapa bulan di sini, tentu jawabannya tidak sebaik para suhu yang telah lama di sini. Misalnya Bang BJ, sang legendaris yang baru saja selesai sidang tesis. Atau Bang Agung, sang doktor pecinta kopyah ala seniman. Atau Bang Agusta, yang sudah lama tinggal di luar negeri, seperti Taiwan. Juga banyak nama-nama besar lainnya. Karena minim pengalaman, saya cukup sering bertanya mengenai situasi kondisi di Turki untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Namun demikian, sesempit dan sependek yang saya tahu (meminjam bahasa Bang BJ), saya akan menganalisa bagaimana pengalaman indah yang bisa didapatkan saat studi di Turki.
Kondisi Keamanan di Turki
Bisa dibilang Turki adalah negara yang banyak terjadi teror. Misalnya bom, penembakan, konflik di perbatasan, dan beragam musibah lainnya.
Dari sini kita harus berpikir lagi. Lalu kenapa ada teror? Apa masalah? Sebenarnya tidak juga. Tidak semua daerah di Turki itu rawan teror. Setidaknya menurut saya. Misalnya di Konya. Selama 3 bulan tinggal di sini kelihatannya nyantai-nyantai saja. Track record-nya juga saya lihat tidak ada data bom atau masalah serius, kata Google amca, setelah sebelumnya tanya tentang om telolet om. Semoga saja selamanya Konya bisa menjadi kota yang aman. Singkat kata, di Turki tidak semua kota berbahaya.
Poin penting selanjutnya. Kalau pun toh Turki sering ada teror bom dan lain sebagainya, lalu kenapa? Sebenarnya tidak kenapa-napa. Bukan meremehkan. Kita menganggap teror itu berbahaya karena bisa merenggut nyawa. Kalau kita menggunakan cara pandang ini kita pasti menyangka bahwa Turki adalah negara yang lebih mematikan daripada Indonesia. Mari kita buktikan.
Saya coba mencari berapa total korban per tahun karena teror. Saya cari di website resmi pemerintah belum ketemu. Ternyata ketemu artikel tentang teror sepanjang tahun 2016. Saya coba hitung semua, ternyata jumlah yang meninggal selama satu tahun akibat bom tahun 2016 berjumlah 229. Mari kita bandingkan di Indonesia. Ternyata setidaknya hanya 4 korban akibat bom. Itu saja pelaku juga saya hitung. Wah Indonesia aman berarti dari pada Turki? Eh, jangan senang dulu. Kita bandingkan kasus kematian yang lain ya.
Kita lihat dari segi transportasi. Di Indonesia, tahun 2013 (karena statistik Indonesia hanya sampai tahun itu) telah terjadi kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan 26.416 orang meninggal dunia. Itu artinya ibarat tiap 1 jam ada 3 korban meninggal dunia akibat kecelakaan. Bagaimana dengan Turki? Menurut BPS-nya turki, ada 3.685 korban meninggal dunia akibat kecelakaan pada tahun yang sama. Artinya Indonesia lebih berbahaya daripada Turki, 7 kali lebih mematikan daripada Turki dalam hal lalu lintas. Jadi ingat najis mughalazah dan mutawasitah.
Belum lagi meninggal akibat bencana alam. Rilis BPS tahun 2016 di Indonesia ada korban meninggal sebanyak 26.416 orang. Saya cari di data resmi Turkstat tetapi belum menemukan data tentang natural disaster. Saya membandingkan dengan sumber lain ternyata korban akibat bencana alam di Turki cukup minim karena memang jarang ada bencana alam. Hanya saja pada tahun 2014 ada gempa di laut Aegean yang mengakibatkan 324 orang meninggal dunia. Tentu hal ini tidak ada apa-apanya dengan Indonesia yang pernah mengalami bencana besar seperti Tsunami dan gempa Jogja. Atau perang suku seperti Batak dan Madura yang sepertinya jumlah korban ditutupi atau mungkin tidak bisa dirilis. Juga belum termasuk korban borak, miras oplosan dan beras plastik.
Artinya apa? Jika kita memandang mematikan yang mana antara Indonesia dan Turki, berdasarkan data saya menyimpulkan lebih mematikan Indonesia. Itu belum masuk hitungan kejahatan seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Saya di Turki agak beda style. Kalau dulu di Indo tas ransel di taruh di perut. Sekarang tas ransel ditaruh di punggung. Tahu kan maksudnya?
Lingkup Sosial
Entah mengapa pertama kali tiba di Konya saya merasakan hampir seperti di rumah sendiri. Utusan Necmettin Erbakan menyambut bak kawan lama. Pegawai asrama juga akrab. Semua orang di Konya sesedikit yang saya temui ramah-ramah. Baik pegawai bank, elkart, satpam, orang-orang di taman, ketua dekan, karyawan kampus, begitu pula mahasiswa yang ada di sana sampai saat ini di mata saya mereka adalah orang yang ramah. Namun jangan kaget jika ketemu dengan orang yang salah. Mereka sering blak-blakan dalam bertanya walaupun tidak kenal. Pernah di taman setelah shalat Jumat ada orang tua umur kisaran 55 tahun bercerita tentang s*x.
Makanan
|
[Sarapan Khas Turki. Foto s-media-cache-ak0.pinimg.com] |
Untuk masalah makanan bagi saya Turki adalah negara yang cukup menyenangkan. Meski pun ada beberapa makanan yang kurang cocok karena maklum orang Indo seringnya makan nasi. Kalau belum makan nasi berarti belum makan.
Saya sangat bersyukur bisa melanjutkan studi di Turki karena makanannya membuat tenang. Maksudnya? Bisa dibilang makanannya sedikit yang haram karena mayoritas Muslim. Tidak seperti yang Mas Agusta ceritakan, waktu di Taiwan banyak makanan mengandung babi. Hiiiiii……. Kalau mau masak sendiri di sini (Konya) banyak market yang menyediakan bahan baku seperti beras, ikan, ayam, telur, bahkan Indomie.
Memang ada mahasiswa Asia Tenggara, tepatnya Filipina yang sampai sekarang belum bisa makan makanan Turki. Namun menurut saya itu cuman kurang latihan saja.
Selain itu, saya juga merasa nyaman makan makanan di warung Turki. Entah karena ada sertifikat kelayakan yang dipampang di tembok warung atau bagaimana. Yang jelas saya tidak was-was seperti di Indo dulu. Makan bakso murah tetapi khawatir isinya tikus. Lalu kucing makan apa? Atau khawatir makan apel lilin, ayam tiren, es cat tembok, tempe yang dicuci di Kali Ciliwung yang hitam pekat, tahu yang dibuat dengan cara diinjak-injak dengan kaki telanjang, atau roti daur ulang. Saya sampai saat ini belum pernah menemukan berita yang sadis tentang makanan.
Bahasa
Bisa dibilang bahasa Turki itu bahasa yang sulit. Namun saya sangat bersyukur dan senang karena bisa studi di Turki dengan bahasa Turki. Mengapa? Saya merasakan ketika belajar bahasa Turki tidak seperti belajar Bahasa Arab yang banyak sekali menguras tenaga. Saya teringat ketika belajar Bahasa Arab harus menuntaskan hafalan sekaligus paham kitab Imrithi, Alfiyah, Jurumiyah, Maqshud, Tasrif, dan bergelut dengan kamus-kamus lughahnya. Belum lagi mempelajari ibarat-ibaratnya. Belum lagi tulisannya tidak sama dengan latin yang memiliki aturan khusus. Belum lagi takziran kalau tidak hafal nanti makan cabai atau dipukul pakai tabuh beduk.
Saya masih ingat waktu berusaha menguasai kitab kuning butuh kerja keras hingga harus menyita waktu bermain, menulis surat (cieh-cieh), cangkruk dan tidur. Perlu usaha berkali-kali dan banyak membaca serta mengulang hafalan. Tidak seperti belajar bahasa Turki. Pengalaman pribadi sebelum berangkat ke Turki saya sudah belajar otodidak dan mendapatkan level A1 waktu test online.
Bahasa Turki merupakan bahasa yang jujur. Tidak seperti bahasa Inggris yang seringkali berbohong antara tulisan dan pelafalan. Vocabnya pun sederhana bagi saya karena banyak mengandung kosakata Arab. Grammarnya pun sederhana, tidak ada perbedaan dhomir antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal waktu pun menurut saya tidak seribet Bahasa Inggris. Jadi tantangan bahasa Turki bisa dibuat sederhana tanpa meremehkannya karena ternyata ia lebih mudah dibandingkan dengan bahasa-bahasa yang lain.
Kebebasan Beribadah
Selama di Konya saya merasakan seperti di rumah sendiri. Masjid ada di mana-mana sehingga mau shalat gampang saja. Yang jadi masalah hanyalah waktu musim dingin air wudhu sebagian masjid menjadi beku. Juga karena dingin banget jadinya kesulitan untuk wudhu. Namun hal itu bukan masalah besar.
Dari banyaknya kenikmatan yang begitu besar tersebut lantas tidak membuat saya gelap mata. Saya tetap membuat diri saya prihatin dengan menyibukkan diri untuk banyak berkarya (cieh-cieh). Saya berusaha untuk mencari tantangan agar diri saya tidak merasa keenakan karena dengan tantangan tersebut saya merasa menjadi lebih kuat.
Yang saya rasakan saat ini, belajar di Turki lebih ringan daripada waktu belajar di Indonesia dulu. Di Turki ada dua hari libur umum, Sabtu-Minggu. Belum lagi summer libur 3 bulan. Ditambah libur lagi kalau hujan salju. Waktu di Indo, terutama saat melanjutkan S2 saya kira cukup berat. Sekolah masuk dari minggu sampai Kamis dan Jumat Sabtunya ke Surabaya untuk kuliah. Belum lagi ditambah kegiatan pesantren
Karena menurut saya banyak waktu luang, saya bertekad untuk meneruskan hobi menulis yang sempat terhenti, saya harus mengirimkan satu naskah buku ke penerbit. Dan Alhamdulillah selama 3 bulan di sini saya sedang menunggu keputusan 3 naskah buku pada 3 penerbit berbeda. Saya berprinsip bahwa saat waktu santai harus diisi dengan kegiatan yang bermanfaat. Namun demikian saya berdoa semoga Allah tetap memberi saya beban yang mudah, urusan mudah, dan nikmat yang bisa senantiasa saya syukuri.
Sebelum tulisan ini saya akhiri, saya memberi catatan bahwa studi di Turki adalah relatif, bisa jadi menyenangkan bisa jadi tidak. Ada tempat yang aman ada juga tempat yang tidak aman. Tidak bisa dipukul rata. Tergantung kita milihnya bagaimana? Mau tempat yang menyenangkan bagi kita atau tidak? Saya percaya bahwa kesenangan itu bisa kita ciptakan dan bisa kita dapatkan dengan cara mendalami secara matang apa yang hendak kita jalani. Seperti saya memilih istri, saya memilih karena kuatnya agama dan banyaknya prestasi. Ketika sudah mantap, langsung saja ke rumah bapaknya dan minta anaknya. Sama bapaknya langsung diajak ke mushalla dan berunding layaknya mau mengikrarkan kemerdekaan. Dan ternyata wanita yang aku pilih tidak meleset seperti yang aku amati dan selidiki.
Sebelum saya memutuskan studi di Turki saya sudah persiapan selama 2 tahun. Sebelum apply beasiswa saya sudah melihat hampir seluk beluk kampus, para dosen, mata kuliah, serta tulisan-tulisan para dosen yang bertebaran di Jurnal. Saya melihat bahwa kota Konya ini adalah kota paling menarik hati saya dibanding kota-kota yang lain dan sangat sesuai dengan jurusan saya. Kota pertama yang menjadi pilihan untuk study, dan Alhamdulillah, ternyata kota ini sampai sekarang tidak meleset dari apa yang saya bayangkan. Dan semoga sampai kapanpun kota Konya menjadi kota penuh cinta dan kedamaian. Amin.
Rujukan tulisan:
https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/892
Didik Andriawan
Mahasiswa S3 Tafsir Necmettin Erbakan University, Konya. Kelahiran Nganjuk namun jadi penduduk Kediri. Seneng kangen anak & istri, hobi makan mie ayam. Ndk rajin-rajin amat, sedang berusaha membiasakan diri minum Ayran dan makan Zaitun.