Keyman mengatakan, masa depan demokrasi dan pemerintahan Turki sebenarnya tidak berdasar pada adopsi sistem presidensial atau parlementer, bukan pada perubahan sistem secara radikal, namun pada penguatan demokrasi yang berbasis pada perimbangan dan pengawasan antar sistem yang baik.
[Contoh Material Kampanye Referendum dari Pihak Pro dan Kontra. Sumber: Pribadi] |
Minggu lalu, tepatnya pada 16 April 2017, Turki baru saja melewati
salah satu momen penting dalam perjalanan politiknya sebagai sebuah Republik
modern. Momen penting tersebut adalah referendum terkait amandemen 18 pasal
dalam konstitusi Turki yang membahas tentang perubahan sistem pemerintahan
serta penyesuaian peran lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif di dalam
proses perubahan sistem pemerintahan tersebut. Referendum kali ini merupakan
salah satu referendum paling menentukan dan paling panas dalam sejarah Turki.
Pihak pro dan kontra-referendum sama-sama berjuang dengan cukup keras dalam
menggaet suara warga Turki. Hasil yang sementara dapat diobservasi di beragam
media menunjukkan bahwa referendum kali ini dimenangkan oleh pihak
pro-referendum dengan suara sebesar 51.41%, yang terpaut amat tipis dengan
suara dari pihak kontra-referendum sebesar 48.59%.
Terkait referendum kali ini, tim Turkish Spirit telah menyiapkan
beberapa artikel yang akan mengevaluasi dan menganalisa secara dalam proses
referendum dari beragam aspek. Tulisan dari dua orang editor tim Turkish
Spirit, Didid Haryadi dan Hadza
Min Fadhli Robby, serta tulisan dari mahasiswa S2 Kajian Timur Tengah UGM, Moddie Alvianto Wicaksono,
akan menjadi bagian dari ikhtisar Turkish Spirit terkait Referendum Turki.
Semoga ikhtisar ini dapat membantu pembaca untuk dapat memahami referendum
secara lebih baik dan berimbang. Selamat membaca.
Referendum Turki: Antara Ambisi dan Momentum Membangun Turki yang
Lebih Maju
Oleh: Didid Haryadi (Pimpinan Redaksi Turkish Spirit)
Peristiwa kudeta 15 Juli 2016 telah memberikan dampak yang sangat
besar bagi Turki. Selain suasana pemeriksaan yang semakin ketat di hampir semua
stasiun kereta, bandara dan terminal juga menghadirkan rasa kekhawatiran dan
persepsi negatif yang secara relatif muncul di dalam dan luar negeri pemerintah
terus melakukan pemeriksaan dan penelusuran kepada beberapa orang. Pascakudeta
gagal yang menewaskan lebih dari 200 lebih jiwa tersebut, yang diyakini
memiliki relasi dengan aktor kudeta.
Sejauh ini situasi keamanan di Turki cukup stabil. Jika
dibandingkan dengan dua tahun terakhir stabilitas politik dan ekonomi Turki
menghadapi tantangan besar. Sebut saja ancaman terorisme melalui serangakian
ledakan bom yang telah menewaskan banyak warga sipil dan juga pihak keamanan
yang terjadi di beberapa kota seperti Ankara, Istanbul, Izmir, dan Kayseri.
Selain itu pada bidang ekonomi, nilai tukar mata uang Lira yang terus melemah
hingga pernah menyentuh angka 3,9 TL (Turkish Lira) terhadap Dollar Amerika
Serikat. Namun demikian, sampai hari ini,kondisinya masih fluktuatif dan hanya
bergerak pada level 3,6-3,7 TL (per 1 USD).
Sebagai antisipasi dan sekaligus solusi memperkuat stabilitas
ekonomi, politik dan keamanan Pemerintah Turki telah menawarkan pilihan kepada
publik untuk melakukan referendum, tepatnya
pada 16 April 2017. Secara historis, referendum di Turki telah
melewati jalan panjang dan menjadi babak sejarah yang menarik untuk terus
ditelusuri. Tercatat sudah enam kali referendum dihelat oleh negara bekas
Kesultanan Usmani ini. Diantaranya adalah pada tahun 1961, 1982, 1987, 1988,
2007 dan 2010. Secara statistik, referendum tahun 1982 mencetak pencapaian
hasil yang sangat tinggi. Dengan jumlah pemilih ‘Evet’ (Ya) yang mencapai 91,4% (hampir
menyentuh 19 juta pemilih), sedangkan pemilih ‘Hayır’ (Tidak) hanya 8,6% (sekitar 1,6 juta
pemilih). Pada sisi lainnya, dari enam kali penyelenggaraan referendum sebanyak
lima kali (1961, 1982, 1988, 2007 dan 2010) pemilih ‘Evet’ selalu melampaui ambang batas threshold (selalu di atas 50%).
Referendum 16 April 2017 telah melalui tahapan kepada publik
Turki. Tepatnya pada 10 Februari 2017 Presiden Reccep Tayyip Erdoğan
menandatangani persetujuan paket amandemen konstitusi. Sebelumnya pada 21
Januari 2017 sebanyak 339 anggota parlemen sepakat untuk mengubah 18 poin dalam
konstitusi dan selanjutnya diratifikasi oleh presiden. Referendum 16 April tentu
saja akan menjadi babak sejarah baru bagi Turki. Paket amandemen konstitusi
yang menawarkan sistem presidensial diyakini menjadi pilihan terbaik untuk
menghadirkan kedaulatan Turki baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Jika
hasil referendum nantinya melampaui ambang batas, di atas 50% maka dipastikan
sistem pemerintahan Turki akan berubah menjadi Presidensial yang sebelumnya
menganut sistem Parlementer, yang mana keberadaan Perdana Menteri akan dihapus
dan digantikan dengan Wakil Presiden.
Pihak oposisi terutama partai CHP (Cumhuriyet Halk Partisi), Partai Rakyat
Republik selalu menekankan bahwa tawaran referendum sistem presidensial akan
semakin mengokohkan status quo pemerintahan yang sekarang dan cenderung
menganut paham otoritarian. Sebagai generasi pewaris dan penjaga nilai-nilai
Kemalist (pengikut Mustafa Kemal Atatürk), pihak oposisi merasa ide referendum
hanya akan memberikan kekuasaan tanpa batas dalam konstitusi baru. Di Turki,
dikenal terma ‘Tek Adam’ (hanya satu pemimpin—makna
literal), yang berarti kewenangan penuh yang akan dimiliki hingga periode 2029.
Kondisi ini merupakan kekhawatiran dari pihak oposisi yang masih menganggap
bahwa tidak ada yang bisa menggantikan sang pendiri Republik Turki, Mustafa
Kemal Atatürk. Hal yang senada juga terus disampaikan oleh pihak oposisi lain
seperti HDP (Halkların Demokratik Partisi)—Partai
Demokratik Rakyat yang pro-Kurdi, tetap menentang dan menolak pengakhiran
sistem parlementer.
Pemerintahan Republik Turki dalam beberapa bulan terakhir selalu
menyerukan pembangunan dan penanaman nilai-nilai nasionalisme kepada rakyatnya.
Yang menarik adalah seruan dengan slogan ‘Yeni Türkiye’ (Turki yang Baru). Dalam setiap
kesempatan pidato publik dan kampanyenya, presiden Erdoğan biasanya menyebutkan
empat hal: tek millet (satu bangsa), tek bayrak (satu bendera), tek vatan (satu tanah air), dan tek devlet (satu negara). Ini adalah
sebuah medium yang diambil untuk terus menciptakan rasa solidaritas dan
mempertegas identitas sebagai orang Turki. Sekaligus ajakan untuk mengambil
bagian partisipasi aktif dalam pembangunan, serta langkah startegis yang
ditempuh untuk memperkuat dan memperoleh simpati dari rakyat.
Sejak mendeklarasikan sebagai negara Republik pada 29 Oktober
1923, Turki mengalami fase panjang perjalanan sosial dan politik. Geliat
pembangunan di kota besar seperti Istanbul adalah contoh kecil yang bisa merepresentasikannya.
Pencapaian pembangunan yang mendapatkan restu dari publik terus dikampanyekan.
Narasi sosial untuk membangun Turki yang besar dan kuat terus disiarkan oleh
media pemerintah. Dan sebagai upaya menuju 100 tahun kemerdekaannya pada 2023
nanti, Turki telah dan sedang melakukan program partisipasi kepada rakyatnya
dan pembaruan fasilitas publik yang meliputi jalan raya, jembatan, bandar
udara, metro (kereta bawah tanah), Avrupa Tüneli (Tol bawah laut—yang membelah
Selat Bosphorus) dan museum-museum yang menyimpan
nilai wisata sejarah budaya.
Meskipun demikian, banyak juga sisi lain yang juga terus menjadi
sorotan publik. Misalnya saja, penangkapan ribuan orang termasuk hakim, jaksa,
dosen dan polisi yang diduga terlibat dalam kudeta 15 Juli yang lalu. Situasi
ini berimplikasi negatif terhadap independensi yudikatif Turki yang merosot ke posisi
151 dari 180 negara di dunia. Pihak pemerintah Turki meyakini bahwa Fethullah
Gülen adalah aktor dibalik kudeta Juli kemarin. Seperti yang disampaikan oleh Ahmet
Kasim Han, pakar politik dari Kadir Has University kepada BBC, “parlemen yang
bertindak sebagai pengimbang akan
segera dihapus.” Konteks referendum Turki adalah Referendum
Obligatoir. Artinya, prosesi ini harus terlebih dahulu mendapat persetujuan langsung
dari rakyat sebelum suatu undang-undang tertentu diberlakukan. Persetujuan dari
rakyat mutlak harus diberikan dalam pembuatan suatu undang-undang yang mengikat
seluruh rakyat karena dianggap sangat penting.
Sebanyak 55,319,222 pemilih akan berpartisipasi dalam referendum
16 April 2017. Dari jumlah tersebut pemilih yang berusia 18 tahun sebanyak
1,269,282. Sebagai catatan tambahan, kurang lebih tiga juta pemilih yang berada
di luar negeri, tersebar di 57 negara telah menggunakan hak suaranya pada 27
Maret-9 April lalu. Untuk memaksimalkan prosesi referendum 2017 ini,
sebanyak 167,140 kotak suara telah disebar ke seluruh Turki, dan sebanyak 461
berada di lembaga pemasyarakatan (penjara). Untuk waktu pemilihan, akan
diberikan dari jam 8 pagi hingga 5 siang. Sedangkan untuk wilayah seperti
Adıyaman, Diyarbakır, Mardin, Şamlıurfa, Trabzon dan daerah sekitarnya akan
dimulai dari jam 7 pagi hingga jam 4 siang (penyebutan ini karena sekarang
adalah musim semi, siang lebih panjang dari malam). Sedangkan kampanye
referendum sudah harus berakhir pada 15 April 2017 pada jam 6 siang. Ketentuan
ini sesuai arahan Dewan Pemilihan Tinggi (Yüksek
Seçim Kurulu).
Di luar referendum tersebut, juga masih banyak pekerjaan
pemerintahan Turki. Gelombang pengungsi dalam jumlah yang besar tentu saja akan
menjadi polemik sosial di masa yang akan datang. Keinginan Turki untuk menjadi
anggota penuh Uni Eropa sejak resmi ditetapkan sebagai kandidat pada 12
Septemer 1963 sampai sekarang juga belum direstui. Menarik untuk ditunggu
hasil referendum 16 April 2017 ini: apakah mampu merubah hasil referendum 1982
yang masih berlaku hinga hari ini di Turki?
Menerka Hasil Referendum Turki
Oleh: Moddie Alvianto Wicaksono (Mahasiswa Pascasarjana Kajian Timur Tengah, UGM)
Setelah era Mustapha Kemal Pasha berakhir, Erdogan diklaim sebagai pemimpin Turki yang memiliki jiwa Islamis (Kanra, 2009:35). Erdogan seakan menjadi oase setelah 80 tahun Turki bukan dipimpin oleh pemimpin Islamis. Mulanya, ia adalah Perdana Menteri yang menjabat dari tahun 2003-2014. Namun semenjak tahun 2014, Erdogan berhasil terpilih menjadi presiden melalui pemilihan langsung. Kepemimpinan Erdogan sejatinya telah teruji sejak tahun 1994. Saat itu, Erdogan terpilih menjadi walikota Istanbul. Pelbagai sektor kehidupan seperti ekonomi dan pariwisata digarap dengan baik. Salah satunya penataan kota Istanbul hingga menjadi salah satu destinasi wisata terbaik di dunia. Selain itu, banyak pengangguran yang dipekerjakan olehnya sehingga mengurangi tingkat pengangguran di Istanbul (Eligur, 2010:76).
Meroketnya nama Erdogan membawa berkah bagi partainya yaitu Justice and Development Party (AKP) sehingga membuat ia bersama partainya bisa memegang pucuk kepemimpinan pemerintahan Turki baik sebagai perdana menteri maupun presiden. Ujian Erdogan dan Turki baru dimulai pasca meletusnya krisis Arab Spring yang terjadi di Tunisia, Yaman, Mesir, dan Suriah pada tahun 2011. Perisitiwa Arab Spring ditengarai menyebabkan krisis kemanusiaan di Timur Tengah dan menghasilkan gelombang imigran yang berlebihan. Gelombang imigran paling banyak terdiri dari Suriah. Hal ini tak mengherankan karena secara geografis Suriah berbatasan langsung dengan Turki. Tercatat hingga saat ini 3 juta pengungsi mencari suaka ke wilayah Turki. Selain itu, kemunculan ISIS dan percobaan kudeta terhadap dirinya semakin menguatkan pemerintahan Erdogan untuk segera mengubah konstitusi dan melaksanakan referendum.
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh lembaga QU4RO Strategis and Consulting, sejatinya isu referendum sudah terjadi sejak tahun 1961. Turki telah melakukan polling sebanyak 5x mengenai referendum konstitusi yaitu pada tahun 1961, 1982, 1987/1988, 2007, dan 2010.
[Hasil Referendum Turki 1961-2010. Sumber: QU4TRO] |
Hasilnya cukup mengejutkan. Ternyata sejak tahun 1961, masyarakat Turki telah menginginkan referendum konstitusi. Pemilih ‘yes’ selalu mengalahkan pemilih ‘no’ dengan marjin yang cukup besar kecuali pada tahun 1987. Dengan adanya rentetan sejarah polling ini akan justru melegitimasi keinginan pemerintahan Erdogan untuk segera melakukan referendum. Selain QU4TRO, ada beberapa lembaga sejenis semacam Gezici, ORC dan MetroPoll yang telah melakukan polling serupa sejak awal 2015. Meskipun pada mula tahun 2015, pemilih NO masih mendominasi dengan perolehan 76% namun sampai dengan awal Januari ternyata pemilih YES berbalik mencapai 62%. Ini menjadi awal positif bagi pemerintahan Erdogan untuk melanggengkan referendum.
Ada 18 pasal yang rencananya akan diubah ketika referendum berhasil. Dari 18 pasal, ada beberapa pasal yang menjadi titik poin penting perubahan bagi pemerintahan Erdogan. Diantaranya sebagai berikut:
- Presiden akan menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
- Posisi Perdana Menteri akan dihapuskan kemudian akan diganti dengan wakil presiden.
- Masa jabatan presiden dibatasi selama 2 periode (1 periode = 5 tahun)
- Pemilihan presiden dan legislatif akan diberlakukan tiap 5 tahun dan dijadwalkan di hari yang sama.
- Legislatif bisa menurunkan presiden asalkan syarat voting mencapai 2/3 dari jumlah legislatif.
Melihat rencana gubahan konstitusi, Turki tampak ingin meniru sistem demokrasi yang sudah diimplementasi beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Indonesia. Hal ini sebenarnya tak mengherankan ketika Turki ingin meniru sistem kedua negara tersebut karena adanya hubungan baik secara ekonomi atau politik terjalin dengan harmonis. Tentunya, pemerintahan Erdogan pun menilai hingga saat ini sistem demokrasi yang dijalankan kedua negara tersebut paling baik untuk dicontoh.
Pro-Kontra Referendum
Seiring berjalannya waktu menuju referendum, masyarakat Turki terbelah menjadi dua bagian yaitu antara kubu pro dan kontra. Kubu pro berpendapat bahwa kampanye Erdogan akan membawa kestabilan dan kemoderenan sehingga mengubah wajah Turki menjadi “New Turkey”. Masifnya gerakan ISIS, serangan dari kelompok Kurdi, gelombang imigran hingga sulitnya Turki masuk menjadi bagian dari Uni Eropa menjadi alasan kuat bagi kelompok pro yang digawangi oleh pemerintah. Alasan terakhir menjadi poin penting karena sudah menjadi rahasia umum jika Turki ingin sepenuhnya menjadi bagian Eropa.
Sedangkan kubu kontra menganggap bahwa jika Erdogan berkuasa penuh maka ketakutan yang terbesar adalah membawa Turki menjadi negara Islamis. Selain itu, pemerintahan Erdogan diduga melakukan nepotisme berlebihan dan juga dianggap telah menyegel kebebasan pers. Beberapa surat kabar dianggap memberitakan hal buruk kepada pemerintahan Turki. Hal ini yang menjadi alasan kuat untuk mengkudeta Turki walaupun pada akhirnya gagal. Ini jelas paradoks karena disaat demokrasi menjunjung kemerdekaan berpendapat malah yang terjadi represi mengerikan terhadap pers.
Pertanyaannya adalah apakah pemerintahan Erdogan berhasil melanggengkan kekuasaannya? Atau apakah kekuasaan Erdogan justru dihentikan oleh kubu kontra? Menarik untuk ditunggu dan disimak!
Perjalanan Referendum dan Redefinisi Demokrasi di Turki
Oleh:
Hadza Min Fadhli Robby (Tim Editor Turkish Spirit)
Demokrasi
Turki akan melalui kembali salah satu titik nadir dalam perjalanannya pada 16
April nanti. Secara garis besar, referendum ini akan meminta persetujuan warga
negara Turki atas proposal amandemen konstitusi yang telah disusun oleh Komisi
Konstitusi Parlemen Turki berisi 18 pasal yang berkisar tentang perubahan
sistem pemerintahan dan pengubahsuaian fungsi lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif di Republik Turki. Adanya perubahan sistem pemerintahan ini tentu
saja bukan merupakan sebuah hal yang sederhana, namun sebuah tahapan yang
radikal dan fundamental bagi kelanjutan politik Republik Turki yang usianya
mendekati satu abad.
Referendum
bukan hal baru bagi warga negara Turki, bahkan dalam jangka waktu satu dekade
warga negara Turki sudah mengalami dua kali referendum pada tahun 2007 dan
2010. Sejarah panjang referendum di Turki sebenarnya sudah bermula sejak tahun
1961. Menarik untuk melihat bahwa beberapa kali referendum di Turki
terjadi langsung setelah berlangsungnya kudeta militer. Proses referendum di
Turki diawali pada tahun 1961 oleh pemerintahan baru yang dipimpin oleh Cemal
Gürsel.
Referendum
selanjutnya, yakni pada tahun 1982, juga terjadi setelah peristiwa kudeta tahun
1980 yang dipimpin oleh Jenderal Kenan Evren. Referendum kali ini membahas soal
penggantian Konstitusi 1961 yang dianggap tidak berlaku lagi oleh pihak junta,
sehingga pihak junta dan pemerintah sipil bersama-sama merancang sebuah
konstitusi baru yang dianggap sesuai dengan agenda stabilisasi politik dan
ekonomi Turki.
Walaupun
Konstitusi 1982 mengandung beberapa pasal yang mendorong proses demokratisasi
dan pengadopsian norma hak asasi manusia, beberapa pihak menganggap bahwa
Konstitusi 1982 masih mengandung banyak anasir-anasir anti-demokratik di
dalamnya, seperti misalnya adanya supremasi militer atas sipil dan pembatasan
terhadap beragam hak sipil dan hak sosial-politik. Konstitusi 1982 juga tidak
dikonsultasikan dan dibicarakan secara terbuka oleh pihak junta dan partai
penguasa pada masa itu.
Seiring
dengan berjalannya proses demokratisasi dan liberalisasi pasar Turki pada
pertengahan dekade 1980-an, Turki mulai mengubahsuaikan beberapa pasal dalam
Konstitusi 1982, seperti misalnya pelarangan hak politik bagi beberapa politisi
yang dianggap provokatif oleh pihak junta. Namun, keresahan berbagai pihak dari
beragam spektrum ideologi terkait Konstitusi 1982 masih tersisa, bahkan argumen
tentang amandemen Konstitusi 1982 makin mewacana pada tahun-tahun setelah
terjadinya kudeta pos-modern pada 1997.
Setelah
naiknya AKP ke tampuk kekuasaan pada tahun 2003, AKP sebagai partai yang pada
mulanya memiliki pragmatisme politik dan program demokratisasi yang terstruktur
menjadikan reformasi dan amandemen Konstitusi 1982 sebagai salah satu agenda
utama politik partai. Adanya ambisi AKP untuk mereformasi dan mengamandemen
Konstitusi 1982 didasari oleh dua hal: pertama, ambisi Turki untuk menjadi
negara anggota Uni Eropa dan mengikuti standar-standar yang ditetapkan oleh Uni
Eropa; kedua, upaya untuk meredupkan pengaruh dan warisan ancien regime yang
terdiri dari kelompok tentara dan Kemalis.
Dalam
upayanya untuk mereformasi Konstitusi 1982, Turki yang berada dibawah kendali
AKP membentuk sebuah komisi yang dinamakan sebagai ‘Komisi Konstitusi
Sipil’ yang terdiri dari politisi dan pakar hukum konstitusional yang
ditugaskan untuk membuat draf konstitusi. Namun, draf konstitusi ini tidak
mendapat sambutan luas dari masyarakat karena kerja komisi dianggap tidak
terbuka dan transparan.
Tak
lama kemudian, Turki kemudian mengadakan referendum pada tahun 2007 yang
membahas tentang ‘pemilihan Presiden secara langsung’. Referendum 2007 diterima
secara luas oleh masyarakat Turki, karena pemilihan Presiden (meskipun
jabatannya relatif simbolik dalam sistem parlementer) dianggap sebagai
kesempatan baru dalam eksperimentasi demokrasi di Turki. Namun, pihak oposisi
yang menolak Referendum 2007 menganggap bahwa pemilihan Presiden langsung dapat
dijadikan sebagai alat bagi penguasa untuk melakukan manuver dalam merebut
kekuasaan yang lebih besar lagi.
Adanya
Referendum 2007 ini menjadi awalan bagi Turki untuk menjalankan amandemen konstitusi
yang lebih komprehensif lagi. Partai penguasa AKP kemudian mengagendakan
referendum pada tahun 2010 dengan pembahasan amandemen konstitusi yang jauh
lebih luas, mencakup masalah-masalah mulai dari pengarusutamaan norma hak asasi
manusia hingga masalah pengaturan lembaga yudisial. Referendum ini
diperdebatkan secara cukup sengit antara penguasa dan oposisi, dimana penolakan
terhadap referendum lebih kuat menggaung dibandingkan sebelumnya. Namun, karena
adanya harmoni antara amandemen konstitusi dengan nilai-nilai Uni Eropa,
referendum amandemen konstitusi berhasil dimenangkan kembali oleh AKP dan
oposisi secara konsekuen menerima hasil referendum tersebut.
Kini,
konteks politik, sosial-masyarakat dan ekonomi sudah berubah di Turki. Tak
seperti 10 tahun lalu, Turki menghadapi lingkungan domestik, regional dan
internasional yang lebih kompleks dari sebelumnya. Beragam peristiwa yang
memiliki dampak besar telah dilalui Turki dengan susah payah, mulai dari
gelombang Arab Spring, rangkaian protes Gezi Park, konflik Suriah, krisis
diplomatik dengan negara-negara Uni Eropa serta percobaan kudeta 15 Juli 2016.
Referendum amandemen konstitusi yang akan berlangsung 16 April 2017 berkembang
dalam lingkup kompleksitas tersebut.
Seperti
yang telah disebutkan singkat di atas, referendum amandemen konstitusi hendak
menetapkan sebuah langkah radikal yang dapat mengubah politik Turki untuk
selamanya, yakni dengan mentransformasi sistem parlementer ke presidensial.
Selain itu, ada pula pasal-pasal yang membahas tentang perluasan peran parlemen
dan pengurangan pengaruh militer secara drastis dalam perlembagaan politik dan
peradilan Turki. Langkah radikal ini diambil oleh Turki dengan satu alasan,
dalam bahasa partai penguasa AKP, untuk menetapkan Turki pada jalan yang semestinya.
Mengambil
alasan ketidakefektifan sistem parlementer dalam penentuan dan pelaksanaan
keputusan yang terjadi pada masa-masa sebelumnya serta kekhawatiran akan
kudeta-kudeta susulan, AKP beserta partai mitra mencoba untuk membangun sistem
yang dianggap tangguh dalam menghadapi kompleksitas kedepannya. Menurut
AKP, dengan sistem yang tangguh, permasalahan di tingkat nasional, regional dan
internasional akan dijawab secara lebih tegas dan jelas, tanpa perdebatan yang
panjang.
Di
sisi lain, referendum kali ini memang bukan referendum yang mudah bagi AKP,
sebab oposisi yang dipimpin oleh CHP dan HDP memiliki kontra-argumen yang cukup
kuat dan oposisi juga didukung oleh segmen masyarakat yang datang dari beragam
ideologi, mulai dari Islamis (Saadet Partisi) sampai komunis. Bahkan, beberapa
faksi dari partai pendukung amandemen konstitusi juga turut ada dalam barisan
oposisi. Pihak oposisi berpendapat bahwa amandemen konstitusi merupakan sebuah
keharusan untuk membangun sebuah sistem politik yang lebih sipil dan
demokratis, namun adopsi sistem presidensial bukanlah solusi bagi Turki.
Oposisi
mengkhawatirkan suatu kondisi yang disebut sebagai kuasa satu-orang yang akan
berdampak negatif bagi proses demokratisasi Turki yang telah berlangsung
sedemikian panjang. Selain itu, oposisi juga memandang bahwa pasal-pasal yang
diusulkan dalam referendum akan lebih banyak membantu konsolidasi kekuasaan
penguasa, bukannya konsolidasi demokrasi dan masyarakat sipil secara umum di
Turki. Ada juga kekhawatiran yang muncul dari pihak kontra bahwa sentralisasi
kekuasaan yang makin kuat akan mengakibatkan perpecahan masyarakat serta
instabilitas berkepanjangan.
Di
balik semua argumen tentang optimisme dan kekhawatiran terkait referendum,
pakar politik Turki, Emin Fuat Keyman, memberikan sebuah pernyataan yang bijak.
Keyman menyatakan bahwa masa depan demokrasi dan pemerintahan Turki sebenarnya
bukan pada masalah adopsi sistem presidensial atau parlementer, bukan pada
perubahan sistem secara radikal, namun pada penguatan demokrasi yang berbasis
pada perimbangan dan pengawasan antar sistem yang baik.
Hasil
referendum sementara yang menunjukkan suara 'Iya' yang berbeda amat sedikit
dengan suara 'Tidak' akan menjadi tes tersendiri bagi demokrasi Turki, terutama
bagi pihak penguasa. Pihak penguasa akan mempunyai tugas berat untuk melakukan
rekonsiliasi dan negosiasi dengan pihak oposisi untuk menyepakati rencana
kedepan terkait perubahan sistem pemerintahan. Karena perubahan yang akan
disepakati merupakan sebuah perubahan radikal, maka proses transisi dan
transformasi ini akan memakan waktu dan tenaga yang besar.
Pimpinan
partai oposisi, Kemal Kılıçdaroğlu telah menyatakan bahwa dirinya siap
melakukan negosiasi dengan pihak penguasa terkait dengan hasil referendum dan
ketika negosiasi ini selesai, baik pihak penguasa dan oposisi akan bersama-sama
mengeluarkan sebuah deklarasi terkait rekonsiliasi dan kesepakatan tentang
bagaimana perubahan sistem pemerintahan ini akan dikawal bersmaa.
Harapan
terakhir, semoga Turki dapat melewati semua proses politik ini dengan baik,
deliberatif dan demokratis.
EmoticonEmoticon