"Pertam kali, saya belalajar kata ‘Ben’ (saya), dan ‘Sen’ (kamu, anda). Saya berhasil menyesuaikan dan mempelajari dua kata ini."
[Ilustari. Foto: http://www.vogue.es/] |
Sebagai negara yang
memiliki sejarah dan peradaban besar, Turki selalu menjadi pilihan destinasi
bagi para wisatawan. Salah satunya adalah para pelancong dari kawasan Asia,
termasuk negara kita Indonesia. Seiring waktu, Turki bukan hanya dikenal
sebagai tujuan wisata bagi Indonesia, tetapi menjadi salah satu negara yang
cowok-cowoknya mulai digandrungi oleh sebagian gadis Indonesia. Di antara
gadis-gadis yang dipersunting pria Turki, ada seorang ibu yang ditengarai
sebagai perempuan pertama yang menikah dengan pria Turki.
Pernyataan di atas tentu saja butuh diklarifikasi untuk memastikan data, tetapi berdasarkan kronik tahun, Ibu Misriani, wanita asal Banyuwangi, Jawa Timur, mungkin saja menjadi gelin (menentu perempuan) yang masuk generasi kids zaman old. Misriani pernah diwawancarai oleh salah satu media Turki Senoz Deresi tentang cerita hidupnya selama berada di Turki sejak tahun 1985. Berikut ini adalah terjemahan dari wawancaranya yang telah diterbitkan pada 16 Desember 2011.
Misriani lahir pada 22
Agustus 1968 di Banyuwangi adalah bungsu dari tiga bersaudara. İa menyelesaikan
pendidikan hingga jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemudian pada tahun 1985
ia tiba di Turki, saat itu usianya 17 tahun. Sebelumnya, Misriani bekerja di
sebuah kapal dan bertemu dengan Ismail, pria berkewarganegaraan Turki yang
berasal dari kota kecil Çayeli yang berada di Provinsi Rize—wılayah Laut Hıtam.
Ringkas cerita, Ismail menikah dengan Misriani dan memulai kehidupan baru
di Kota Çayeli. Sebagai seorang gelin—istilah yang digunakan untuk
warga asing yang menikah dengan warga negara Turki, ia sudah lama sekali tidak
mengunjungi İndonesia dan merasa sangat rindu dengan tana airnya. Meryem Şahin,
jurnalis dari Senoz Deresi berjumpa langsung dengan Misriani dan berbincang
tentang pengalamannya tinggal di Turki.
Meryem Şahin: Kita mulai dengan cerita tentang kedatangan anda dari
Indonesia ke Çayeli. Bagaimana perjumpaan anda dengan suami?
Misriani: Nama suami saya, İsmail. Saat datang ke Indonesia, ia bermaksud
untuk memulai bisnis. Di waktu itu, saya juga sedang mencari pekerjaan sebagai
penerjemah. Dan awalnya, Ismail adalah teman dari paman saya. Sejak momen itu
kami pertama kali bertemu satu sama lain.
Meryem Şahin: Bagaimana respon keluarga anda tentang pekerjaan tersebut?
Karena untuk melepas seorang anak perempuan ke daerah yang jauh dari kampung
halamannya bukanlah hal yang mudah. Apakah anda menikah dengan restu dari
mereka?
Misriani: Sebenarnya saya tidak menyampaikan semua hal tentang ini
(pekerjaan). Karena awalnya kakek saya berpikir tempat ini sangat jauh. Tetapi,
akhirnya saya mendapatkan persetujuan tentang apa yang saya inginkan.
Meryem Şahin: Sepertinya itu adalah sebuah keputusan yang berani, penuh
pertimbangan. Karena anda sama sekali tidak mengetahui bahasa dan budaya tempat
yang anda kunjungi.
Misriani: Sebenarnya suami saya pernah berujar kepada saya bahwa kami
akan tinggal di Indonesia, begitu ujarnya. Ia mengatakan akan menata dan
mengurus bisnisnya di sana (Indonesia). Saya pun menyetujuinya. Akan tetapi
dalam waktu selanjutnya, hal tersebut tidak terjadi. Sampai dengan 15 hari
setelah itu, kami memutuskan untuk ke Istanbul. Kemudian kami berangkat menuju
ke Rize di kota Çayeli.
Meryem Şahin: Bagaimana pertama kali anda tiba di Turki? Apa saja pengalaman
yang anda rasakan?
Misriani: Di Istanbul, saya pertama kali melihat secara langsung
salju. Rasanya sangat aneh. Butuh waktu bagi saya untuk menyesuaikannya.
Kami berada di Istanbul selama dua hari. Setelah itu kami menuju ke kota
Ankara, tepatnya ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk pengurusan
izin tinggal di Turki. Akan tetapi, pihak KBRI tidak bisa memberikan izin
tinggal kepada saya karena usia saya yang masih muda. “and tidak akan bisa
mendapatkan izinnya”, dan menyampaikan bahwa saya akan dikembalikan ke
Indonesia. Namun, saya tidak menolaknya.
Meryem Şahin: Bagaimana perasaan anda saat tiba di Rize? Bagaimana respon
orang-orang di sana? Apakah ada kabar tentang kedatangan anda di Çayeli?
Mirsiani: Setelah tiba di Istanbul, suami saya, Ismail, mencari rumah.
Setelah itu rampung, baru kami berkabar. Hari pertama tiba di Rize, saya
menikmati sarapan (kahvaltı) khas Turki yang telah disiapkan. Akan tetapi, di
kampung halaman saya di Indonesia, untuk sarapan kami biasanya mengonsumsi nasi
dan lauk lainnya. Saat sarapan, bahkan saya tidak mengambil satu pun makanan.
Dan itu sangat aneh bagi beberapa orang yang ada pada saat itu. “Hey, Ismail.
Ia membawa beberapa buah biji kacang”. Dan dalam situasi tersebut, saya sama
sekali tidak paham apa yang sedang dibicarakan.
Hari pertama ke rumah (di Çayeli), “pengantin—orang asing, telah datang, begitu
ujar beberapa orang”. Jalanan di sekitar tempat tinggal sangat ramai oleh warga
yang datang. Mereka sangat penasaran dengan saya. Hari itu rasanya sangat berat
dan tersulit yang pernah saya alami.
Meryem Şahin: Apakah anda melangsungkan pesta pernikahan?
Mirsiani: Tidak. Hanya menikah saja. Pesta pernikahan diselenggarakan ketika
kembali lagi ke Turki. Di Indonesia, kami tidak bisa menikah secara resmi
karena ada peraturan yang mengharuskan memiliki kartu identitas sebagai warga
negara saat usia 18 tahun. Saya membawa ijazah SMA ke sini (Turki). Saya
mendapatkan passport dengan ijazah dan selanjutnya menikah. Namun, kami harus
menunggu sampai satu tahun untuk pernikahannya.
Meryem Şahin: Ketika anda telah menjadi pengantin, apakah anda tinggal
bersama kerabat anda?
Mirsiani: Iya. Kami sudah tujuh tahun tinggal bersama. Di Indonesia, kami
memiliki keluarga besar. Dan ketika saya ke sini, saya merasa sangat kesepian.
Pada enam bulan pertama, saya tinggal bersama suami, Ismail. Selanjutnya selama
13 bulan setelahnya Ia bekerja di kapal. Saya tidak akan pernah melupakan
hari-hari saat tak bersamanya. Saya merasa seperti seorang anak yatim.
Meryem Şahin: Kapan persisnya anda memperoleh kewarganegaraan Turki?
Mirsiani: Dua tahun setelah saya di Turki.
Meryem Şahin: Berapa orang anda sekarang?
Mirsiani: Saya memiliki empat orang anak. Tiga orang laki-laki dan seorang
perempuan. Anak laki-laki tertua namanya Bilal, kuliah di Yıldız Tehnical
University jurusan teknik perkapalan. Ali dan Ahmet masih SMA. Dan yang
terakhir, Meryem, masih kelas lima sekolah dasar (SD).
Meryem Şahin: Anda memiliki budaya dan jenis makanan yang sangat berbeda dengan
Turki. Apakah sulit untuk beradaptasi dan menyesuaikannya?
Mirsiani: Di Indonesia kami lebih sering memasak nasi dan sayur.
Ketika pertama kali tiba di sini, saya hanya memasak nasi dan mengambil
beberapa sayur yang ada di kebun. Kemudian mengolahnya menjadi sayuran untuk
dimakan.
Meryem Şahin: Apakah anda tahu cara memasak?
Mirsiani: Tidak. Semuanya saya pelajari di sini.
Meryem Şahin: Makanan apa yang pertama kali anda buat?
Mirsiani: Saya pertama kali belajar memasak dengan suami. Saat itu, ia
memasak ‘mimci muhalama’ (makanan khas Rize). Pada hari selanjutnya, saya
mencoba untuk membuat Mimci Muhalama. Hasilnya tidak terlalu bagus, namun suami
memuji dan menyukai masakan saya. Hal itu membuat saya sangat bersemangat untuk
terus belajar memasak. Dan saya mendapatkan dukungan dari suami.
Meryem Şahin: Apa hal tersulit yang anda jumpai di Rize?
Mirsiani: Di Indonesia, kami bercocok tanam padi dan jagung. Dan ketika saya
di Rize, saya paham bagaimana caranya mengumpulkan daun Teh, bercocok tanam di
kebun ataupun beternak sapi. Saya telah belajar dan mendapatkan Rahmat,
petunjuk dari Allah SWT. Dan perlahan saya menyukai kegiatan bekebun.
Meryem Şahin: Apa hal teraneh yang anda jumpai di Rize?
Misriani: Di sini saya pertama kali menjumpai minuman yogurt yang
dicampur dengan jeruk (orange). Di Indonesia, kami hana memproduksi susu sapi.
Sebenarnya Yogurt adalah minuman yang sama sekali tidak saya ketahui. Butuh
waktu untuk menyesuaikannya. Di sini, saya menjumpai rumah kayu yang sangat
berbeda dengan tempat tinggal saya di Indonesia. Biasanya, kami hanya
membuatnya dari Bambu. Inı disebabkan cuaca panas yang ada di Indonesia. Di sini, saya juga
melihat cara orang berbicara dengan suara yang tinggi (kencang), itu juga yang
sulit bagi saya. Kami terbiasa berbicara dengan suara yang lembut, tidak
kencang. Saya terkejut dengan situasi yang saya hadapi ketika semua orang di
sini berbicara sambil berteriak.
Meryem Şahin: Apa kata pertama yang anda pelajari?
Mirsiani: Pertam kali, saya belalajar kata ‘Ben’ (Saya), dan ‘Sen’
(Kamu, anda). Saya berhasil menyesuaikan dan mempelajari dua kata ini.
Meryem Şahin: Kapan anda belajar berbicara dengan bahasa Turki?
Mirsiani: Saya merampungkannya selama satu tahun. Saya tidak akan
pernah melupakan Emine.Ia telah banyak mengajari bahasa Turki kepada saya. Dan
saya berhutang budi kepadanya.
Meryem Şahin: Apakah anda masih bisa berbahasa Indonesia?
Misriani: Saya bisa katakan, saya telah lupa dengan bahasa ibu saya. Lebih
banyak campur aduk dengan kata-kata dalam bahasa Turki. Mungkin karena sudah
lama tidak mempraktikannya, akhirnya lupa.
Meryem Şahin: Apakah anda masih berkomunikasi dengan kerabat anda?
Misriani: kakek saya telah wafat. Saya mengetahuinya lewat surat yang
disampaikan oleh paman dan bibi. Saya tidak tahu dimana kedua orangtua saya.
Karena sejak kecil, saya juga tidak mengetahui keberadaannya. Di sini, saya
menjumpai seseorang yang bekerja sebagai perawat. Namanya Faridah. Dan kami
berjumpa di desa Yomra yang terletak di kota Trabzon.
Meryem Şahin: Apakah anda pernah berkunjung ke Indonesia lagi?
Misriani: Tidak. Saya tidak memiliki waktu untuk ke sana.
Meryem Şahin: Apakah anda ingin ke sana?
Misriani: saya ingin sekali ke Indonesia. Tetapi sangat tidak mungkin. Saya
sangat rindu untuk berjumpa lagi dengan paman dan bibi. Juga melihat kebun dan
tempat kelahiran saya.
Meryem Şahin: Jika dalam sebuah pertandingan antara Turki dengan
Indonesia. Manakah yang akan menang?
Misriani: Tentu saja, Indonesia.
Catatan: Misriani tidak berkenan fotonya dipublikasi.
[Didid/Redaksi TS]
1 komentar:
Write komentarKerren kisah nyata gadis belia dg keberanian nya..smg sht walafiatnya misriani hanim
ReplyEmoticonEmoticon