"Saya tidak pernah minta dan negosiasi jabatan!”
—Ahmet Davutoglu
[P.M. Turki Ahmet Davutoğlu dalam Pidato Pengunduran Diri, 5 Mei 2016] |
Isu pengunduran Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoğlu sebenarnya sudah menyeruak pada tanggal 4 Mei kemarin. Semua media lokal dan para pengamat politik sudah menerka bahwa Davutoglu akan segera mengakhiri jabatannya sebagai P.M Turki. Namun, apa yang membuat dirinya harus mundur, tak seorang pun bisa menjawabnya hingga keesokan harinya.
Keputusan pengunduran diri Davutoğlu terjadi setelah sehari sebelumnya dipanggil menghadap Presiden Recep Tayyip Erdoğan. Meski tak ada rilis resmi tentang topik yang dibicarakan, tengarai banyak pihak bahwa pertemuan tersebut adalah puncak dari selisih dan tensi di antara dua pembesar partai APK tersebut terbukti. Yaitu, dengan kesediaan Davutoglu mundur.
Pada malam sebelumnya Davutoğlu sendiri berjanji akan mengadakan jumpa pers hari ini (5/5/2016) pukul 11.00 siang waktu setempat. Meski lambat satu jam, jumpa pers akhirnya dilakukan oleh Davutoğlu di gedung pusat AKP di Ankara. Apa yang ditunggu-tunggu oleh semua rakyat Turki pun terjawab dari pernyataan Davutoğlu sendiri secara langsung.
Dalam jumpa pers dan sekaligus ucapan perpisahan sebagai P.M., Davutoğlu tak lupa memuji dan menghormati Erdogan sebagai pemimpin utama partai dan presiden. Sikap santun, cerdas dan wibawa yang ditunjukkan Davutoğlu adalah sinyal kuat bahwa dirinya adalah tokoh yang tak bodoh di hadapan politik.
Siapa pun yang menonton akan menemukan satu pesan tunggal bahwa pengunduran dirinya bukan pilihannya sendiri. Dia menegaskan juga bahwa dirinya tidak akan mencalonkan lagi sebagai ketua partai dalam Kongres Luar Biasa yang akan diadakan nanti pada 22 Mei. Davutoğlu sendiri mengakui bahwa pengunduran dirinya “sebagai keharusan”, meski jabatannya sebagai P.M belum genap 4 tahun.
Gaya dan visi Davutoğlu sebagai intelektual yang masuk dalam gelanggang politik dipungkasi dengan ekspresi kuat yang penuh wibawa. Dia tidak menyerang satu orang pun di balik pengunduran dirinya, bahkan terang-terangkan mengatakan bahwa dirinya akan mendukung AKP. Rakyat Turki diminta tidak perlu risau karena langkah yang dipilihnya untuk kemajuan Turki ke depan.
Tiga poin
Ada tiga poin menarik yang banyak ditengarai oleh berbagai pihak di balik pengunduran Davutoğlu. Pertama, Davutoğlu dinilai tidak mampu mengatasi konflik masif yang menyebar di seantero Turki dalam dua tahun terakhir, ditambah juga karena kondisi ekonomi Turki yang pelan-pelan semakin melemah. Keberadaan Davutoğlu di tampuk kekuasaan dinilai tidak efektif dan tak kunjung menyelesaikan tantangan krusial yang bersifat nasional tersebut. Aspek pertama ini banyak dieskpos oleh media-media pro-pemerintahan.
Uniknya, poin di atas dinyatakan sendiri dalam jumpa persnya. Davutoğlu mengakui bahwa masa kepemimpinanya di partai dan kemudian menjadi P.M berada di periode “musim semi.” Baik secara ekonomi dan lebih-lebih keamanan internal Turki. Dia secara terbuka menyampaikan bahwa periode dirinya menjadi penguasa dihadapkan dengan tantangan serius seperti teror, pemberontakan suku Kurdi dan masalah Suriah. Persoalan ekonomi yang tak kunjung membaik pun disebutkan sebagai tugas penting yang harus diselesaikan.
Kedua, sistem presidensial yang diinginkan Erdoğan. Sudah rahasia umum bahwa Erdoğan menginginkan tampuk kekuasaan berada pada ekskutif di bawah kendali dirinya. Sistem parlementer yang berlaku di Turki tak cukup bagi Erdoğan untuk mengendalikan kekuasaan secara langsung. Untuk itu, sejak dua tahun kemarin isu sistem presidensial sudah dikaji dan digoreng sedemikian rupa dan masif dalam politik internal Turki.
[Versi Cetat Tulisan Ini Dimuat di Jawa Pos, 7 Mei 2016] |
Pengunduran Davutoğlu dianggap sebagai “korban” untuk memuluskan rencana-rencana sistem presidensial yang diinginkan Erdoğan. Sejauh ini, posisi Davutoğlu di kancah politik elit partai dan Turki secara umum semakin kuat, terlebih karena pengalaman sebagai Menteri Luar Negeri yang dijabat sebelumnya. Kecenderungan ada “dua matahari” dalam satu tubuh partai pun bisa dimaklumi apalagi sistem parlementer yang secara hukum menyediakan ruang kepada Davutoğlu untuk menjadi role player dalam politik Turki.
Akhirnya, meskipun tidak mempunyai salah apapun dan tak pernah terlontar kata atau tindakan yang melawan Erdogan, Davutoğlu ternyata harus merelakan jabatannya untuk proyek pengekalan kekuasaan Erdoğan sendiri ke depan. Aspek kedua ini ramai di antara para pengamat yang melihat adanya “proses pemulusan” terhadap sistem presidensial agar Erdoğan kembali memegang kekuasaan tunggal di Turki.
Ketiga adalah pengekalan kekuasaan. Kekuasaan absolut yang tengah diincar Erdoğan tidak bisa tidak sudah terbaca dalam satu tahun terakhir. Tawaran sistem presidensial dan manuvernya dalam setiap isu-isu penting di internal Turki bisa menjadi indikator di balik keinginan absolute power yang sedang dirancang oleh Sang Presiden.
Betul bahwa faktor leadership Erdoğan memang tidak bisa dihapus dari memori rakyat Turki. Kegemilangan membawa Turki kembali bangkit dan maju dalam aspek ekonomi dan kesejahteraan sosial memang sudah menjadi bukti nyata yang sekaligus tersimpan rapi dalam ingatan rakyat Turki secara umum. Tapi, nafsu pengekalan kekuasaan yang oleh kelompok oposisi dinilai sebagai ancaman bagi demokrasi Turki yang baru tumbuh dan sekaligus kekhawatiran akan lahirnya rezim diktator juga tidak bisa dikesampingkan.
Tiga tahun selama saya di Turki, berita pembungkaman terhadap media-media oposisi, pemenjaraan para wartawan, penangkapan para pengritiknya dan bahkan pun terjadi kepada Anak Baru Gede (ABG) sekalipun dan terakhir pemberangusan kebebasan ekspresi kepada para akademisi adalah sederet bukti ihwal kecemasan-kecemasan di balik lahirnya rezim diktator tersebut. Pendekatan pemerintah dengan pembungkaman lawan-lawan ideologi politiknya menjadi karakter utama Turki dalam 3 tahun terakhir. Meskipun cara-cara kekerasan struktural sudah biasa dipakai oleh negara Turki sejak menjadi republik, pembungkaman secara masif semakin menjadi-jadi khususnya pada periode kedua kekuasaan Erdoğan.
Jadi wajar jika kemudian banyak di antara para pengritik pemerintahan Turki melihat bahwa pengunduran Davutoğlu dianggap sebagai preseden kuat terhadap proses pengekalan kekuasaan bagi Erdoğan. Pengunduran ini membuat siapa pun akan terkejut di tengah posisi Davutoğlu yang makin kuat, elegan dan tak ada secuil pun kata “melawan dan berseberangan” dengan Sang Presiden, apalagi sampai salah secara hukum.
Tetapi, misteri-misteri di balik kekuasaan politik memang selalu penuh kejutan dan tak jarang sangat menyakitkan. Dalam jumpa pers Davutoğlu, tak sedikit para simpatisannya yang mengucurkan air mata dan kecewa terhadap kenyataan tersebut. Dukungan moril terus mengalir dari publik.
Bernando J. Sujibto
Mahasiswa program master Jurusan Sosiologi di Selçuk Üniversitesi. Minat penelitian: koflik dan kekerasan, peacebuilding dan literary field. Jurnalis lepas dan kolumnis di sejumlah media nasional. Mengeditori dan menulis sejumlah buku, menjadi playmaker untuk @playplusina dan @spiritturki.
Mahasiswa program master Jurusan Sosiologi di Selçuk Üniversitesi. Minat penelitian: koflik dan kekerasan, peacebuilding dan literary field. Jurnalis lepas dan kolumnis di sejumlah media nasional. Mengeditori dan menulis sejumlah buku, menjadi playmaker untuk @playplusina dan @spiritturki.
EmoticonEmoticon