… sebagian masyarakat Turki sebaiknya tak terlalu kaku untuk terus berkiblat pada laiklik ala Franca
[Di Depan Grand Bazaar Istanbul, 2016. Foto +Turkish Spirit] |
Dalam Pandji Islam (1940) Soekarno mengandaikan republik sekuler Turki sebagai salah satu ideal pendirian republik Indonesia. Ide pemisahan agama dan negara dianggapnya sebagai, “agar supaya Islam subur, dan negara pun subur pula.” Ada banyak pelajaran menarik dari perkembangan sekularisme Turki untuk negeri kita belakangan ini.
Kebetulan perayaan 90 tahun republik sekuler Turki tak lama dimeriahkan pada 29 Oktober silam. Bagi masyarakat Turki sendiri, momen ini sangat bersejarah tetapi juga memunculkan debat politik yang terus memanas. Kenapa bersejarah? Dibukanya jalur kereta di bawah permukaan laut yang dinamakan dengan Marmaray atau “rel Marmara” di selat Bosphorus menunjukkan keberhasilan ekonomi Turki. Perdana Menteri Recep Erdogan sengaja membukanya dalam perayaan hari jadi republik negeri itu untuk menunjukkan prestasi dirinya, dengan tegas berkata bahwa transportasi bawah laut itulah impian Imperium Usmani akhir, sekaligus ingin mempercepat mobilitas orang lintas-Eurasia dengan merujuk pada momen abadi Jalur Sutra.
Shinzo Abe, PM Jepang, yang hadir dalam perayaan itu bukan hanya mewakili negara yang sedang melakukan transfer high-tech, tetapi juga ingin menguak simbol persahabatan antara kedua negara yang terus menjalin simbiosis mutualisme. Jepang punya teknologi canggih. Turki punya prospek ekonomi yang cerah. Selain faktor bantuan kemanusiaan antara keduanya sejak abad ke-19 hingga Perang Teluk akhir 1980-an, kemajuan Jepang pasca-Restorasi Meiji banyak digemborkan sebagai salah satu tipe ideal bagi gerakan nasionalis Turki dari cengkeraman imperialisme Barat.
Kemenangan Jepang atas perang melawan Rusia pada 1906 bahkan memunculkan rumor baru bahwa Mikkado, Kekaisaran Jepang, bisa dijadikan kiblat kekhalifahan baru bagi umat Muslim, persis setelah ia membuka pintu lebar-lebar bagi dunia Islam. Kendati berakhir hanya rumor politik, kepahlawanan dan modernitas Jepang kala itu menjadi kaca pembaruan non-Barat di jantung kekhalifahan Usmani yang limbung, secara politik, di sana-sini.
Kemenangan Jepang atas perang melawan Rusia pada 1906 bahkan memunculkan rumor baru bahwa Mikkado, Kekaisaran Jepang, bisa dijadikan kiblat kekhalifahan baru bagi umat Muslim, persis setelah ia membuka pintu lebar-lebar bagi dunia Islam. Kendati berakhir hanya rumor politik, kepahlawanan dan modernitas Jepang kala itu menjadi kaca pembaruan non-Barat di jantung kekhalifahan Usmani yang limbung, secara politik, di sana-sini.
Bukanlah Jepang, namun demikian, yang kemudian berusaha ditiru Mustafa Kemal kala mendeklarasikan republik sekuler, 29 Oktober 1923 itu. Turki tidak meniru prototipe modernitas Jepang, yakni apa yang Robert Bellah (1957) sebut sebagai Tokugawa Religion: menopang kemajuan industri dengan revitalisasi tradisi, persis seperti analisis yang ditawarkan Max Weber (1905) dalam kanon masyhurnya, Die protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus.
Menabrak Pakem
Tarikan kemajuan ala Franca sejak akhir abad ke-19 itu memang kuat untuk kemajuan ala Turca. Model sekularisme Republik Ketiga Prancis, laïcité (Turki: laiklik), lebih didengungkan di Anatolia dan menjadi dominan. Dalam perjalanannya, seperti Prancis, model sekularisme Turki itu memaksa agama untuk bersembunyi di ruang privat tanpa pernah diijinkan tampil di ruang publik. Dalam Secularism and State Policies toward Religion (2009), Ahmet Kuru menyebut tipe ini sebagai “sekularisme asertif” yang sangat rewel dengan simbol agama, untuk membedakan dari tipe “sekularisme pasif” ala Amerika yang moderat dengan agama. Seandainya Turki meniru Jepang kala itu, mungkin tipe yang terakhir yang akan dominan.
Karena tidak meniru gaya Jepang itulah, trayek sekularisme Turki tak pernah mau berkompromi penuh dengan Islam. Sekitar 80 tahun peran militer lebih berkuasa, berkali-kali mengkudeta. Islam politik dipinggirkan. Singkat kata: minim demokrasi. Para pendukung sekularisme asertif ala Turca, terutama kelompok militer dan ultranasionalis (Ergenekon) berang sekali dengan satu dekade kepemimpinan Erdogan yang serba berbau agama. Istrinya dan istri Presiden Abdullah Gül menabrak pakem sekuler: jilbab sebagai perlawanan di ruang publik.
Kemenangan Jepang atas perang melawan Rusia pada 1906 bahkan memunculkan rumor baru bahwa Mikkado, Kekaisaran Jepang, bisa dijadikan kiblat kekhalifahan baru bagi umat Muslim
Persis menjelang perayaan 90 tahun Republik Turki itu, pada 30 September yang lalu, Erdogan memberlakukan paket reformasi demokratis baru yang isinya banyak menabrak tabu sekularisme awal Turki. Beberapa di antaranya yang kontroversial ialah: menurunkan electoral threshold dari 10% ke 5% dengan sistem distrik untuk merangsang pluralitas politik; mengijinkan bahasa Kurdi diajarkan di sekolah swasta dan menghidupkan bahasa lokal lainnya; menghapus larangan PNS berjilbab. Sebagus apapun reformasi demi kemajemukan ini dipandang sebagai pelanggaran bagi sekularisme Turki awal yang imperatif membentuk Turki melalui nasionalisme tunggal: supremasi bahasa dan bangsa Turki. Identitas lain khususnya suku bangsa Kurdi dan Armenia serta kepercayaan lain semacam Alevi, harus berasimiliasi dengan budaya Turki. Terlebih perubahan ini dimuluskan usai gejolak cukup panjang sebagai imbas dari rentetan demonstrasi mendukung Gezi Park. Oleh sebagian oposisi, tawaran reformasi itu dibaca sebagai solusi terlambat yang terwujud justru setelah ada tekanan warga di ruang publik.
Demistifikasi Kemalisme?
Pada dasarnya, tidak ada upaya terang-benderang dari pemerintahan Islamis Erdogan saat ini untuk mengganti simbol utama sekularisme Turki, yakni Kemalisme. Di mana-mana, gambar, patung, serta papatah nasional Turki bersumber dari kebijaksanaan Mustafa Kemal Ataturk. Demistifikasi Kemalisme hematnya sangat sulit, dan cenderung akan dilawan baik secara konstitusional maupun konfrontatif.
Terlepas dari gaya paternalistik Erdogan, tuduhan bahwa dirinya adalah otoriter baru amatlah sulit dibuktikan. Otoriter, sebaliknya, justru gampang disematkan kepada penjaga moral Kemalisme sebelum sebelum milenium kedua. Prestasi ekonomi yang melejit era Erdogan ditambah dengan kesediaan untuk berdialog dengan musuh “asas tunggal keturkian” – seperti Kurdi dan Armenia – cenderung akan didukung mayoritas warga. Kemungkinan besar untuk menuju pilpres 2014 sangat mungkin dimenangkan Erdogan dan memudahkan untuk mengubah sistem parlementer menjadi presidensial dengan wewenang yang lebih tinggi ketimbang presiden sekarang. Dalam perayaan 90 tahun republik Turki di Istanbul, misalnya, berjejer gambar Erdogan, Gül, bersama Kemal Ataturk. Mereka sedang bermain secara simbolis untuk menghadirkan nuansa Kemalisme yang sedang diperagakan dalam ruang Islamisme.
Tidak bisa dinafikan, belakangan ini sekularisme di Turki sedang diterjang oleh gelombang Islamisme. Sosiolog terkemuka Serif Mardin (2007) menyebut hal itu sebagai mahalle baskisi atau “tekanan komunitas” untuk menggambarkan meningkatnya gaya hidup Islami yang dialami masyarakat (sekuler) Turki sebagai sebuah kenyataan sosiologis yang tak dapat dielakkan. Ketika disuguhkan sebuah gambar Presiden Gül menggelar resepsi perayaan Republik Turki 29 oktober lalu di Istana Çankaya – simbol Kemalisme – muncul kesan perubahan unik dalam lanskap politik Turki. Apalagi, selain kehadiran simbol militer Jenderal Necdet Özel, oposisi utama dari Partai Rakyat Republik (CHP), Kemal Kiliçdaroglu hadir juga dalam resepsi itu setelah tujuh tahun tak pernah akur. Kesediaan mereka memberi nuansa baru: Islamisme perlahan-lahan diterima asalkan demokratis.
Dan, kenapa terus memunculkan debat panas? Taktik pemerintahan Erdogan saat ini, oleh sebagian kalangan, memang masih dianggap sebagai akhir dari cita-cita republik sekuler dan, khusus tentang jilbab, akhir dari kesetaraan hak perempuan. Di jalan-jalan, kita mudah mendengarkan kata-kata ini: Bu millet adam olmaz!; yang secara eksplisit menandakan ketidaksukaan publik sekuler pada mereka yang tidak becus menangani proyek kebangsaan. Sebagian yang lain menganggapnya cukup positif. Reformasi yang dilancarkan Erdogan ialah normalisasi demokrasi Turki dengan mengenyahkan rintangan yang artifisial. Tampaknya yang kedua lebih adil mengingat bahwa perubahan keseimbangan dan pertarungan ideologis di Turki kini berubah. Hadirnya kelompok Islamis dalam ruang publik mengubah bandul sekularisme Turki dari asertif ke pasif: pengakuan atas kebebasan beragama.
Kalau kita mau memberi saran, sebagian masyarakat Turki sebaiknya tak terlalu kaku untuk terus berkiblat pada laiklik ala Franca. Toh, Prancis sendiri tak pernah menganggap Turki sebagai bagian dari Uni Eropa. Akan lebih baik jika pendukung setia Kemalisme menafsirkan kembali ideologi negara itu secara dinamis. Indonesia, yang kini gaya sekularisme-nya lebih pasif dengan ideologi Pancasila, mungkin bisa dijadikan pelajaran menarik untuk ditawarkan sebagai model penafsiran kontekstual bagi Turki.
Tulisan di atas sebelumnya dimuat di blog Komunitas Ruhum
Zacky K. Umam
Penulis dan peneliti untuk wacana keislaman dan sejarah intelektual Muslim. Kini menjadi mahasiswa PhD di Freie University, Berlin. Berkhidmad di PCI-NU Jerman. Pernah belajar di Istanbul (2012-2014).
Penulis dan peneliti untuk wacana keislaman dan sejarah intelektual Muslim. Kini menjadi mahasiswa PhD di Freie University, Berlin. Berkhidmad di PCI-NU Jerman. Pernah belajar di Istanbul (2012-2014).