Kami semua hidup di bawah satu bendera di negara ini
[Sisi Keberagaman Turki. Foto sevgiforum.net] |
Trauma para korban bom yang
meledak (20 Agustus 2016) di distrik Akdere kota Şahinbey, Provinsi Gaziantep belum hilang. Akdere adalah arena kosmopolitan
yang menjadi rumah bagi masyarakat dari latar belakang etnik yang berbeda.
Salah satu warga mengatakan, di sini ada 5 macam bahasa walaupun saya tidak
paham semuanya. Bahasa-bahasa itu seperti kicauan burung bagi telinga saya. Bom
itu telah melenyapkan kicauan-kicauan tersebut. Berikut merupakan catatan
Abdülkadir Konuksever.
Jalan-jalan Gaziantep masih
menyisakan kekacauan setelah 55 jiwa melayang dan 91 luka-luka akibat teror
bom. Tema pembicaraan di kota hanya ledakan, para warga tak kuasa menyembunyikan
rasa ketidaknyamanan mereka. Pengaruh serangan teror itu bisa dilihat dengan
jelas. Gang-gang terlihat sepi dari biasanya. Pusat perbelanjaan tak bisa
dibilang ramai. Bus wisatawan kota yang terkenal kulinernya tercatat di daftar
Gastronomi UNESCO ini tak terlihat berseliweran.
Kecemasan tingkat lebih tinggi
terlihat di distrik Akdere, tempat meledaknya bom. Gang-gang terlihat ramai tak
seperti sisi lain dari kota ini. Orang-orang mendatangi tempat meledaknya bom
untuk melihat tkp lebih dekat. Sebagian sedang takziyah di rumah duka sebagian
berkeliling di jalanan karena penasaran. Para warga menonton kerumunan manusia
yang penasaran itu dari rumah.
Saya
tak bisa melakukan apa-apa karena trauma
Mehmet Karadaş—salah satu orang
yang menyaksikan keramaian itu ketika terjadi ledakan—berada sejauh 50 meter di
gang sebelah atas tekape. Berbarengan dengan ledakan bom ia berlari menuju
tempat kejadian. Ia menerangkan, saat terdengar suara aku meloncak dari tempat
duduk. Seketika saya menguasai diri, saya langsung berlari ke tempat ledakan
bom. Semua tergeletak. Sebagian luka-luka sebagian lagi terbaring begitu
saja—tanpa gerakan.
Setelah melihat itu semua, saya
mengira saya seolah berada dalam mimpi, kami membantu korban luka dan menaruh
mereka ke mobil. Ambulans belum datang. Ketika ambulans datang kami menaruh
tiga sampai empat korban luka ke dalam. Saya trauma setelah itu, saya tidak
bisa melakukan pekerjaan apapun, makan pun tak doyan. Perut tak bisa menerima.
Semoga Allah mengutuk ISIS, mereka dalang dibalik ini semua.
Mereka
ingin membenturkan kami satu sama lain
Güllü Çetin tinggal di distrik
Beybahçe. Menurut dia ledakan bom di sini mempunyai suatu tujuan.
“Oğlum, di sini satu sama lain tak pernah saling membuat rugi.
Kurdi, Turki, Zaza, Arab dan Alawi merupakan mayoritas di sini. Mereka
bertujuan memperkeruh keadaan negara dan membenturkan kami satu sama lain. Tapi
apa yang terjadi, lihatlah kami semua di jalanan menangisi korban yang
meninggal. Kami semua hidup di bawah satu bendera di negara ini. Dan kami akan
meneruskan ini semua. Satu sama lain tak akan bermusuhan,” ujar Çetin panjang
lebar.
Mereka
melenyapkan kicauan-kicauan burung itu
Salah satu saksi mata kejadian
ledakan itu adalah Bülent Boylu. Ia menjelaskan bahwa detik-detik sebelum ledakan semua orang sedang menyaksikan
pesta pernikahan. Saya tak percaya pemandangan ini. Saya tak percaya hal ini
terjadi. Anak usia 12 tahun meledakkan diri di depan mata saya. Seberapa kejam
dan tak punya hati mereka ini. Mereka ingin membuat Suriah di sini, namun di
sini tak mungkin akan menjadi Suriah. Di gang kami orang Kurdi, Alawi,
Türkmen, Zaza, Arab, Turki hidup berdampingan. Di jalan semua suku berbicara
sesuai bahasa ibu mereka. Saya tak paham apa yang mereka katakan. Suara mereka
seperti kicauan burung di telinga saya. Dan aksi teror kemarin melenyapkan
kicauan-kicauan itu. Tetangga kami yang paling baik adalah orang Kurdi. Mereka
jujur, tak pernah merugikan satu sama lain. Kita saling antar makanan ke rumah.
Kita biasa duduk di kedai kopi bermain permainan bersama. Kita hidup rukun tak
pernah ada cekcok. Mereka yang mengebom kita tak akan berhasil membenturkan
kami satu sama lain.
Setelah ledakan tersebut
masyarakat Gaziantep memasang bendera negara di mobil, jendela. Bilboard juga
penuh akan bendera. Masyarakat Gaziantep berjuang melewati trauma ini. Kota
Gaziantep sedang menunggu kicauan-kicauan burung itu kembali. Seperti kata
Bülent Boylu di atas “jika tak ada kicauan-kicauan itu Gaziantep akan
kehilangan warnanya”.
Oğlum (Anakku, di sini Güllü Çetin memanggil penulis
dengan sebutan oğlum yang berarti anakku atau nak )
Sumber: Al jazeera
Penulis: Kadir Konuksever
Penerjemah: Hari Pebriantok
EmoticonEmoticon