"Anjing, kucing ataupun binatang lainnya adalah bagian integral dari kehidupan mereka."
[Anak Anjing Tidur di Pelataran Jalan. Foto +Turkish Spirits] |
Melalui catatan ini saya ingin menyinggung persoalan kultur yang cukup banyak mempengaruhi paham/pemahaman keagamaan; atau bisa dibalik, persoalan pandangan keagamaan yang sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan kultur setempat. Dalam hal di sini saya ingin mengetengahkan bagaimana orang Turki memperlakukan anjing dalam keseharian mereka. Saya juga akan melibatkan pandangan-dunia-saya dalam penilaian ini—persepsi-persepsi terhadap sesuatu dalam lingkungan yang saya akrabi.
Saya berasal dari keluarga Muslim Luwu dan pernah lama tinggal di Yogyakarta yang budayanya sudah jamak (multikultural) alias tidak pure Jawa, salah satunya karena dipengaruhi oleh para pendatang dari berbagai latar belakang di Kota Gudeg itu. Dalam lingkungan tempat saya tumbuh berkembang, yang banyak memelihara anjing biasanya non-Muslim dan mereka yang tinggal di area perkebunan. Semoga secuil informasi ini memberi gambaran akan posisi saya memandang persoalan yang saya singgung dalam catatan ini.
Turki dan Indonesia sebagai sama-sama negara mayoritas Muslim yang memiliki kemiripan akan akulturasi budaya dan agama yang saling bertaut telah melahirkan pandangan dunia sendiri dan memberi kekhasan pada praktik keagamaan yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Meski demikian, ada banyak hal yang berbeda yang saya rasakan dalam praktik kehidupan orang Turki.
Saya tidak bermaksud membuat distingsi budaya mana yang unggul dan mana yang minor. Tulisan ini semata bertujuan untuk memberi gambaran dan tambahan informasi akan model kehidupan yang berbeda meski berlatarbelakang sama sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Tentu perbedaan-perbedaan ini tidak semua akan saya bahas dalam tulisan kali ini, jika sempat biar nanti disampaikan secara bertahap.
Saya akan menyinggung bagaimana orang Turki memandang posisi binatang, khususnya anjing, yang di Indonesia dijauhi (bahkan dibenci) karena persoalan najis yang ditimbulkannya, selain najis yang dihasilkan oleh liur dan kotorannya. Di sini jelas sekali bahwa perbedaan mazhab telah mempengaruhi pola pikir dan cara pandang kita terhadap hewan. Mayoritas Turki bermazhab Imam Hanafi di mana kenajisan anjing hanya ada pada air liurnya. Sehingga masyarakat Turki secara bebas bisa bermain dengan anjing-anjing yang berkeliaran di kota-kota mereka.
Di samping itu, ada tafsir keagamaan dari berbagai teks hadis mengenai anjing, secara garis besar dikatakan bahwa keberadaan anjing di rumah akan menjadi sebab yang menghalau malaikat masuk ke rumah-rumah untuk mengantarkan karunia Tuhan, dan atau pahala orang pemelihara anjing akan selalu dikurangi sebanyak 1 qirath. Saya bukanlah ahli hadis yang memiliki otoritas untuk mengurai sanad dan keshahihannya. Saya hanya menggambarkan kehidupan masyarakat Turki dalam menempatkan dan memperlakukan makhluk bernama anjing di dalam kehidupan mereka.
Jika tuan/puan datang ke Turki fenomena yang ditemui adalah setangkup pemandangan yang berbeda dari Tanah Air: anjing-anjing bebas berkeliaran di ruang-ruang publik tanpa khawatir dikejar-kejar oleh Satgas Kebersihan dan keindahan kota karena menggaanggu kenyamanan publik. Orang Turki tak perlu khawatir dikejar, digonggongi ataupun digigit oleh anjing. Mereka dibiarkan saja oleh masyarakat menjalani kehidupan di habitatnya secara normal. Bahkan keberadaan mereka dianggap sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri. Mereka juga tidak dirantai. Hanya anjing-anjing yang tinggal di rumah yang diperlakukan demikian oleh sang pemilik. Itu pun karena jenis anjing tersebut barangkali langka, mahal atau jenis khusus.
Fenomena memelihara anjing tertentu yang dilakukan dengan perawatan khusus dan memakan biaya tinggi adalah sebuah tren di masyarakat perkotaan. Biasanya pada masyarakat kota budaya ini merebak, bukan karena kecintaannya semata pada binatang tapi juga di sini anjing memiliki nilai lebih untuk mendukung aktualisasi diri dalam strata sosial. Pada poin ini anjing menjadi capital symbol yang menunjukkan ke-gaul-an atau ikut tren bagi pemilik anjing.
Di Turki, anjing pun sepertinya menganggap manusia sebagai sahabat yang melebur akrab kehidupan mereka. Mereka diberi makan oleh masyarakat. Ada saja warga yang membawakan daging ataupun tulang ke taman-taman tempat mereka berkumpul. Itu sebabnya penampakan anjing di Turki bertubuh besar, sehat dan ramah kepada siapa saja. Saya nyaris tidak pernah mendengar mereka mengognggong ketika berada di dekat mereka. Termasuk pada kucing (yang umumya dianggap musuh bebuyutan anjing); saya tidak pernah menemukan anjing mengejar dan menerkam kucing karena rebutan makanan dan semacamnya.
[Kucing di Salah Satu Toko Buku di Konya. Foto +Turkish Spirits] |
Perlu dicatat juga bahwa kucing di Turki adalah hewan yang sangat spesial dan bahkan terkenal di seantero dunia. Jika datang ke Istanbul, kucing adalah identitas Turki yang tak bisa disapih. Apalagi di sini misalnya ada jenis kucing bernama Van kedisi, kucing dari provinsi Van yang mempunyai dua mata berbeda.
Ada seorang kenalan yang hidup di Konya mengirimkan foto anjing dan kucingnya yang sedang bermain bersama. Pemerintah juga mendukung hal ini dengan menyediakan tempat makan dan minum di setiap taman kota. Di Ankara saya dapati beberapa taman kota menyediakan fasilitas untuk binatang dan diimbuhi tulisan "air adalah kehidupan" demi sinerginya kehidupan. Bukan hanya petugas yang mengisi wadah air tersebut namun warga juga ikut terlibat aktif.
Khususnya ketika musim dingin tiba, ketika air segera membeku di bawah cuaca dingin, dengan kesadaran dan kecintaannya pada binatang, warga menyediakan air untuk para binatang. Mereka mengisi kantong-kantong air untuk binatang dan atau meletekkan wadah air di jendela-jendela rumah mereka untuk burung dan sejenisnya.
Perhatian pemerintah kepada binatang ditunjukkabn dengan diterbitkannya undang-undang perlindungan binatang (misalnya bisa dilihat di sini. Ada beberapa klasifikasi binatang dan termasuk yang tidak bertuan seperti anjing dan kucing menjadi satu poin dalam undang-undang tersebut. Pada transportasi publik dalam bentuk video pemerintah juga melakukan imbauan kepada masyarakat untuk tidak melakukan perdagang binatang, dihimbau khusus untuk anjing dan kucing.
Di samping itu, pemiliik binatang harus memperhatikan kesehatan hewan peliharaannya. Pemerintah kota melakukan pemeriksaan kesehatan berkala dan memberi tanda pada anjing-anjing yang telah dipastikan sehat.
Sekali waktu saya berjalan-jalan ke sebuah kampus swasta, saya mendapati sekawanan anjing yang memiliki identitas di lehernya. Pengelola kampus mengambil kebijakan untuk merawat anjing-anjing yang ada di jalan dan menjadikan mereka sebagai bagian dari lingkungan kampus. Dan para mahasiswa tampak asyik-mansyuk bermain dengan hewan-hewan di sekitar mereka.
Anjing, kucing ataupun binatang lainnya adalah bagian integral dari kehidupan mereka. Keberadaan mereka adalah sebagai bagian dari ekosistem kehidupan itu sendiri, yaitu sunnatullah yang menjadi bagian dari kehidupan kita. Saya belajar hal ini dari masyarakat Turki bagaimana mereka mengaplikasikan pandangan budaya dan agama menjadi pandangan dunia untuk hidup harmoni.
[Anjing Tidur Bebas di Taman-Taman Kota Turki. Foto +Putri Sungkilang] |
Prinsip hizmet atau melayani tidak hanya diperuntukkan kepada manusia namun juga kepada semua makhluk. Saya jadi teringat sebuah film, Hachiko, yang menceritakan seekor anjing yang setia menanti tuannya hingga akhir hayatnya di stasiun meski tuannya tidak akan pernah lagi kembali ke rumah karena telah meninggal di perjalanan pulang.
Pada kesempatan yang lain di Istanbul, saya melihat sekawanan anjing mengejar mobil yang melintas. Menurut seorang penduduk yang ada di sana, anjing-anjing itu marah terhadap mobil karena malam sebelumnya ada mobil yang menabrak salah satu kawanan mereka. Sungguh kesetiakawanan anjing tidak perlu diragukan.
Untuk itu, sebagai sebuah refleksi, manusia harus belajar banyak hal dari anjing, khususnya tentang kesetiaan misalnya. Tampaknya anjing menemukan dunianya yang damai di Turki. Wallahu A'lam.
Sitti Aisyah Sungkilang
Asal Palopo, Sulawesi Selatan dan Mahasiswi Jurusan Filsafat di Ankara University, Ankara Turki. Twitter @Ya_Aaisyah.
Asal Palopo, Sulawesi Selatan dan Mahasiswi Jurusan Filsafat di Ankara University, Ankara Turki. Twitter @Ya_Aaisyah.
EmoticonEmoticon