"Ini betul-betul kisah cinta yang tak wajar (atau bahkan keparat), dan memang begitulah cinta: menyelipkan kisah-kisah unik masing-masing."
[Menanjak dari Tophane ke Museum. Foto +Bernando J. Sujibto] |
Bagi mereka yang lebih dulu
selesai membaca novelnya, berkunjung ke Museum of Innocence adalah
sebentuk ziarah untuk merasai luka perih dan ketulusan kisah cinta fiktif yang
pernah dialami oleh seorang tokoh cerita bernama Kemal. Kemal nyaris
menyerahkan masa-masa produktif hidupnya untuk cinta, dari tahun 1975 hingga
1984, dan setelah itu pun ia harus menanggung ketololan cinta yang menyesatkan
dirinya dalam keindahan dan kebahagian yang menyakitkan. Ini betul-betul kisah
cinta yang tak wajar (atau bahkan keparat), dan memang begitulah cinta:
menyelipkan kisah-kisah unik masing-masing. Fragmen dalam Museum of
Innocence mengingatkan saya kepada kisah-kisah cinta paling fenomenal
di jagat raya: Layla & Majnun-nya Nizami Ganjavi, Lolita-nya
Vladimir Nabokov dan Love in The
Time of Cholera milik Gabriel
García Márquez.
[Jalan Curam dari Taksim ke Museum. Foto +Bernando J. Sujibto] |
Sebelum masuk ke dalam
gedung museum, sebaiknya kita menikmati sebentuk bangunan tua dengan gaya
asitekstur Prancis awal abad 19. Gedung yang berdiri tepat di ujung gang jalan
Dalgıç itu menunjukkan siapa Füsun dan keluargnya, sebuah cermin kehidupan
sederhana. Meskipun Kemal berasal dari keluarga kelas atas dan kaya raya di
Istanbul, pilihan Pamuk membeli bangunan lantai tiga seadanya dengan kesan
klasik dan tak luas itu menegaskan suatu potret kehidupan sosial-ekonomi
Istanbul tahun 1970-an yang selaras dengan latar belakang dan kondisi riil
seperti tergambar dalam novel. Pengunjung yang telah membaca novel akan
menemukan keserasian antara cerita dan realisasi Pamuk dalam bentuk aktual.
[Museum of Innocence. Foto +Bernando J. Sujibto] |
Di lantai pertama, setelah
menyaksikan objek paling masif berupa puntung rokok yang berjumlah 4.213,
kenangan yang paling dihayati Kemal karena setiap puntung rokok adalah ekspresi
emosi yang intens (yoğun bir duygunun dışavurumudur) dari
setiap momen yang melingkupi dunia Füsun. Kemal mengerti nuansa emosi gadis pujaannya dengan cara
bagaimana ia menyalakan, menghisap dan sekaligus mematikan rokoknya; apakah ia
meletakkan puntung rokok di asbak dengan lamat-lamat penghayatan atau
tergesa-gesa melempitnya begitu saja, atau bahkan mencampakkannya ke luar
jendela. Detail-detail masif dan intens begini kerapkali berkonsekwensi kepada
ketaklogisan kisah cinta antara Kemal dan Füsun. Dalam diri Füsun pun demikian,
meski tidak banyak dieksplor secara detail masif oleh Pamuk. Misalnya, karena
sudah berjanji kepada Kemal sejak awal percintaannya bahwa Füsun tidak akan
berhubungan intim dengan siapa pun, ternyata selama lebih lima tahun menikah ia
tak sekali pun bersetubuh dengan sang suami. Tiba-tiba jiwa Kemal seperti
melolong ketika mendengar fragmen yang sulit masuk akal ini. Ternyata, dalam
diri Füsun terbenam kenangan cinta yang tak kalah hebat bergelora dan
mengejutkan Kemal.
[Koleksi dalam Museum. Foto +Bernando J. Sujibto] |
Habitus
Melankolia
Saya dengan mudah
menengarai bahwa novel ini adalah lokus dari melankolia yang mencerminkan
karya-karya Pamuk tentang Istanbul ataupun yang disebut sendiri dalam esai-esai
otobiografinya, misal dalam buku "Istanbul: Hatılar ve Şehir"
atau "Manzaradan Parçalar" dan "Öteki Renkler"
(dua buku yang memuat esai-esai dan kronik kehidupan dan pemikiran Pamuk).
Pamuk seolah ingin menerjemahkan konsep melankolia seperti terjadi pada diri
Kemal. Dia tidak berhenti sebagai agen personal yang menanggung kemuraman—dalam
konteks novel ini melalui kisah cinta—tetapi, ternyata keluarga Kemal pun,
khususnya sang ayah, mengalami fase keterputusan kultur dari marwah keluarga
yang diejawantahkan dengan serangkaian perselingkuhan. Di lingkungan sekitar
Kemal, teman-teman bermainnya, potret kesuraman dan kehilangan akan akar dan
identitas sejarah sangat jelas dihadirkan Pamuk melalui dua wajah: Islam dan
Barat, meskipun kehidupan sekuler Eropa lebih dominan dalam novel-novel Pamuk,
termasuk novel ini.
Latar belakang
kehidupan sosial Istanbul dalam novel ini adalah potret yang nyaris
utuh ihwal habitus melakolia itu sendiri. Saya bersepakat dengan Norbert Bugeja dalam bukunya Postcolonial Memoir in the Middle East: Rethinking the
Liminal in Mashriqi Writing ketika
coba mendifinisikan bahwa melankolia (hüzün) “is not the melancholy of a solitary person, but
the black mood shared by millions of people together, will in the last instance transcend the individual per
se in order to encompass the entire socius (Bugeja, 2012:126). Sementara itu, Pamuk sendiri dengan
jelas mengatakan bahwa hüzün adalah state
of mind yang merasuk ke dalam
laku sosial (Pamuk, 2008:82) dan
memungkinkan orang banyak (people of the city) menghadapi hal yang sama:
kehilangan dan perubahan sebagai fenomena sejarah.
[Koleksi Karya Pamuk dari Berbagai Bahasa. Foto +Bernando J. Sujibto] |
Ada banyak
anomali dalam aspek kultural dan politik yang dapat ditemui dalam novel ini dan
sekaligus saya rasakan sendiri setelah satu tahun lebih tinggal di Turki.
Seperti kasus-kasus birokrasi dan penyuapan, korupsi, perselingkuhan, jaringan
bisnis hitam dan kasus nasabah bank. Sejatinya Pamuk bukan omong kosong
menghadirkan sedemikian rigid kehidupan Istanbul dan Turki dalam
karya-karyanya. Rekaman-rekaman historisitas yang begitu dalam dan menuntut
totalitas dan intensitas kerja dari seorang penulis tertuang secara brilian
dalam karya-karyanya. Namun sayang sekali semua karya besar yang dihasilkan
Pamuk diabaikan oleh mayoritas rakyat Turki. Mereka dilampaui rasa sakit karena
pernyataan kontoversial Pamuk pada sebuah wawancara di majalah yang
terbit di Swiss ihwal genosida bangsa Armenia setahun sebelum dirinya didapuk
hadiah Nobel Sastra pada tahun 2006.
Akhirnya,
keluar dari museum dengan setangkup konklusi tentang konstelasi kebesaran
sejarah dan kehilangan, kebahagiaan dan penderitaan, kesuraman dan sekaligus
harapan adalah sebuah keniscayaan. Museum Kepolosan ini adalah rumah kecil yang berisi narasi melankolia
dari sudut pandang seorang pecinta, di mana di waktu yang bersamaan dia
bersentuhan dengan sejarah, sosial, politik dan ekonomi sebagai ruang lingkup
habitus. Dari aspek ini, koleksi-koleksi dalam museum dan kisah-kisah cinta
dalam novel The Museum of Innocence adalah eksemplar untuk merepresentasikan habitus
melenkolia sebagai proyek dan topik utama dalam memperbincangkan karya-karya
Orhan Pamuk.
Bernando J. Sujibto
Penulis dan Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi di Selcuk University, Konya Turki (2014-2016). Mengambil konsentrasi Sosiologi Sastra dan melakukan penelitian untuk karya-karya Orhan Pamuk. Menerjemahkan karya-karya sastra Turki ke dalam Bahasa Indonesia. Twitter @_bje.
EmoticonEmoticon