Dia melihat masyarakat yang murah senyum, sopan
santun, serta keindahan alamnya yang sangat memukau
[Foto Budy Sugandi] |
Dalam kunjungan singkat tersebut, kami mengajak mereka berkeliling ke beberapa kota, organisasi, dan universitas dalam bertukar pengetahuan seputar hubungan Turki dan Indonesia untuk berdiskusi seputar pendididikan, politik, agama, dan budaya. Kami mengunjungi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Lampung, Universitas Mercu Buana Jakarta, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta.
Diplomasi budaya dan pendidikan semacam ini saya rasa sangat efektif. Selain tidak perlu membeli tiket pesawat dan akomodasi ke luar negeri yang tidak murah, diskusi ini juga bisa dinikmati oleh banyak orang (baca: orang Indonesia) dengan cukup menghadirkan orang-orang yang kompeten di bidangnya masing-masing. Ini juga bisa menjadi ajang untuk memperkenalkan kekayaan alam dan budaya kita secara langsung yang mungkin selama ini hanya mereka dapatkan dari berita surat kabar atau televisi.
Setelah berkeliling Pulau Sumatera dan Jawa. Mengunjungi masjid, pondok pesantren, sekolah dan berbaur dengan masyarakat langsung, Ergun Yildirim yang merupakan dosen jurusan Sosiologi sangat terkagum-kagum dengan Indonesia. Dia melihat masyarakat yang murah senyum, sopan santun, serta keindahan alamnya yang sangat memukau hingga akhirnya dia menuliskan sebuah kolom khusus di salah satu koran nasional Turki, Yeni Safak, dengan judul Endonezya’da Seyahatler yang merupakan ungkapan ketakjubannya pada negeri surga kita.
Dia menulis: Warna biru muda laut, dikelilingi hijau pegunungan, rumah-rumah di bawah rindangnya pepohonan, dan masyarakat yang murah senyum langsung saja menarik pembicaraan.
Selain itu, saya juga merasa tersanjung ketika gurauan kami tentang kesepakatan untuk mengubah namaku, Budy Sugandi, menjadi Mehmet Gandi agar makin keren katanya. Budy'ye “adın Mehmet Gandi olsun, İstanbul'dan sana hatıra kalsın” diyorum (Namamu sekarang Mehmet Gandi, kenang-kenangan dari Istanbul, kataku pada Budy).”
Dalam seminar di kampus-kampus, PBNU, dan MUI DKI Jakarta tersebut, para tamu dari Turki menyampaikan materi tentang dinamika yang terjadi di negaranya (Turki) yang dikomparasi dengan pemateri dari Indonesia. Mereka melihat kesamaan antara sistem pendidikan di pesantren dengan sekolah Islam Imam Hatip Turki.
“Nahdatul Ulama adalah organisasi masyarakat yang berperan penting dalam usaha kemerdekaan. Pada tahun-tahun selanjutnya mulai meluaskan gerakan di bidang pendidikan. Organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia dengan jumlah anggota sekitar 70 juta. Media pendidikannya ialah pesantren, sistem yang hampir sama dengan sekolah Islam Imam Hatip di Turki. Santri tinggal di pondok. Setidaknya ada 150 pesantren hanya di kota ini. Pengurus pesantren dan kiai di sini ramah dan sangat mudah akrab dengan saya sebagai orang asing. Menyambut kami dengan hangat,” kata delegasi Turki.
Sementara itu, pemateri dari Indonesia, di antaranya dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, dan Dede Rosyada. Pada saat itu saya bertindak sebagai moderator.
Saat masih menempuh studi di Marmara University Turki, saya ikut menjadi mediator antara universitas yang berkunjung ke Turki, di antaranya STAIN Kudus, IAIN Lampung, yang dihadiri rektor, penjabat kampus, dosen, serta Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Komisi Kebudayaan yang dihadiri oleh Toeti Heraty Rooseo, Amin Abdullah, dan Musda Mulia. Jadi bisa dikatakan kunjungan delegasi Turki ke Indonesia ini adalah kunjungan balik atau lanjutan dari kunjungan sebelumnya.
Di sini saya melihat besarnya peluang pelajar Indonesia di luar negeri (selanjutnya cukup ditulis pelajar) yang jumlahnya tidak sedikit untuk tidak sekadar menyelesaikan studinya, mengharap selembar kertas berupa ijazah, tetapi bisa juga bisa menjadi mediator untuk menjembatani antara Indonesia dan negara tempat studi dalam segala bidang sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Kita patut berbangga hati karena tidak sedikit pelajar yang sering diundang untuk menjadi peneliti, pembicara dalam konferensi, asisten dosen, bahkan menjadi pengajar di beberapa kampus di luar negeri. Tentu akan selalu ada perdebatan mengenai definisi cinta Tanah Air.
Apakah bintang yang sedang bersinar itu harus kembali ke Indonesia atau boleh berkarya di luar? Semua ada konsekuensinya. Saya pribadi lebih setuju di era global, teknologi maju, setiap orang bisa dengan mudah berkomunikasi, definisi cinta Tanah Air bukan berarti harus kembali ke Tanah Air. Lebih-lebih pemerintah belum mampu memberikan kesejahteraan yang sesuai. Terlepas dari perdebatan mengenai cinta Tanah Air, kita membutuhkan orang-orang yang mempromosikan Indonesia dari luar.
Dalam bidang seni dan budaya, pelajar juga aktif mempromosikan kekayaan budaya Indonesia. Menampilkan seni budaya melalui kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat. Di Turki, tim Indonesia bisa dikatakan sebagai langganan juara ketika mengikuti event pertunjukan seni antarnegara. Salah satu sebabnya adalah kekayaan budaya dan keunikan pakaian adatnya. Tentu, selain latihan keras dari mereka yang tampil dalam mengharumkan nama bangsa.
Akhirnya, ketika dihadapkan dengan tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus mampu menunjukkan keunggulan diri, baik dari dalam maupun luar. Dari luar, ide yang tertulis di atas mungkin bisa diterapkan, jika kita tidak ingin sekadar menjadi penonton. Dari dalam, pemerintah dan masyarakat harus menyiapkan diri semaksimal mungkin agar menjadi tuan di negeri sendiri. Jika ini semua berhasil kita lakukan, MEA bukanlah sebuah tantangan, melainkan peluang dan bukan tidak mungkin justru negara lain akan ketar-ketir dalam melihat Indonesia.
Dimuat di Lampung Post, 04 Februari 2016
Budy Sugandi
Alumni Turki, Dosen Universitas Mercu Buana, Jakarta. Saat ini "mengamen" ke daerah-daerah di Indonesia.
Alumni Turki, Dosen Universitas Mercu Buana, Jakarta. Saat ini "mengamen" ke daerah-daerah di Indonesia.
EmoticonEmoticon