[Yilmaz Guney. Foto +Sinematurk] |
Masa-masa kanakku, ibuku menyedihkan, dipenuhi dongeng rakyat dan khayalan-khayalan. Di Yecice, pada malam-malam musim dingin yang panjang ibu diundang oleh keluarga kaya untuk berkisah. Ibu mengajak aku dan adikku yang dua tahun lebih muda. Perempuan dan anak-anak memadati sebuah ruangan demi mendengarkan dongeng ibuku. Dia telah membuat semua orang menangis. Kami berdua juga ikut menangis. Ibuku bercerita tentang derita para pahlawan rakyat; menyentuh dan terenyuh....
Mereka lalu mengganjar kami buah kenari, buah berry kering dan pestil. Aku makan separuhnya, sisanya kubawa untuk saudara kandungku, Ismail. Ia adalah bocah kurus kerempeng. Giginya sangat gelap. Kami berusia delapan tahunan. Aku dan Ismail adalah dua kuda kecil dari Yenice, jantung sebuah dataran luas. Kami berdua menjadi kuda bagi anak-anak orang kaya. Tubuh kami dihiasi dengan tali kertas berwarna. Malam hari, sepulang dari sekolah aku dan Ismail kembali menjadi kuda, ditunggangi. Ketika anak-anak itu sudah lelah dan pulang ke rumah masing-masing, yang tersisa hanya tinggal kami berdua. Giliran aku menjadi kudanya, kemudian Ismail menjadi kudaku, bergantian. Malam hari kami selalu menjadi kuda di Yenice. Tubuh kami berdua seperti ranting yang tipis. Di antara kami, Ismail mengatasi semua kuda; selalu nomor satu. Suatu hari, karena aku menjadi kuda terakhir, ada seorang anak memukulku. Kejadian ini membuat Ismail sedih. Aku menangis sambari mengusap ingus. Anak-anak pergi meninggalkan kami. Kami berdua kesepian di tengah dingin malam, pada pangkal sebuah dinding. Mata Ismail menatap jauh, menunggu ketenangan.
Mereka lalu mengganjar kami buah kenari, buah berry kering dan pestil. Aku makan separuhnya, sisanya kubawa untuk saudara kandungku, Ismail. Ia adalah bocah kurus kerempeng. Giginya sangat gelap. Kami berusia delapan tahunan. Aku dan Ismail adalah dua kuda kecil dari Yenice, jantung sebuah dataran luas. Kami berdua menjadi kuda bagi anak-anak orang kaya. Tubuh kami dihiasi dengan tali kertas berwarna. Malam hari, sepulang dari sekolah aku dan Ismail kembali menjadi kuda, ditunggangi. Ketika anak-anak itu sudah lelah dan pulang ke rumah masing-masing, yang tersisa hanya tinggal kami berdua. Giliran aku menjadi kudanya, kemudian Ismail menjadi kudaku, bergantian. Malam hari kami selalu menjadi kuda di Yenice. Tubuh kami berdua seperti ranting yang tipis. Di antara kami, Ismail mengatasi semua kuda; selalu nomor satu. Suatu hari, karena aku menjadi kuda terakhir, ada seorang anak memukulku. Kejadian ini membuat Ismail sedih. Aku menangis sambari mengusap ingus. Anak-anak pergi meninggalkan kami. Kami berdua kesepian di tengah dingin malam, pada pangkal sebuah dinding. Mata Ismail menatap jauh, menunggu ketenangan.
“Aku tak akan menjadi kuda lagi,” ujarnya padaku.
Hanya sampai hari itu kami menjadi kuda bagi orang lain. Setelah itu tidak menjadi kuda lagi. Kami telah berpikir keras, membuat keputusan. Kami tidak akan menjadi kuda siapapun.
Hanya sampai hari itu kami menjadi kuda bagi orang lain. Setelah itu tidak menjadi kuda lagi. Kami telah berpikir keras, membuat keputusan. Kami tidak akan menjadi kuda siapapun.
Namun akhirnya aku dan Ismail tidak bisa memegang janji kami sendiri. Mereka memukul kami…. Karena takut akhirnya kami kembali menjadi kuda mereka.
“Sekarang kami anak kecil,” ujar İsmail, “tapi suatu waktu kami akan besar, menjadi orang besar. Saat begitu kami tak akan menjadi kuda bagi siapapun.”
Ketika sudah besar kami tidak akan menjadi kuda lagi.
“Sekarang kami anak kecil,” ujar İsmail, “tapi suatu waktu kami akan besar, menjadi orang besar. Saat begitu kami tak akan menjadi kuda bagi siapapun.”
Ketika sudah besar kami tidak akan menjadi kuda lagi.
Satu tahun kemudian İsmail meninggal. Perutnya penuh air. Dengan gerobak sapi mereka membawa İsmail ke rumah sakit di Adana. Tapi nyawanya tak bisa ditolong. Gerobak sapi itu kemudian membawa mayatnya ke pemakaman kecil di desa kami, lobang makam ukuran kecil menyimpan tubuhnya. Ditancapkalah sebuah papan kayu tua tepat di kepalanya… setelah pemakaman helwa (penganan manis) dibagikan. Ibu Ismail terisak menangis. Aku pun menangis histeris. Dan aku berjanji padanya.
Ketika besar nanti aku tidak akan menjadi kuda bagi siapapun.
Perjuanganku bermula bersamaan dengan kematian Ismail. Jangan sampai anak-anak miskin menjadi kuda bagi siapapun. Dan Ismail, semua hidupnya yang terlindas--hidup atas nama anak-anak miskin--tumbuh dalam diriku.
Selimiye, 1973
Diterjemahkan oleh Bernando J. Sujibto dari cerita asli berjudul Yenice'nin Atları karya Yılmaz GÜNEY, penulis kelahiran Adana tahun 1937. Di bidang sastra Güney memang bukan sosok penting, tapi perjuangan awal bergulat dengan dunia sastra telah mengantarkannya menjadi salah satu sineas nomor satu di Turki. Film Umut, Yol dan Çirkin Kral jadi salah satu bukti kehebatan si sosok terlahir-keras-kepala ini. Kegemilangannya di dunia film tak senasib dengan jalan hidupnya yang harus bolak-balik penjara sebelum akhirnya tahun 1981 menjadi eksil dan meninggal di Prancis tiga tahun kemudian.
EmoticonEmoticon