Mustafa Kara, Profesor Tanpa Mobil dan Telefon Genggam

15.40.00

Karena tak punya ponsel, tak jarang, saat tak sedang di ruangan, para mahasiswanya menaruh memo di meja kantor

Seringkali Mustafa Hoca (baca: Hoja) ditanya, “Kapan Anda akan membeli mobil dan ponsel, Hocam?” “Nanti, saat model yang paling mutakhir muncul,” jawabnya.

Dia adalah Prof. Dr. Mustafa Kara, guru besar ilmu tasawuf di Fakultas Ilahiyat, Uludağ University. Ruangannya ada di pojok lantai dua, terhalang tembok di bagian kiri pintu. Para guru besar rata-rata menempati ruangan bagian pojok bangunan lama fakultas, yang menjadi pemisah langsung gedung baru yang sejatinya telah menempel. Sebagai seorang profesor yang sebentar lagi akan bergelar Emeritus (a.k.a pensiun), kesehariannya ke kampus dilalui bersama bus umum. Kadang juga Metro Bursaray, transportasi kereta idola warga Bursa.

Tak jarang, para mahasiswa yang kurang percaya dengan keseharian Mustafa Hoca lantas bertanya. “Aku seringkali menjawabnya dengan kalimat yang sama,” kata Mustafa Hoca. “Kain kafan pun tak ada sakunya,” jawabnya.

Sebenarnya bukan perkara telefon atau mobil. Menurutku, masalah intinya adalah tentang pemborosan. Pemborosan menjadi sebuah rutinitas, hingga kita lupa dan tenggelam di dalamnya. Kini, seiring dengan populernya gaya hidup kapitalis, segala urusan dipandang berdasarkan sisi materi serta nilai kemewahannya. Kita akhirnya juga terbawa ke dalam tren tersebut. Lantas, kita jadi tak perduli dengan segala apa yang telah dibelanjakan. Ini masalah utamanya. Namun, rasanya tak mungkin juga lantas kita mencoba rutinitas baru tanpa alat-alat tersebut, karena alat-alat itu telah menyatu dengan segala elemen kebutuhan kita, tanpa disadari,” terang salah satu pendiri fakultas ini panjang lebar.

Anak-istriku juga pengguna ponsel. Aku juga yang memberi mereka uang untuk membeli alat-alat itu. Jadi, menurutku susah seratus persen untuk lepas dari rutinitas yang telah kita jalani bersama alat-alat tersebut.

Fenomena pemborosan yang tak teracuhkan baginya menjadi salah satu penyebab pembiasaan pada sikap tak peduli dan tak peka. Tiap menit ratusan anak meninggal karena kelaparan, di tempat lain ratusan manusia sedang antri membeli ponsel keluaran terbaru.

Kepada kawan-kawannya yang sering sangsi, sembari menyindir Mustafa Hoca berucap, "Akhirnya aku akan membeli mobil dan ponsel juga, seperti yang kubilang tadi, nanti saat model yang paling mutakhir telah keluar. Oh, pastinya aku juga akan membuat kartu kredit untuk membayar barang-barang itu. Sayangnya, hingga kini aku belum punya apa yang namanya kartu kredit itu. Menyentuhnya pun aku tak mau. Jelas, kartu kredit menjadi semacam tulang belakang bagi sikap pemborosan. Akan sampai manakah, kartu kredit yang menentukan.

Hampir tiap hari Mustafa Hoca selalu keluar rumah. Selain ke kampus, beliau juga rutin mengisi acara-acara pemerintah maupun swasta, kecuali pada bulan Ramadhan. Saya sebagai penghuni Bursa, tak jarang melihat pamflet seminar, simposium, ataupun pengajian yang tertempel di metro dan dinding pengumuman di kampus. Pengajian akbar Ramadhan yang diadakan kawan-kawan Indonesia di Bursa, juga diisi olehnya.

"Biasanya aku tak mau mengisi acara saat Ramadan. Namun tak apalah sekarang, untuk kalian," katanya saat kami ke kantornya. Karena tak punya ponsel, tak jarang, saat tak sedang di ruangan, para mahasiswanya menaruh memo di meja kantor.

"Sebenarnya, dengan apa yang kujalani saat ini, aku ingin menyampaikan sedikit pesan. Hidup tanpa mobil ternyata enak. Tanpa ponsel juga. Tak perlu bingung dengan alat di tangan, beban juga semakin ringan. Sebenarnya tanpa komputer pun, Anda akan lebih bahagia. Hidup, jalan terus, datang dan berlalu.

Yah pastinya, bagi seorang yang telah lebih dari 30 tahun menggunakan mobil akan susah memahami tingkahku. Hocam, lantas bagaimana Anda tiap hari pergi ke kampus? Anda juga sering diundang mengisi seminar, kan?tanya rekan dosenku. Jawabku mudah saja. Bis pemerintah tiap hari ada, siap sedia hingga larut, ke semua jurusan. Anak-istriku pun telah terbiasa denganku yang tanpa ponsel. Sebenarnya semua ini tak susah buatku. Dulunya juga tak ada ponsel, mobil juga tak punya. Aku pergi ke Istanbul, lantas seminggu setelahnya suratku sampai ke keluarga di Bursa. Sama saja, yang beda hanya cepat-lambatnya," kisah dosen kelahiran 1951 ini.

Beberapa dosen senior di kampus memang tak terlalu mengandalkan komputer di atas meja mereka. Prof. Zeki Özcan malah bilang dia tak pernah sekalipun mengetik abstrak simposium, tak perduli dengan simposium yang baginya sering dijadikan ajang promosi jabatan. Süleyman Hoca juga lebih nyaman dengan komputer jadulnya yang masih menggunakan keyboard non-qwerty. Bagi Mustafa Hoca, komputer hanya memenuhi ruangannya yang penuh dengan buku. Di atas meja tak nampak perangkat tersebut, saat saya kesana.

"Aku tak pernah menulis di komputer," katanya suatu saat.

Mustafa Hoca tak sepenuhnya yakin dengan komputer yang katanya mempermudah segala urusan, akademik maupun non-akademik. Menurutnya, semakin meningkatnya keterkaitan akademisi dengan sebuah komputer (juga internet), semakin pula kualitas penelitiannya dipertanyakan.

Saat ada email masuk untuknya, asistennya yang memberitahu isinya. Sebuah pensil dan penghapus selalu ada di saku. Mustafa Hoca juga merupakan penulis yang sangat produktif. Menulis apapun, beliau masih setia menggunakan pensil, terkadang juga mesin ketik di kantor masih sering dipakainya. "Acap kali, beberapa kawan mengetik kembali apa yang kutulis. Sudah jadi kebiasaanku menulis di kertas."

Karena tak menggunakan internet sebagai media bertukar kabar, Mustafa Hoca masih sering berkirim surat dengan kawan-kawannya. "Yang terakhir, datang padaku surat dari Italia. Sebuah surat yang sangat berharga. Surat dari seorang kawan lama di sana. Sayangnya kini, rutinitas surat menyurat telah dirampas dari mayoritas kehidupan kita. Manusia modern lebih memilih internet dan ponsel sebagai barang berharga. Mereka tak dapat lagi merasakan kebahagiaan menyimpan surat dari seorang kawan, sebuah kertas dengan tulisan tangan. Kini semua telah tercukupi dengan sebuah ponsel," pungkas pengoleksi majalah mancanegara ini.

Jam tangan pun beliau tak memakainya. Pernah, kami sangat khawatir beliau lupa undangan yang kami sampaikan. Acara kami telah dimulai sejak pukul 1 siang, jadwal beliau ceramah pukul 4 sore. Hingga pukul tiga, tak nampak tanda kehadirannya. Hingga akhirnya pukul 4 kurang sepuluh, beliau muncul dari bis yang berhenti tepat di depan tempat acara. Maghrib setelah buka bersama, dengan cepat beliau pamit menuju stasiun kereta, tak berkenan kami antar sampai rumahnya.

Diterjemahkan dari sini oleh M Mu'afi Himam dengan tambahan seperlunya.


M Mu'afi Himam
Penulis adalah penerima beasiswa YTB. Mahasiswa master pada program studi Sejarah Agama-Agama, Uludağ Üniversitesi, pengampu weblog www.masmuafi.com.

Silahkan Baca Juga

Previous
Next Post »