Tahun Baru yang Gamang

21.31.00 Add Comment

Mereka patungan untuk menyewa rumah kosong di kawasan itu. Aku masuk ke rumah itu namun aku tak punya selembar karpet pun untuk digelar

[Hidup dalam Kegamangan. Foto http://www.aljazeera.com.tr/]
Konflik dan kekerasan yang terjadi di manapun tak pernah menguntungkan rakyat kecil, termasuk di Turki. Kecamuk konflik di Turki bagian tenggara dan timur belum selesai juga hingga akhir tahun 2016 ini. Dampak nyata dari konflik berkepanjangan ini adalah derita rakyat kecil yang tak berdosa. Mereka harus terluntang lantung meninggalkan kotanya demi menabung harapan dan keselamatan. Tahun baru, saat kota-kota lain di Turki menyalakan kembang api dan berpesta, bagi mereka adalah riak-riak kesedian yang terus merundung kelabu. Berikut ini adalah sebuah reportase yang saya terjemah dari Aljazeera Turki tulisan Abdulkadir Konuksever. 

Larangan keluar rumah yang diberlakukan di kota Sur, Diyarbakir telah berlangsung hampir satu tahun. Tujuan dari larangan ini adalah untuk mensterilkan kawasan tersebut dari parit, barikade dan bom yang ditanam separatis PKK (Partai Kejerja Kurdistan). Walaupun jangkauan larangan ini sudah berkurang namun warga Sur belum bisa kembali ke rumah mereka. Dan dengan terpaksa harus melewati tahun baru jauh dari rumah.

Dikutip dari website pemerintah kota Sur, telah ditayangkan pengumuman yang berisi tentang larangan keluar rumah tertanggal Jumat, 11 Desember 2016 mulai jam 16.00. Warga kawasan Sur hanya bisa terdiam dan meninggalkan tempat tinggalnya. Yang tersisa hanyalah sebuah harapan agar kondisi ini segera berakhir. Setahun berlalu. Enam distrik di kota tersebut sudah mulai mempersempit kawasan yang memberlakukan aturan larangan keluar rumah. Namun empat distrik yang ditinggali warga Sur belum bisa diakses. Rumah-rumah yang terkena dampak konflik sebagian sudah mulai direnovasi, beberapa rumah menunggu antrean.

Mayoritas warga yang meninggalkan kota Sur mencari tumpangan pada kerabat dan kemudian tinggal di kawasan Baglar dan Sehitlik (pinggiran kota Diyarbakir).
“Aku membawa kedua bayiku dan keluar rumah”

Salah satu dari mereka adalah Sevda Kaplan. Ketika di kota Sur mulai konflik ia membawa kedua anaknya paling kecil dari tujuh bersaudara dan pergi dari rumah. Suaminya, Fikri Kaplan tinggal bersama anak-anak yang lain.

“Sekumpulan pemuda yang tidak kami kenal datang ke distrik kami. Mereka menakut-nakuti semua orang. Kemudian mereka mulai membuat parit. Banyak warga mulai meninggalkan rumah saat itu. Kami tak punya tempat tujuan untuk pergi. Suamiku seorang musisi. Ia sering tampil di acara pernikahan, memainkan davul dan zurna. Rumah kami, tempat kami mengais rejeki adalah Sur. Aku memaksa suamiku untuk pergi. Kemudian konflik mulai. Anak-anakku yang paling kecil Husnanur dan Berat masih bayi. Aku melihat suamiku tak berniat untuk pergi, aku marah dan membawa dua  bayiku pergi. Aku tak punya tempat untuk dituju. Sambil berpikir tentang apa yang perlu aku lakukan, aku tiba di kawasan Baglar. Kondisi udara sangat dingin, muka anak-anakku memerah karena kedinginan. Aku memasuki rumah yang sudah hancur. Aku mencoba mencari dahan, ranting untuk bahan bakar namun nihil. Warga yang mengetahui kondisi kami merasa kasihan. Mereka patungan untuk menyewa rumah kosong di kawasan itu. Aku masuk ke rumah itu namun aku tak punya selembar karpet pun untuk digelar.”
“Pikiranku di Sur”

Para warga yang menyewakan tempat untuk Sevda Kaplan juga membawa karpet dan alas tidur. Mereka menghangatkan susu dan membawakan untuk anak-anaknya. Namun, pikirannya masih tertinggal di tempat konflik dan tempat tinggal anak-anaknya, Sur.

“Setelah beberapa saat aku menempati salah satu ruangan rumah. Suara dentuman kadang terdengar dari arah Sur. Aku sering menelpon rumah. Aku berbicara dengan suami dan anak-anakku. Suamiku takut apabila dia meninggalkan rumah, rumah akan dijarah. Listrik dan air mati, mereka tak punya apa-apa untuk dimakan. Mereka meminum air sisa di penampungan air kamar mandi. Selama sepuluh hari aku tinggal di Baglar dan mereka tinggal di Sur. Larangan keluar rumah diberi jeda. Aku menyewa mobil pick up dan pergi ke Sur. Aku berniat mengambil barang-barang dan anak-anakku. Namun grup PKK tak member izin. Mereka mengatakan kami bisa ke rumah namun tak bisa mengambil barang-barang. Apabila kita tinggal tak hanya barang-barang kami yang rusak, kami pun akan mati. Kemudian kami kembali ke Baglar bersama anak-anak dan suamiku.
“Kehidupan yang Susah”

Sevda Kaplan mendeskripsikan kehiduapan di luar Sur dengan istilah Kehidupan yang Susah.

“Di sini kami hidup dalam kemiskinan. Satu anakku berkebutuhan khusus. Kami hidup dengan bantuan 1000 lira pemerintah, bantuan tetangga dan bantuan yayasan atau wakaf. Percayalah uang tersebut tak cukup untuk tujuh anak, dan kadang kami tidur dalam kondisi lapar. Psikologis kami buruk dan kami tak tahu apa yang akan terjadi pada diri kami. Suamiku tak bisa bekerja. Orang-orang tak ada yang bergembira dan tak ada pesta pernikahan yang digerlar. Ia juga tak memiliki kecakapan kerja di bidang yang lain. Walaupun dia cakap, namun lagi-lagi tak ada pekerjaan. Satu harapanku adalah suatu hari pintu Sur bisa dibuka untuk kami. kalau tidak hidup kami akan susah dan semakin susah.

Data tidak resmi mengatakan ada 60 ribu orang yang pindah dari Sur karena konflik, bom, barikade. Mayoritas yang pindah tak memiliki kemampuan ekonomi yang baik dan mereka tak bisa pergi ke tempat yang jauh. Sekarang mereka tinggal di rumah semi permanen di pinggir kota. Harapan mereka hanya satu, kembali ke tempat di mana jantung mereka berdetak, Sur.

Diterjemahkan oleh Hari Pebriantok


Hari Pebriantok
Salah satu pendiri Turkish Spirit. Hari berasal dari Sragen, Jawa Tengah dan alumni jurusan Jurnalistik Selcuk University, Konya Turki. Menjadi penerjemah profesional Turki-Indonesia dan sebalinya. Untuk korespondensi bisa dikontak via aku-akun media sosial di sini. Hari menyukai tulisan reportase, travel note dan sekaligus fotografi.

Ziarah Kubur di Masjid Sultan Eyub

01.38.00 2 Comments

Aura kesucian dan kekhusukan terasa di masjid yang dibangun pada tahun 1458 itu, pada masa Sultah Mehmet II atau Sultan Fatih

[Peziarah di Makam Eyup. Foto istanbuldagez.com]
Begitu keluar dari Stasiun Metro Topcular, Istanbul, rasa kebingungan mulai menghinggapi. Stasiun bawah tanah yang pintu cikis (keluar) diapit jalan selebar 3 meter itu membuat saya bingung. Bergerak ke kanan atau ke kiri. Saya mencoba untuk bergerak ke kiri dan mulai menyusuri trotoar namun sepertinya arah yang saya tuju itu bukan menuju jalan yang saya inginkan. 

Saya pun kembali ke arah awal, ke stasiun. Sampai di tempat awal, langkah yang saya ambil, kembalikan dari sebelumnya, yakni ke kanan. Di tengah kegalauan, bertanya kepada dua orang yang sedang berjalan. Ketika bertanya singkat soal keberadaan Eyub Camii, mereka dengan sigap mengatakan jalan lurus dan belok kiri. “Sekitar 3 km,” ujarnya.

Saya menuruti apa yang disampaikan itu. Menyeberang jalan dan menyusuri lintasan, melintasi bangunan toko. Sesampai di pertigaan saya belok kiri dan terus merambat jalan. Rasa was-was mulai muncul kembali saat berada di perempatan. Perasaan was-was selama beberapa saat itu langsung hilang saat melihat ada papan petunjuk yang mengarahkan ke Eyub Camii.

Saya terus berjalan lurus mengikuti jalan itu. Di kanan-kiri jalan, beragam toko dan kedai serta rumah saya lewati. Dari kejauhan, seperti ciri masjid-masjid di Turki, terlihat menara lancip yang menjulang tinggi. Meski demikian belum bisa memastikan apakah tempat itu adalah Eyub Camii. Pada sebuah kesempatan bertanya kepada orang yang kebetulan berpapasan. Saat bertanya lokasi yang hendak dituju, ia menunjuk bangunan masjid yang bermenara tinggi itu sebagai Eyub Camii. Dengan demikian, masjid itu dari kejauhan sudah terlihat. 

Masjid itu berada di samping pertigaan jalan. Memasuki komplek area, kita akan melihat berbagai rumah makan, minuman dan oleh-oleh. Tempat yang disebut Eyub Sultan Mosque atau Eyub Sultan Camii itu dikepung oleh restoran, perbelanjaan, makam dan perumahan penduduk.

Di depan itu masuk komplek masjid, ada sebuah air mancur dalam sebuah lingkaran. Tak jauh dari air mancur, ada kursi-kursi panjang yang siap diduduki. Saya langsung masuk ke dalam masjid. Seperti masjid yang lain, ada plastik untuk membungkus alas kaki yang kita pakai. Kutarik plastik, selanjutnya kubuka dan memasukan sepatu. Kubawa bungkusan plastik itu masuk ke dalam masjid. 

Di dalam masjid ada rak-rak pendek yang biasa digunakan untuk menaruh sepatu. Saya dan pengunjung lain pun menaruh alas kaki di tempat itu. Selanjutnya di hamparan karpet berwarna merah, orang yang berada di dalam masjid itu melakukan sholat.

Aura kesucian dan kekhusukan terasa di masjid yang dibangun pada tahun 1458 itu, pada masa Sultah Mehmet II atau Sultan Fatih. Sebagai masjid yang dibangun dengan gaya Utsmaniyah atau Ottoman, bangunan yang berada di dalam masjid ini sama dengan kebanyakan masjid-masjid yang berada di Turki.

Di dalam masjid saya merenungi masa lalu dan merasakan kenikmatan yang sudah diberikan Allah. Selepas berdoa, saya keluar dari dalam masjid melalui pintu utama. Di luar ini ada sebuah pohon yang dikelilingi oleh pagar berukuran 1 meter. Pohon itulah yang menjadi pembatas antara masjid dan sebuah bangunan. Di dalam bangunan itulah makam Eyub. 

Untuk masuk ke makam, pengunjung harus memutar ke arah keluar kemudian dari pintu samping bangunan masuk ke dalam. Sama seperti masuk ke dalam masjid, ke dalam makam ini pengunjung harus membungkus alas kaki dengan plastik yang telah disediakan.

Antrian kecil terjadi. Satu persatu akhirnya pengunjung masuk. Ruangan di dalam bangunan itu tak seluas bangunan masjid sehingga ketika berada di dalam serasa penuh. Di dalam bangunan makam, kita akan menjumpai orang-orang yang melakukan ziarah kubur. Tak heran para peziarah yang terdiri dari laki-laki dan perempuan itu melakukan ritual doa. Terlihat kaum perempuan yang duduk bersandar pada dinding mendaras kitab suci Alquran. Sedang kaum laki-laki duduk bersimpuh menghadap maka Eyub. Dari sini terlihat bahwa ummat Islam di Indonesia dan Turki memiliki kebiasaan yang sama yakni ziarah kubur.

Makam Eyub sendiri dibatasi oleh dinding berlukiskan motif Turki. Ada pintu masuk ke makam yang berpagar aluminium setinggi satu meter dan lebar satu meter. Di dalam ruangan itulah Eyub bersemayam.

Eyub yang memiliki nama panjang Khalid bin Zaid al Anshari an Najjari atau juga dikenal dengan sebutan Sultan Ayub merupakan sahabat Nabi Muhammad. Saat Nabi hijrah ke Madinah, Eyub membuka pintu rumahnya untuk Nabi. 

Mengapa Eyub sebagai orang Arab dimakamkan di Turki? Ini tak lepas dari upaya dakwah Islam. Islam ingin berkembang ke Barat, Eropa. Keinginan mendakwahkan Islam ke Eropa terhalang oleh Kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) yang berpusat di Konstantinopel (Istanbul), Turki. Untuk menyingkirkan halangan itu maka Byzantium harus ditaklukan. Di sinilah permasalah tak mudah. Berbagai serangan terhadap Byzantium yang dilakukan beberapa kali, sejak tahun 669 Masehi, belum berhasil. Baru pada masa Sultan Fatih, tahun 1453, Byzantium berhasil ditaklukan. 

Perjuangan-perjuangan sebelumnya telah melahirkan syuhada di medan laga. Salah satu di antaranya adalah Sahabat Eyub. Kegigihan Eyub dalam menaklukan Byzantium membuat Sultan Fatih membangun masjid untuknya dan memperbaiki makam Eyub.


Ardi Winangun
Penulis adalah traveler dan kontributor travelogue di Harian Jawa Pos. Bisa dikontak di media sosial Facebook dengan nama Ardi Winangun.

Peliknya Kuliah di Turki

00.34.00 3 Comments

Kamu sudah berada di Turki. Jadi kamu seharusnya tahu bahasa Turki

[Pintu Gerbang Dicle University, Diyarbakir. Foto http://gazeteyolculuk.net/]
Kuliah di luar negeri saat ini memang lagi nge-trend dan sepertinya terlihat lebih gampang dibandingkan beberapa tahun lalu. Beasiswa sudah melimpah ruah. Salah satu negara pemberi beasiswa yang cukup diminati adalah Turki. Mungkin, bagi pelajar Indonesia berkuliah di Turki merupakan sesuatu yang diimpikan. Tidak sedikit yang menghubungi saya melalui beberapa akun media sosial mengenai keinginan mereka untuk melanjutkan kuliah di Turki. Bagi saya, menjawab pertanyaan-pertanyaan itu bukanlah hal yang sulit tapi terkadang dilematis. Jawaban realistis saya mungkin terkesan akan demotivate mereka. Untuk itu, akan saya jelaskan lebih detail di sini.

Pertama, kondisi keamanan Turki. Pasca usaha kudeta 15 Juli 2016, kondisi keamanan Turki tidak lebih baik dari sebelumnya. Ledakan bom di tempat-tempat umum menjadi sumber teror yang tidak main-main. Jadi, ketika ada yang menanyakan apakah Turki aman, saya bisa menjawab: tidak, Turki sedang tidak aman! Jika menilai kondisi keamanan internasional dan politik dalam dan luar negeri Turki, jaminan kondisi keamanan sepertinya tidak akan didapatkan dalam waktu dekat.

Kedua, kesulitan bahasa. Dalam hal ini, mungkin saya tidak begitu capable untuk memberikan jawaban berdasarkan pengalaman pribadi. Saya sendiri berkuliah di kampus swasta dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Saya hanya menggunakan bahasa Turki secara terbatas di kehidupan sehari-hari. Hanya saja, bahasa Turki termasuk bahasa asing yang tidak pernah masuk dalam kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah Indonesia (kecuali beberapa sekolah swasta). Sehingga, kursus bahasa yang diberikan selama setahun pertama untuk penerima beasiswa Turkish Scholarship (Türkiye Bursları) dinilai tidak cukup dalam memfasilitasi kesulitan di ruang akademik. Dibutuhkan kerja keras dalam mengaplikasikan pelajaran bahasa Turki (level C1) yang diterima dalam lingkungan akademik full berbahasa Turki. Hal ini karena bekal ijazah C1 tidak cukup mampu mengakomodasi kebutuhan akan pengetahuan bahasa Turki di lingkungan akademik. Tidak sedikit teman Indonesia terpaksa melepaskan kuliah mereka di Turki karena tidak sanggup melewati tembok bahasa ini.

Ketiga, perbedaan budaya. Bahasa juga termasuk dalam kategori ini. Tidak heran jika beberapa orang Turki tidak bisa menerima perbedaan ini. “Kamu sudah berada di Turki. Jadi kamu seharusnya tahu bahasa Turki.” Kalimat ini saya dengar dalam bahasa Turki dan sayangnya beberapa kali kata-kata ini ditujukan kepada saya. Saat itu saya tidak mampu memahami betul sampai harus dibantu oleh teman.

Awalnya, saya merasa jengah dengan hal ini namun perlahan-lahan bisa mengerti bahwa ada beberapa alasan mengapa seakan-akan mereka antipati dengan keberadaan warga asing di negara mereka. Insecurity dan superiority menjadi alasan mereka berlaku demikian. Tidak sedikit mahasiswa Indonesia yang diremehkan dan dianggap sebagai sumber ketidakamanan dan ketidaknyamanan yang terjadi di Turki. Berlebihan? Hal ini memang masih minor, hanya saja saya beberapa kali menemukan diri saya disudutkan sedemikian rupa sehingga saya tersadar bahwa kebanyakan orang Turki masih menganggap mereka adalah bangsa yang besar. Sementara orang asing, yang bukan berasal dari Barat, adalah bangsa kecil dan tidak berhak mendapatkan penghargaan. Belum lagi jika saya mengaku mendapatkan beasiswa dari pemerintah Turki. Oleh jenis orang Turki yang antipati, saya akan menjadi bulan-bulanan protes mereka terhadap pemerintah.

Keempat, lingkungan akademik yang berbeda. Ada beberapa teman dan dosen (sengaja ataupun tidak) melakukan tindakan rasisme kepada saya. Awalnya tentu membuat saya berkecil hati, namun lama kelamaan akhirnya terbiasa. Persoalan nilai pun terkadang menjadi hal yang cukup pelik. Mereka dengan tidak segan-segan bertanya tentang nilai, awalnya saya dengan enggan menjawab jujur. Mereka tidak malu untuk membandingkan nilai mereka dengan nilai saya. Walaupun nilai saya itu sangat standar, mereka tidak segan menjadikannya bahan perbandingan dalam protes mereka kepada dosen. Aneh? Jelas. Tapi begitulah. Kemudian ketika ditanya lagi di mata kuliah yang lain dan semester selanjutnya, saya lantas berbohong dengan mendegradasikan nilai serendah mungkin (entah tindakan ini benar atau tidak). Setelahnya? Mereka seperti lebih bisa bernafas lega. Aneh?

Kelima, kebebasan beribadah. Jika Turki dikenal dengan sekuler maka jelas dalam menjalankan ibadah sepertinya ada halangan kecil. Misalnya jadwal kuliah yang tersusun seakan tidak membiarkan pemeluk agama Islam dalam menjalankan ibadah sholat 5 waktu. Jadwal masuk kelas sebelum sholat Dhuhur dan keluarnya setelah Maghrib, kalau mau sholat Ashar? Ya, mungkin ada jeda istirahat 10-15 menit. Tapi jika di kampus tidak ada masjid atau mushalla atau ruangan kecil untuk sholat? Bisa dibayangkan perjuangan untuk menemukan masjid terdekat atau terpaksa menggabung dua waktu yang bisa digabung. Bahkan, ada teman seorang Turki yang ternyata menyembunyikan fakta bahwa dia adalah pemeluk Islam yang taat. Tidak mau ketahuan menjalankan ibadah karena ada rasa takut terkucil dari pergaulan. Mengejutkan?

Setelah membaca beberapa poin-poin di atas, apakah ada yang berubah dari cara pandang kalian mengenai kuliah di Turki? Poin-poin ini saya susun berdasarkan pengalaman pribadi dan teman dekat. Bukan bermaksud untuk mengecilkan hati peminat beasiswa di Turki, tetapi untuk memperlihatkan sudut pandang lain yang ada. Saya tidak mengutuki diri saat ini karena mengambil kesempatan kuliah dan tidak sedang pula menyesalkan keputusan saya.

Jujur, saya banyak mendapat cobaan selama berkuliah di Turki. Tidak seindah yang terlihat di Instagram. Tantangan kuliah umumnya seperti tugas, ujian, paper dan presentasi telah saya perhitungkan di awal. Hanya saja ada faktor tambahan seperti beberapa poin di atas dan permasalahan dengan birokrat yang tidak menjadi perhitungan saya. Sehingga, awal-awal kuliah adalah masa terberat saya di Turki. Di awal semester saja, birokrasi Turki hampir mengirim saya pulang ke Indonesia hanya karena sebuah human error.

Namun terlepas dari bentuk kesulitan di atas, banyak sekali pelajaran yang hanya didapatkan di Turki. Sama sekali tidak ada penyesalan untuk itu. Bahkan rasa syukur dan senang karena pengalaman yang sangat berharga ini enggan untuk ditukar dengan kutukan dan makian. Tidak akan cukup pembahasan dalam satu judul tulisan ini. Maka, keep stalking!


Amdya Hisyam
Mahasiswi Pascasarjana Hubungan Internasional di Istanbul Bilgi University, Istanbul, Turki yang sangat suka menonton film. Tulisan pribadinya dapat ditemukan di amdyahisyam.com instagram: @amdyahisyam.

Spirit untuk Bima

16.58.00 Add Comment

Bima itu Indonesia, kita juga Indonesia. Kalau saudara kita yang jauh terkena musibah saja kita sedih dan tergerak membantu, bagaimana jika itu terjadi pada saudara dekat kita?


Hujan deras yang melanda Kota Bima sejak Rabu (21/12) telah mengakibatkan banjir di tota Maja Labo Dahu tersebut. Pada hari Jum'at  (23/12) banjir susulan kembali terjadi pada kemarin. Tragedi banjir tersebut dilaporkan memapar lima kecamatan di Kota Bima.

Sebagai upaya partisipatif demi mendukung saudara sebangsa dan setanah air di Bima, secara kolektif pelajar dan masyarakat Indonesia di Turki dari PCINU Turki (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama), PCIM Turki (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) melakukan upaya penggalangan dana untuk korban bencana banjir bandang di daerah Bima, Nusa Tenggara Barat-Indonesia. Kegiatan ini juga didukung oleh komunitas menulis Turkish Spirits dan Indonesia Turkey Research Community (ITRC).

Ketika dihubungi secara terpisah, Roida Hasna Afrilita dari perwakilan PCIM Turki menjelaskan bahwa Bima itu Indonesia, kita juga Indonesia. Kalau saudara kita yang jauh terkena musibah saja kita sedih dan tergerak membantu, bagaimana jika itu terjadi pada saudara dekat kita?

“Kitalah yang menjadi harapan besar untuk bisa membantu mereka. Terlebih lagi di sini ada juga teman-teman dari Bima yang bercerita langsung bahwa keluarganya masih dalam evakuasi dan belum bisa dihubungin. Apakah kita hanya cukup mendoakannya saja? Membantu tak mengenal mayoritas atau minoritas, kita bergerak membantu semuanya. Jika belum ada yang memulai, kita mulai supaya yang lain ikut tergerak. Seperti salah satu pedoman hidup warga Muhammadiyah, berlomba-lomba dalam kebaikan,” terang mahasiswa jurusan Guru Bahasa Turki ini.

Hal senada juga disampaikan oleh M Mu'afi Himam dari perwakilan PCINU Turki. “Motivasi kita adalah kemanusian, membantu sesama sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Tujuan kami menginisasi gerakan galang bantuan ini karena solidaritas untuk Bima hingga saat ini belum ada di antara pelajar dan masyarakat Indonesia di Turki. Semoga dengan ini bisa mewadahi saudara-saudara kita di Turki yang ingin berbagi dengan korban banjir di Bima,” terang Mu'afi.

Seperti biasa, pelajar dan masyarakat Indonesia di Turki selalu aktif untuk ikut andil mendukung Indonesia semakin bangkit dan maju. Berikut ini adalah selebaran yang disiarkan oleh panitia gerakan penggalangan dana untuk Bima.

Salam Peduli

Bencana adalah cobaan dan sekaligus peringatan dari Allah Yang Maha Kuasa. Peringatan bahwa kita dan alam raya adalah makhluk fana, terbatas dan lemah. Tak pelak, bencana alam adalah bagian dari takdir kita Indonesia: banjir, gempa bumi, tsunami, letusan gunung api dan sebagainya. Kali ini, bencana banjir bandang melanda saudara kita di Kota Bima, menenggelamkan lima kecamatan di kota Maja Labo Dahu tersebut.

Di tengah ujian seperti ini, kita Indonesia harus tetap kuat. Mari bergandeng tangan, bergotong-royong dan berbagi demi kebangkitan bersama sebangsa dan setanah air. Kita pelajar Indonesia di rantau pun selalu ikut aktif hadir memperpanjang harapan demi mereka, demi kita sendiri Indonesia.

Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) bekerjasama dengan Pengurus Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) di Turki mengajak serta para sahabat pelajar dan masyarakat Indonesia di Turki bergotong royong menyalurkan bantuan melalui:

1. Türkiye İş Bankası Atas nama: Muhammad Satria Nusantara Nomor rekening: 1217-534489 İBAN: TR64 0006 4000 0011 2170 5344 89 Kontak: 0506 180 6443 (Whatsapp)
2. Vakıf Bank atas nama: M Muafi Himam Nomor rekening: 00158007302692728 İBAN: TR72 0001 5001 5800 7302 6927 28 Kontak: 0506 161 2601 (Whatsapp).

- Silahkan kirimkan nominal dan konfirmasi transfer ke nomor di atas - Bantuan akan disalurkan langsung oleh tim solidaritas yang ada di Bima İnformasi lebih lanjut silahkan hubungi: Didit: 0551 603 5345 (Istanbul) Muafi: 0506 161 2601 (Bursa) Roida: 0551 238 1806 (Canakkale) Bernando: 0507 035 5067 (Konya) Aufal: 0536 961 6783 (Trabzon).

Mari ulurkan tangan kita bersama, wahai sahabat tercinta pelajar dan masyarakat Indonesia di Turki (ts/tim).


Kalben, Slow Rock dari Turki

00.33.00 Add Comment

Apakah artinya musik Turki tidak mengikuti zaman? Musik Turki jarang dianggap ketinggalan zaman, namun orang memilih menggunakan istilah “unik”

[Kalben. Foto @Youtube]
Mendengarkan lagu Turki artinya kita harus bersiap-siap mengapresiasi sebuah karya, karena lagu-lagu Turki belum tentu cocok pada kebanyakan telinga orang Indonesia. Iramanya yang cenderung pelan ditambah cengkok khas sang penyanyi menjadikan musik Turki berbeda. Lalu apakah artinya musik Turki tidak mengikuti zaman? Musik Turki jarang dianggap ketinggalan zaman, namun orang memilih menggunakan istilah “unik” (sila dinikmati 10 Lagu Pop Turki yang Enak di Telinga Indonesia). Keunikan tersebut tidak pernah tergeserkan oleh musik barat yang mendominasi tangga lagu di berbagai media populer. Faktor utama tentu adanya masyarakat sebagai pendorong kemajuan industri musik dalam negeri. Selain itu, kini banyak bermunculan musisi muda yang menggabungkan kreativitas ‘kekinian’ dengan kekhasan Turki. Hal tersebut yang ditunjukkan oleh musisi bernama panggung Kalben.

Kalben memainkan genre musik yang jarang ditemukan di Turki, yaitu indie-rock dan alternative-rock. Wanita kelahiran 17 Januari 1986 ini mulai bermain musik sejak berusia 8 tahun. Walau begitu bakatnya baru terdengar pada tahun 2014 ketika ia mulai bernyanyi secara independen melalui channel Sofar Sounds. Pada Februari 2016 ia dikontrak oleh label Doğan Music Company dan namanya seketika populer. Ia yang pernah terjun di berbagai bidang pada dunia kreatif, seperti scriptwriting, project managing, advertising, hingga acting, mengerti betul bagaimana ‘menjual’ karyanya. Di samping itu, suaranya pun dinilai memiliki x-factor oleh para pendengar.

Saat ini karya-karya Kalben sedang diidolakan oleh para remaja bahkan orang tua. Selama November 2016, 3 single-nya masuk dalam charts Spotify kategori Turkey Top 50, yaitu tangga berisi 50 lagu paling banyak didengar di Turki, termasuk lagu-lagu impor.

Berikut 3 lagu tersebut:

1. Saçlar (Urutan 32)
https://youtu.be/llb_SGlcL_c (Official Music Video, channel Netd)
2. Sadece (Urutan 12)
https://youtu.be/q19UZSj28fU (Official Music Video, channel Netd)
3. Haydi Söyle (Urutan 1)
https://youtu.be/CVHHLh99B3Q (Official Music Audio, channel Doğan Music Company)


Sonia Dwita
Bergabung dengan tim Turkish Spirit. Calon mahasiswi S1 Journalism Studies, Selçuk University, Konya, Turki. Saat ini sibuk menikmati kelas persiapan bahasa Turki. Pernah aktif menjadi jurnalis remaja di Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Concern dan turun tangan pada isu pendidikan dan lingkungan. Jatuh hati pada dunia seni khususnya musik, sejak belasan tahun silam. Sonia hobi menulis catatan harian juga puisi, kadang dibagi di blog pribadinya di sini.

Apa yang Khas dari Istanbul di Musim Dingin?

22.54.00 Add Comment

Selepas makan, sambil minum teh—kebiasaan mayoritas rakyat Turki—dilanjut dengan ngemil kestane (chestnut) yang dipanggang di oven atau di wajan atau bahkan di atas pemanas ruangan tradisional (soba)

[Salju di Istanbul, Foto www.highwayturizm.com]
Istanbul bukan kota terdingin di Turki. Ketika kota-kota lain di Anatolia sudah berhujan salju sejak awal Desember, Istanbul baru disapa salju pada malam 13 Desember 2016 lalu, itu pun tipis saja, hanya melapisi atap-atap rumah dan kendaraan yang diparkir.

Namun kedatangan salju tentu selalu ditunggu; kehadirannya selalu dinanti dengan harap-harap cemas. Karena konon salju, sebagaimana halnya hujan, adalah rahmat Allah SWT. Menyaksikan salju pertama setiap tahunnya selalu memberi nuansa lain di sanubari.

Istanbul biasanya mulai bersalju menjelang akhir Desember dan semakin lebat di bulan Januari dan Februari. Posisi Istanbul yang berada di wilayah Marmara tentunya sangat dipengaruhi oleh iklim Laut Hitam, Marmara dan daratan Eropa.

Selain hari-hari dingin dan libur sekolah  kalau ada alarm badai salju, apa saja sih yang khas dari musim dingin di Istanbul:

Pemanas Ruangan

Urutan pertama tentunya pemanas ruangan. Brrrr... tanpa pemanas ruangan tidak mungkin bisa bertahan hidup. Pemanas ruangan adalah kebutuhan primer di setiap rumah.

Warga Istanbul lebih mementingkan pemanas ruangan dibanding pendingin ruangan. Di setiap rumah pasti ada pemanas ruangan, baik itu berupa pemanas sentral, pemanas listrik, maupun gas. Namun belum tentu memiliki pendingin ruangan (AC).

AC boleh tidak ada, karena kalau musim panas warga lebih suka membuka jendela-jendela atau berlibur ke kampung halaman masing-masing seiring libur sekolah 3 bulan.  Pengeluaran rumah-tangga terbesar di bulan-bulan musim dingin adalah tagihan gas.

Lahana Gibi

Setiap akan keluar rumah pastinya harus berpakaian tebal untuk menjaga suhu tubuh. Terkadang butuh berlapis-lapis bak sayur kol, makanya ada istilah lahana gibi (bagaikan kol).

Teh Ihlamur
[Daun Ihlamur yang Sudah Dikeringkan. Foto ilyasgonen.com]
Sakit flu adalah penyakit yang sangat umum di musim dingin. Mereka yang memiliki asthma, sinusit dan bronchitis biasanya kambuh berjamaah di musim dingin. Ruang praktek dokter dan bahkan UGD rumah sakit biasanya penuh terus.

Bagusnya sih yang langganan sakit di musim dingin, di vaksin flu (grip aşısı) di bulan Oktober. Vaksin flu bisa dibeli di apotik, kemudian pergi ke puskesmas untuk meminta tolong perawat menyuntikkannya secara gratis.

Namun banyak juga masyarakat yang enggan ke dokter dan lebih memilih pengobatan rumah alias home remedy, dengan minum teh panas dari daun ihlamur (linden tea).  Mayoritas orang Turki sangat percaya kalau teh ihlamur mujarab untuk mengatasi flu. Adapun kalau batuk, mereka percaya dengan pekmez (molasses) dicampur air lemon. Sedangkan teh yang dikucuri air lemon dan daun mint diyakini memiliki khasiat yang kurang lebih sama. 

Oh ya, di tulisan tentang Bariş Manço (silahkan dibaca Manço Sang Legenda Anatolian Rock), saya menulis bahwa Manço memiliki sebuah lagu dengan judul “Nane-Limon Kabuğu”, yang artinya “Mint-Kulit Lemon). Lagu ini diawali dengan intro bersin-bersin orang sakit flu, silakan dengarkan sendiri lagunya.

Kardan Adam

Ketika salju datang dengan tebalnya dan sekolah diliburkan, aktifitas siang yang paling menyenangkana dalah membuat Kardan Adam alias Snowman (Sila kunjungi Kardan Adam). Tidak hanya anak-anak, orang dewasa pun menyukai kegiatan ini. Semua turun ke jalan dan ke taman-taman, lalu sibuk membulat-bulatkan salju untuk Kardan Adam. Sebagian lagi untuk perang timpuk-timpukan bola salju.

Ikan Hamşi Goreng dan Kestane Bakar
[Buah Kestane Sudah Siap Dinikmati. Foto www.blog.tatilbudur.com]
Musim dingin identik dengan ikan hamşi, yaitu ikan kecil yang biasanya digoreng ditaburi tepung jagung, dimakan dengan sayuran khas musim dingin, seperti lobak, roka (arugula), bawang, dan kucuran lemon. Tentu saja dengan ekmek (roti) juga. Minumnya tidak boleh dari unsur susu. Orang Turki mempercayai bahwa ikan dicampur susu akan menimbulkan efek keracunan. Oleh karenanya minumnya biasanya air salgam (jus dari beet).

Selepas makan, sambil minum teh—kebiasaan mayoritas rakyat Turki—dilanjut dengan ngemil kestane (chestnut) yang dipanggang di oven atau di wajan atau bahkan di atas pemanas ruangan tradisional (soba). Rasanya gurih-legit sangat pas menemani malam-malam yang dingin.

Sinetron

Sinetron kebanyakan libur selama musim panas dan mulai tayang lagi di musim dingin, begitu setiap tahunnya. Beberapa orang yang fanatik sinetron tertentu tentunya sangat menanti tayang kembalinya sinetron kesayangan. Seperti saya yang fanatik dengan sinetron Eşkiye Dunyaya Hukumdar Olmaz, kedatangan musim dingin selalu membawa riang di hati.

Demikian sekilas hal unik menarik dari musim dingin di Istanbul yang kami sajikan untuk TS-er tercinta. Selamat bermusim dingin, jaga kesehatan selalu.


Lia Yulianti
Salah satu anggota redaksi Turkish Spirit ini akrab disapa “Lia” atau “Teteh Lia”. Menekuni pekerjaan paruh waktu sebagai penerjemah untuk pariwisata. Menulis buku Best of Turki (Elex Media Komputindo, 2014) bersama sabahabatnya, Dian Akbas. Salah satu tulisannya terangkum dalam buku Kumpulan Cerpen Bilik Sastra Jilid 3 (RRI World Service-Voice of Indonesia, 2014). Korespondensi bisa melalui email: lia_oke2001@hotmail.com.

Berburu Autumn Leaves di Kampung Polandia, Turki

01.37.00 Add Comment

Polonezköy menjadi tempat favorit untuk berburu autumn leaves

[Taman Polonezköy Tabiat. Foto Dokumen Pribadi @Azizahra]
Hidup di negara 4 musim selalu menjadi daya tarik bagi manusia tropis seperti saya yang hanya terbiasa dengan teriknya matahari di musim panas dan basahnya tanah di musim hujan. Di samping itu, perubahan suhu dan pemandangan yang sangat berbeda pada setiap musim merupakan suatu hal baru yang tidak bisa dirasakan di negeri tropis seperti Indonesia.

Salah satu musim yang paling menarik hati saya setelah musim salju adalah musim gugur. Musim yang menjadi ‘jembatan’ antara musim panas ke musim dingin. Di musim ini udara sedikit demi sedikit berubah menjadi dingin dan hawa panas mulai menghilang seiring berjalannya hari.

Di Istanbul, Oktober telah berlalu dan November pun sudah hampir di penghujung bulan. Puncak musim gugur semakin terasa. Istanbul menjadi lebih dingin dan daun-daun mulai berguguran. Pohon-pohon pun tampak ranggas dan gundul tanpa helai-helai daun. Sebagai salah satu musim favorit tentu saya tidak ingin melewati momen ini begitu saja. Saya memutuskan untuk berburu autumn leaves, daun-daun kering yang menjadi ciri khas di musim gugur. Kali ini saya akan mencari autumn leaves istimewa di tempat favorit. Saya mulai browsing dengan kata kunci “Istanbul sonbahar gezilecek yerler” (tempat- tempat untuk dikunjungi ketika musim gugur di Istanbul). Kemudian muncul nama Polonezköy sebagai salah satu rekomendasinya.

Saya pun tertarik mencari infomasi lebih banyak lagi tentang Polonezköy. Dalam bahasa Turki kata “Polonez” berarti Polandia dan “Köy” berarti desa atau kampung. Jadi Polonezköy berarti Kampung Polandia. Saya semakin tertarik, kenapa ada kampung Polandia di İstanbul?

Dari informasi yang saya dapatkan, tempat ini merupakan sebuah desa Polandia yang dulunya bernama Adampol. Adampol sendiri diambil dari nama pendirinya yaitu Adam Czartoryski, seorang pemimpin pemerintahan kebangkitan nasional Polandia dan pemimpin partai imigrasi politik saat itu. Polonezöy didirikan pada tahun 1842. Gagasan untuk mendirikan desa ini muncul ketika Polandia diserang oleh negara-negara tetangga seperti Rusia, Austria dan Prussia pada tahun 1775. Pada saat itu Adam Czartoryski ingin membangun pusat imigrasi Polandia kedua di Turki (waktu Usmani) setelah Paris. Untuk menyampaikan maksud tersebut Adam Czatoryski mengirimkan wakilnya Michal Czajkowski untuk bertemu dengan wakil Kerajaan Usmani. Petemuan tersebut membuahkan hasil pada tahun 1850. Kerajaan Usmani memberikan izin kepada mereka untuk membuka lahan sebagai pusat imigrasi Polandia. Akhirnya Michal Czajkowski berganti nama menjadi Mehmed Sadık Paşa setelah memeluk agama Islam membeli sebuah lahan di Istanbul. Lahan tersebut dibelinya dari Pastor Lazarist, seorang pengelola sekolah Prancis sederajat SMA Saint Benoit. Lahan itu dulunya dikelola sebagai lahan pertanian.
[Taman Polonezköy Tabiat. Foto Dokumen Pribadi @Azizahra]
Saat ini Polonezköy yang terletak di bagian Asia Istanbul, tepatnya di distrik Beykoz, berubah menjadi tempat wisata yang cukup populer di Istanbul. Dikarenakan daerahnya yang sangat teduh, dikelilingi banyak pohon pinus dan tanaman hijau lainnya, Polonezköy menjadi tempat favorit untuk berburu autumn leaves. Kita bisa duduk beralas daun-daun kering yang sangat cocok untuk dijadikan objek foto. Selain itu, tempat ini jauh dari hiruk pikuk kota Istanbul. Tempat setenang ini adalah pilihan yang tepat untuk melepas penat dari kebisingan kota atau berjarak sejenak dari tugas-tugas kuliah yang seabrek.

Polonezköy juga menjadi salah satu kampung terkenal di dunia. Saat ini ada sekitar 80 orang Polandia yang tinggal di sana. Walaupun jauh dari tanah airnya, mereka tetap menjaga budaya dan sejarahnya. Di sana tersedia pameran pahatan kayu Polandia, restoran-restoran yang menyediakan makanan khas Polandia dan ada beberapa objek sejarah-objek yang bisa dikunjungi.

Setelah puas berburu autumn leaves di Polonezköy, ada satu hal yang menjadi renungan saya tentang Turki, yaitu lahan hijau. Turki memang tidak banyak memiliki hutan luas dan lahan hijau seperti Indonesia tapi Negeri Dua Benua ini sangat menjaga dan menghargai hutan-hutannya dengan sedemikian rupa agar masyarakat tetap dapat merasakan kesegaran alam dan udara bersih. Sedangkan Indonesia yang dianugerahi lahan perhutanan luas dan hijau-hijauan yang membentang indah masih kurang kesadarannya untuk mempertahankan kelestarian hutan-hutannya. Masih ada banyak kasus illegal logging sampai permasalahan asap Sumatra yang tidak kunjung selesai tiap tahunnya.

Kita seharusnya malu dan segera memperbaiki diri. Setidaknya kita berkaca dari cerita keindahan Polonezköy yang masih terjaga di tengah hiruk pikuk kota metropolitan Istanbul. Mari kita mulai menjaga kelestarian alam ini. Karena bagaimanapun juga jika alam ini terjaga manusia juga akan menikmati manfaatnya.


Nabila Ghassani
Mahasiswa yang memiliki hobi travelling. Saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di Marmara University, pada Jurusan Sejarah Politik Timur Tengah dan Hubungan Internasional. Instagram @nabilaghassani.

Bocah Suriah Melawan Waktu

14.38.00 Add Comment

Sejak pagi warung dibuka, ia sudah mulai bekerja dan berakhir pada jam 11 malam. Artinya, jam kerja Ahmet di atas 12 jam!

[Titik Bertemunya Rumi dan Shemsi Tibriz. Foto Didid Haryadi]
Berkunjung ke kota Konya selalu memiliki pengalaman yang berbeda. Kota ini sangat tenang dan cocok bagi mereka yang ingin merasakan semangat spiritual dari tokoh sufi besar, Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273). Di kota ini ada beberapa tempat yang bisa menjadi tujuan persinggahan. Mulai dari makam Rumi yang berada dalam komplek museumnya, makam Tibris yang merupakan guru spiritual Rumi, sampai lokasi berjumpanya Rumi dengan Sang Guru yang dikenal dengan titik “bertemunya dua laut”. Lokasi-lokasi tersebut terbilang mudah dijangkau, dan jaraknya tak terlampau jauh antara satu dengan yang lainnya. Ditunjang pula dengan sistem transportasi modern dan terintegrasi, membuat para pejalan lebih nyaman pastinya. Kita juga bisa memilih berjalan kaki, sambil mereguk aroma peninggalan Kerajaan Seljuk (1077–1308) dengan melalui beberapa situs yang tersisa.

Malam itu saya juga memilih berjalan kaki. Merasakan kabut tipis yang menutupi jalanan lengang dan menerobos temaram lampu-lampu kota. Sampai-sampai udara dingin yang menusuk kulit mengharuskan saya berjalan lebih cepat. Udara waktu itu mencapai titik minus 7. Tak heran jika asap selalu keluar dari mulut saat percakapan kecil dilakukan. Tiba di sebuah pasar aksesoris yang berada tidak jauh dari kompleks makam Rumi, saya bersama seorang kawan memilih menepi ke sebuah warung untuk mencari makanan.

Secangkir teh panas menjadi pilihan utama untuk menghangatkan badan. Sedangkan untuk menambah energi, nasi dengan lauk ayam bakar yang telah dipotong kotak-kotak pun kami pesan. Kami tak harus menunggu lama, sang pelayan pun datang bersama nampan berisi teh dan nasi ayam bakar. Makanan datang bersama rasa kaget. Di hadapan saya berdiri seorang garson yang ternyata masih seorang bocah. Sebenarnya ini bukan perjumpaan pertama saya dengan bocah yang bekerja di sebuah warung makan atau warung teh. Di beberapa kota besar di Turki, jika kita masuk ke warung-warung kecil akan ada bocah yang bekerja di sana.

Setelah melihat sang pemilik warung ke luar untuk mengobrol dan merokok bersama kawannya di parkiran komplek pasar, saya menikmati sajian makan malam, sembari mengobrol dengan bocah tadi. Namanya Ahmet, usianya 14 tahun. Ia berasal dari Suriah, negeri yang kini sedang bergolak karena perang dan menyisakan pilu mendalam bagi semua orang. Nilai-nilai kemanusiaan kini semakin tercampakkan karena gejolak perang dan politik transaksional antar negara. Ahmet adalah salah satu korbannya.

Ahmet mengaku telah bekerja lebih dari setahun di warung ini. Ia ke sini karena kondisi di daerahnya yang tidak memungkinkan lagi untuk bermain bersama teman-temannya. Sebagai tambahan informasi, Turki sendiri salah satu negara yang menampung pengungsi asal Suriah dalam jumlah sangat besar. Ada beberapa pengungsi yang memilih ke kota-kota besar di Turki untuk mencari kehidupan baru. Beragam cerita yang dipunya mereka, sama dengan rupa pekerjaan yang dilakukan.

Malam semakin larut, jam dinding hampir menunjukkan pukul 11 malam. Di luar sangat sepi, tentu karena musim dingin telah meringkus kota ini. Orang-orang melilih menghangatkan badan di dalam ruangan. Saya melanjutkan obrolan dengan melontarkan beberapa pertanyaan kepada Ahmet. Penuturan Ahmet mengenai kedua orang tuanya yang masih di kampung halaman, hingga perjalanannya ke sini yang seorang diri membuat saya semakin penasaran dengan bocah ini. Berbekal kemampuan Bahasa Turki yang terbatas, Ahmet mencoba bercerita hal lain kepada saya. Sebelumnya saya bertanya, dia bisa berbahasa Inggris atau tidak, dan sayangnya dia tak paham sama sekali.

Akhirnya, untuk melunasi rasa penasaran kepada bocah ini, saya memintanya mendekat ke meja makan kami. “Berapa lama jam kerja kamu di sini?” saya kembali melanjutkan obrolan. Ia pun bercerita bahwa sejak pagi warung dibuka, ia sudah mulai bekerja dan berakhir pada jam 11 malam. Artinya, jam kerja Ahmet di atas 12 jam! Saya bertanya lagi tentang gajinya dalam sebulan. Jawabannya sungguh sangat mengejutkan saya. 250 Lira, ujarnya sambil tersenyum meski saya menangka betapa getir senyuman itu. Mungkin uang sekecil itu (untuk ukuran Turki karena rata-rata gaji minimum 1300 TL) sudah cukup banyak bagi Ahmet. Seketika saya menghentikan makan dan memintanya membawakan kami dua gelas kecil untuk menuang air mineral yang saya bawa. Setelahnya saya menawarinya makan dan duduk di sebelah kami. Namun, ia menolak, dengan sesekali melihat ke arah pintu. Mungkin ia memastikan, jika bosnya memperhatikan caranya melayani pembeli.

Akhirnya saya mengakhiri obrolan dengan bocah ini. Kami pun menawarkan beberapa koin Lira. Tapi Ahmet menolak. Namun saya mencoba meyakinkannya bahwa ini memang untuknya. Saya memintanya mendekat. Sambil melihat ke luar pintu lagi, ia pun menerimanya dan tersenyum sambil bertutur terima kasih dalam Bahasa Turki. Ia sepertinya takut kalau saja bosnya melihat dirinya menerima uang dari para pembeli.

Perbincangan pun selesai. Malam semakin larut. Kami memutuskan untuk beranjak. Tak lama kemudian, saya bertanya kepada si Ahmet berapa harga makanannya. Ia berlari ke luar dan memanggil sang bos. Ternyata masih tersisa beberapa Lira dari jumlah yang seharusnya kami bayar. Saya meminta izin kepada pemilik warung, apakah boleh memberikan uang kembalian kepada si Ahmet. Ia pun membolehkannya. Dan saya pun memanggil sang bocah yang masih membereskan meja. Awalnya ia tidak ingin menerimanya. Meski saya meyakinkannya bahwa sang pemilik warung telah mengizinkannya. Namun, sang bos memintanya untuk tidak menolak. “ambil uangnya dan masukkan ke dalam kantong, Ahmet,” ujar si bos. Ahmet dengan kain lap di tangan kirinya pun menerima uang dari kami sembari tersenyum takut.

Kami pamit dari warung. Kembali ke penginapan, menembus malam yang semakin dingin. Saya menyimpan tanya tentang bocah tadi. Kesunyian malam membawa memori saya kembali ke masa kanak-kanak, hingga masa bermain dan belajar di sekolah.

Ahmet, bocah 14 tahun yang bekerja dalam sunyinya malam. Ia selalu menunggu 250 Lira setiap bulannya. Jari-jari tangannya kini terlatih untuk melayani para pengunjung. Di saat bocah-bocah lainnya sedang tertidur pulas dengan selimut dan hangatnya kasih sayang orang tua; besok hari bocah-boca lain pergi ke sekolah, belajar dan bermain; sedangkan si Ahmet harus terbangun lebih awal, menyiapkan serta memastikan meja dan kursi makan telah siap bagi para pengunjung, sekaligus menyiapkan senyuman ramah dan polos kepada setiap yang datang.


Didit Haryadi
Pimpinan Redaksi Turkish Spirit. Mahasiswa master program Sosiologi di Istanbul University. Person In Charge untuk Indonesia Turkey Research Community (ITRC) di Istanbul.

Pengalaman Pekerja Spa di Turki

18.52.00 8 Comments

Dalam masalah profesionalitas, tidak semua sektor pekerjaan di bidang terapis dan spa di Turki bekerja secara baik

[Foto http://kosk.abantotel.com.tr/]
Berangkat dari keinginan untuk merasakan kerja di luar negeri dan mencari pengalaman baru, aku pun bertekad berangkat kerja ke Turki setelah mendapatkan tawaran kontrak kerja. Di samping itu, alasan lain dan sangat pokok tentu masalah ekonomi. Aku membayangkan Turki adalah negara maju dengan orang-orang yang kaya raya juga ramah-ramah. Karena aku sadar, upah dan gaji di Indonesia sendiri cukup rendah. Harus membayar kos, makan dll. dengan uang gaji misalnya sekitar 2 jutaan.

Dengan tekad tersebut, aku berangkat dengan tujuan kerja sebagai terapis pada salah satu hotel di sebuah kota di Turki. Tentu dong, keinginan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya tentang budaya Turki dan ciri khas negaranya sudah aku tanam. Anda tentu sudah mendengar destinasi turis dan tempat-tempat bersejarah di Turki. Setiba di Turki, aku juga ingin menikmatinya sendiri.

Persyaratan untuk kerja sebagai terapis di Turki sebenarnya tidak repot amat. Secara standar pelamar harus menyiapkan dokumen seperti CV, Kartu Keluarga (KK), KTP, SKCK, PASPORT, Visa dan cek kesehatan. Selanjutnya kita serahin ke agent yang mau mencarikan tempat di luar negeri yang cocok buat kita. Hal penting yang diperhatikan, sebelum diberangkatkan kita ditraining dulu sampai mendapatkan sertifikat spa. Setelah lulus training, agent kemudian mencari jaringan penyaluran kerja seperti ke Rusia, Ukraina, Turkey, Arab Saudi dan negara-negara lain yang membutuhkan. Ketika semuanya sudah beres, tinggal diproseskan visa kerja dan aku pun berangkat ke Turki.

Dalam kontrak kerjaku, standar gaji pokoknya sekitar $600, dengan sistem handle per jam dapat $1, jadi per bulan bisa sampai $800. Makan dan tempat tinggalku sudah ditanggung bos di Turki. Sebagai informasi tambahan, harga spa dengan paket kese köpük + masaji (spa purge + pijat) bertarif 100 TL. Kalau massage 50 TL dan kese köpük  saja 50 TL (tahun 2015).

Kerja di Turki (dan juga di negara manapun) tentu akan penuh dengan suka duka yang harus dihadapi oleh pekerja. Sukanya aku bepergian jauh dan bisa mengetahui keadaan di negeri orang. Di samping itu kita harus hidup mandiri, semuanya serba sendiri dan belajar bertanggung jawab terhadap pilihannya sendiri. Kesempatan untuk belajar langsung budaya baru di Turki lewat interaksi dengan orang-orang yang aku kenal adalah anugerah yang harus aku manfaatkan sebaik mungkin.

Selain itu, sisi sedihnya adalah ketika rindu keluarga di rumah, makanan, rindu kampung halaman. Betul, aku mendapati orang-orang ramah di Turki, tapi tidak begitu dengan dunia kerja di sini. Pengalaman ini harus menjadi catatan bagi teman-teman yang tertarik bekerja di Turki, khususnya di sektor-sektor non-formal. Misalnya, di kontrak kerja, tertera 8 jam kerja tetapi kita kerja di sini dari 10-12 jam kerja. Aku tidak bisa komplain kepada agent ataupun perusahaan di mana aku kerja. Terus gajihnya juga kadang lambat dibayarnya hingga 1,5 bulan.

Dalam masalah profesionalitas, tidak semua sektor pekerjaan di bidang terapis dan spa di Turki bekerja secara baik. Banyak kasus yang merugikan pekerja yang senasib denganku, baik dari Indonesia sendiri ataupun dari negara-negara tetangga Turki seperti Georgia, Kirgiztan dan Kazakistan dll. Kasus-kasus umum yang tidak profesional sama sekali misalnya: penundaan pembayaran (bisa sampe 1-3 bulan), soal hari libur (banyak kasus pekerja sepertiku tidak diberikan libur sesuai kontrak. Ada yang dua minggu sekali liburnya, ada yang satu bulan tak ada libur, ada juga meski libur tidak boleh keluar dari hotel bagi yang tinggal di hotel atau dari apartmen yang disediakan bos tanpa ada izin dari bos), soal izin tinggal di Turki (ada kenakalan seorang bos dengan cara menipu proses dokumen peizinan, misalnya pekerja spa tapi ketika memroses surat izin tinggal diminta agar mengaku bekerja di Bekery biar pajaknya tidak mahal), soal pengawasan (misalnya, ada pekerja yang dilarang berkenalan dengan orang Indonesia misalnya pelajar gitu, ada yang hanya boleh pakai taksi dan dilarang naik angkutan umum), dan soal tambahan biaya living cost (misalnya dalam kasusku, aku disuruh bayar wifi, sebagian pengalaman pekerja yang lain bahkan diharuskan ikut bayar listrik oleh pengelola).

Kasus di atas bukan cuma terjadi kepadaku tapi juga dari pengalaman dan curhatan teman-teman yang sama-sama kerja di bidang terapis, mereka mengalami hal yang sama (khususnya soal jam kerja dan pembayaran gaji). Bahkan ada yang sampai 3 bulan tidak dibayar dulu. Lagi-lagi, ini kembali kepada manajemen dan pengelola tempat di mana kita kerja. Kita harus hati-hati mempelajari tempat di mana akan bekerja. Jadi, pengalaman ini juga catatan kepada saudara sebangsa dan setanah air yang tertarik ingin kerja di Turki agar tetap hati-hati dan pelajari kontrak kerjanya dengan baik. Di samping itu, pengawasan dari KBRI/KJRI di Turki harus betul-betul intens dan memberikan teguran kepada para pengelola yang tidak profesional dan merugikan kami sebagai pekerja.

Tak terasa aku setahun bekerja dan tidak pulang, menyimpan kerinduan dan ingin cepat berjumpa dengan keluarga di rumah. Akhirnya setelah kontrak kerja habis aku pun pulang ke Bali dan saya sudah dijemput oleh keluarga dengan air mata pecah, disambut dengan air mata kebahagiaan. Pengalaman kerja setahun di Turki telah mengajarkan banyak pelajaran hidup bagiku.


Ni Putu Eni Sujata Dewi
Seorang terapis bersertifikat dengan pengalaman kerja di Turki dan Rusia. Suka hal-hal baru dengan traveling. Untuk kepentingan korespondensi silahkan hubungi via akun Facebook penulis dengan nama Eny Dewik.