Peliknya Kuliah di Turki

00.34.00

Kamu sudah berada di Turki. Jadi kamu seharusnya tahu bahasa Turki

[Pintu Gerbang Dicle University, Diyarbakir. Foto http://gazeteyolculuk.net/]
Kuliah di luar negeri saat ini memang lagi nge-trend dan sepertinya terlihat lebih gampang dibandingkan beberapa tahun lalu. Beasiswa sudah melimpah ruah. Salah satu negara pemberi beasiswa yang cukup diminati adalah Turki. Mungkin, bagi pelajar Indonesia berkuliah di Turki merupakan sesuatu yang diimpikan. Tidak sedikit yang menghubungi saya melalui beberapa akun media sosial mengenai keinginan mereka untuk melanjutkan kuliah di Turki. Bagi saya, menjawab pertanyaan-pertanyaan itu bukanlah hal yang sulit tapi terkadang dilematis. Jawaban realistis saya mungkin terkesan akan demotivate mereka. Untuk itu, akan saya jelaskan lebih detail di sini.

Pertama, kondisi keamanan Turki. Pasca usaha kudeta 15 Juli 2016, kondisi keamanan Turki tidak lebih baik dari sebelumnya. Ledakan bom di tempat-tempat umum menjadi sumber teror yang tidak main-main. Jadi, ketika ada yang menanyakan apakah Turki aman, saya bisa menjawab: tidak, Turki sedang tidak aman! Jika menilai kondisi keamanan internasional dan politik dalam dan luar negeri Turki, jaminan kondisi keamanan sepertinya tidak akan didapatkan dalam waktu dekat.

Kedua, kesulitan bahasa. Dalam hal ini, mungkin saya tidak begitu capable untuk memberikan jawaban berdasarkan pengalaman pribadi. Saya sendiri berkuliah di kampus swasta dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Saya hanya menggunakan bahasa Turki secara terbatas di kehidupan sehari-hari. Hanya saja, bahasa Turki termasuk bahasa asing yang tidak pernah masuk dalam kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah Indonesia (kecuali beberapa sekolah swasta). Sehingga, kursus bahasa yang diberikan selama setahun pertama untuk penerima beasiswa Turkish Scholarship (Türkiye Bursları) dinilai tidak cukup dalam memfasilitasi kesulitan di ruang akademik. Dibutuhkan kerja keras dalam mengaplikasikan pelajaran bahasa Turki (level C1) yang diterima dalam lingkungan akademik full berbahasa Turki. Hal ini karena bekal ijazah C1 tidak cukup mampu mengakomodasi kebutuhan akan pengetahuan bahasa Turki di lingkungan akademik. Tidak sedikit teman Indonesia terpaksa melepaskan kuliah mereka di Turki karena tidak sanggup melewati tembok bahasa ini.

Ketiga, perbedaan budaya. Bahasa juga termasuk dalam kategori ini. Tidak heran jika beberapa orang Turki tidak bisa menerima perbedaan ini. “Kamu sudah berada di Turki. Jadi kamu seharusnya tahu bahasa Turki.” Kalimat ini saya dengar dalam bahasa Turki dan sayangnya beberapa kali kata-kata ini ditujukan kepada saya. Saat itu saya tidak mampu memahami betul sampai harus dibantu oleh teman.

Awalnya, saya merasa jengah dengan hal ini namun perlahan-lahan bisa mengerti bahwa ada beberapa alasan mengapa seakan-akan mereka antipati dengan keberadaan warga asing di negara mereka. Insecurity dan superiority menjadi alasan mereka berlaku demikian. Tidak sedikit mahasiswa Indonesia yang diremehkan dan dianggap sebagai sumber ketidakamanan dan ketidaknyamanan yang terjadi di Turki. Berlebihan? Hal ini memang masih minor, hanya saja saya beberapa kali menemukan diri saya disudutkan sedemikian rupa sehingga saya tersadar bahwa kebanyakan orang Turki masih menganggap mereka adalah bangsa yang besar. Sementara orang asing, yang bukan berasal dari Barat, adalah bangsa kecil dan tidak berhak mendapatkan penghargaan. Belum lagi jika saya mengaku mendapatkan beasiswa dari pemerintah Turki. Oleh jenis orang Turki yang antipati, saya akan menjadi bulan-bulanan protes mereka terhadap pemerintah.

Keempat, lingkungan akademik yang berbeda. Ada beberapa teman dan dosen (sengaja ataupun tidak) melakukan tindakan rasisme kepada saya. Awalnya tentu membuat saya berkecil hati, namun lama kelamaan akhirnya terbiasa. Persoalan nilai pun terkadang menjadi hal yang cukup pelik. Mereka dengan tidak segan-segan bertanya tentang nilai, awalnya saya dengan enggan menjawab jujur. Mereka tidak malu untuk membandingkan nilai mereka dengan nilai saya. Walaupun nilai saya itu sangat standar, mereka tidak segan menjadikannya bahan perbandingan dalam protes mereka kepada dosen. Aneh? Jelas. Tapi begitulah. Kemudian ketika ditanya lagi di mata kuliah yang lain dan semester selanjutnya, saya lantas berbohong dengan mendegradasikan nilai serendah mungkin (entah tindakan ini benar atau tidak). Setelahnya? Mereka seperti lebih bisa bernafas lega. Aneh?

Kelima, kebebasan beribadah. Jika Turki dikenal dengan sekuler maka jelas dalam menjalankan ibadah sepertinya ada halangan kecil. Misalnya jadwal kuliah yang tersusun seakan tidak membiarkan pemeluk agama Islam dalam menjalankan ibadah sholat 5 waktu. Jadwal masuk kelas sebelum sholat Dhuhur dan keluarnya setelah Maghrib, kalau mau sholat Ashar? Ya, mungkin ada jeda istirahat 10-15 menit. Tapi jika di kampus tidak ada masjid atau mushalla atau ruangan kecil untuk sholat? Bisa dibayangkan perjuangan untuk menemukan masjid terdekat atau terpaksa menggabung dua waktu yang bisa digabung. Bahkan, ada teman seorang Turki yang ternyata menyembunyikan fakta bahwa dia adalah pemeluk Islam yang taat. Tidak mau ketahuan menjalankan ibadah karena ada rasa takut terkucil dari pergaulan. Mengejutkan?

Setelah membaca beberapa poin-poin di atas, apakah ada yang berubah dari cara pandang kalian mengenai kuliah di Turki? Poin-poin ini saya susun berdasarkan pengalaman pribadi dan teman dekat. Bukan bermaksud untuk mengecilkan hati peminat beasiswa di Turki, tetapi untuk memperlihatkan sudut pandang lain yang ada. Saya tidak mengutuki diri saat ini karena mengambil kesempatan kuliah dan tidak sedang pula menyesalkan keputusan saya.

Jujur, saya banyak mendapat cobaan selama berkuliah di Turki. Tidak seindah yang terlihat di Instagram. Tantangan kuliah umumnya seperti tugas, ujian, paper dan presentasi telah saya perhitungkan di awal. Hanya saja ada faktor tambahan seperti beberapa poin di atas dan permasalahan dengan birokrat yang tidak menjadi perhitungan saya. Sehingga, awal-awal kuliah adalah masa terberat saya di Turki. Di awal semester saja, birokrasi Turki hampir mengirim saya pulang ke Indonesia hanya karena sebuah human error.

Namun terlepas dari bentuk kesulitan di atas, banyak sekali pelajaran yang hanya didapatkan di Turki. Sama sekali tidak ada penyesalan untuk itu. Bahkan rasa syukur dan senang karena pengalaman yang sangat berharga ini enggan untuk ditukar dengan kutukan dan makian. Tidak akan cukup pembahasan dalam satu judul tulisan ini. Maka, keep stalking!


Amdya Hisyam
Mahasiswi Pascasarjana Hubungan Internasional di Istanbul Bilgi University, Istanbul, Turki yang sangat suka menonton film. Tulisan pribadinya dapat ditemukan di amdyahisyam.com instagram: @amdyahisyam.

Silahkan Baca Juga

Previous
Next Post »

3 komentar

Write komentar
7 Januari 2017 pukul 10.52 delete

Oh gitu ya ternyata. Tindak rasisme masih ada terutama kepada pelajar yang berasal bukan dari Eropa. Lantas, bagaimana Anda mengatasi tindakan rasisme itu ?

Reply
avatar
9 Januari 2017 pukul 14.25 delete

ıtu proses kak untuk mereka mengertı soal ını. Ya kita ga bisa langsung bilang ke mereka. lewat teman dekat kita saling komunikasi biar lebih ada mutual understanding-nya.

Reply
avatar