Tahun Baru yang Gamang

21.31.00

Mereka patungan untuk menyewa rumah kosong di kawasan itu. Aku masuk ke rumah itu namun aku tak punya selembar karpet pun untuk digelar

[Hidup dalam Kegamangan. Foto http://www.aljazeera.com.tr/]
Konflik dan kekerasan yang terjadi di manapun tak pernah menguntungkan rakyat kecil, termasuk di Turki. Kecamuk konflik di Turki bagian tenggara dan timur belum selesai juga hingga akhir tahun 2016 ini. Dampak nyata dari konflik berkepanjangan ini adalah derita rakyat kecil yang tak berdosa. Mereka harus terluntang lantung meninggalkan kotanya demi menabung harapan dan keselamatan. Tahun baru, saat kota-kota lain di Turki menyalakan kembang api dan berpesta, bagi mereka adalah riak-riak kesedian yang terus merundung kelabu. Berikut ini adalah sebuah reportase yang saya terjemah dari Aljazeera Turki tulisan Abdulkadir Konuksever. 

Larangan keluar rumah yang diberlakukan di kota Sur, Diyarbakir telah berlangsung hampir satu tahun. Tujuan dari larangan ini adalah untuk mensterilkan kawasan tersebut dari parit, barikade dan bom yang ditanam separatis PKK (Partai Kejerja Kurdistan). Walaupun jangkauan larangan ini sudah berkurang namun warga Sur belum bisa kembali ke rumah mereka. Dan dengan terpaksa harus melewati tahun baru jauh dari rumah.

Dikutip dari website pemerintah kota Sur, telah ditayangkan pengumuman yang berisi tentang larangan keluar rumah tertanggal Jumat, 11 Desember 2016 mulai jam 16.00. Warga kawasan Sur hanya bisa terdiam dan meninggalkan tempat tinggalnya. Yang tersisa hanyalah sebuah harapan agar kondisi ini segera berakhir. Setahun berlalu. Enam distrik di kota tersebut sudah mulai mempersempit kawasan yang memberlakukan aturan larangan keluar rumah. Namun empat distrik yang ditinggali warga Sur belum bisa diakses. Rumah-rumah yang terkena dampak konflik sebagian sudah mulai direnovasi, beberapa rumah menunggu antrean.

Mayoritas warga yang meninggalkan kota Sur mencari tumpangan pada kerabat dan kemudian tinggal di kawasan Baglar dan Sehitlik (pinggiran kota Diyarbakir).
“Aku membawa kedua bayiku dan keluar rumah”

Salah satu dari mereka adalah Sevda Kaplan. Ketika di kota Sur mulai konflik ia membawa kedua anaknya paling kecil dari tujuh bersaudara dan pergi dari rumah. Suaminya, Fikri Kaplan tinggal bersama anak-anak yang lain.

“Sekumpulan pemuda yang tidak kami kenal datang ke distrik kami. Mereka menakut-nakuti semua orang. Kemudian mereka mulai membuat parit. Banyak warga mulai meninggalkan rumah saat itu. Kami tak punya tempat tujuan untuk pergi. Suamiku seorang musisi. Ia sering tampil di acara pernikahan, memainkan davul dan zurna. Rumah kami, tempat kami mengais rejeki adalah Sur. Aku memaksa suamiku untuk pergi. Kemudian konflik mulai. Anak-anakku yang paling kecil Husnanur dan Berat masih bayi. Aku melihat suamiku tak berniat untuk pergi, aku marah dan membawa dua  bayiku pergi. Aku tak punya tempat untuk dituju. Sambil berpikir tentang apa yang perlu aku lakukan, aku tiba di kawasan Baglar. Kondisi udara sangat dingin, muka anak-anakku memerah karena kedinginan. Aku memasuki rumah yang sudah hancur. Aku mencoba mencari dahan, ranting untuk bahan bakar namun nihil. Warga yang mengetahui kondisi kami merasa kasihan. Mereka patungan untuk menyewa rumah kosong di kawasan itu. Aku masuk ke rumah itu namun aku tak punya selembar karpet pun untuk digelar.”
“Pikiranku di Sur”

Para warga yang menyewakan tempat untuk Sevda Kaplan juga membawa karpet dan alas tidur. Mereka menghangatkan susu dan membawakan untuk anak-anaknya. Namun, pikirannya masih tertinggal di tempat konflik dan tempat tinggal anak-anaknya, Sur.

“Setelah beberapa saat aku menempati salah satu ruangan rumah. Suara dentuman kadang terdengar dari arah Sur. Aku sering menelpon rumah. Aku berbicara dengan suami dan anak-anakku. Suamiku takut apabila dia meninggalkan rumah, rumah akan dijarah. Listrik dan air mati, mereka tak punya apa-apa untuk dimakan. Mereka meminum air sisa di penampungan air kamar mandi. Selama sepuluh hari aku tinggal di Baglar dan mereka tinggal di Sur. Larangan keluar rumah diberi jeda. Aku menyewa mobil pick up dan pergi ke Sur. Aku berniat mengambil barang-barang dan anak-anakku. Namun grup PKK tak member izin. Mereka mengatakan kami bisa ke rumah namun tak bisa mengambil barang-barang. Apabila kita tinggal tak hanya barang-barang kami yang rusak, kami pun akan mati. Kemudian kami kembali ke Baglar bersama anak-anak dan suamiku.
“Kehidupan yang Susah”

Sevda Kaplan mendeskripsikan kehiduapan di luar Sur dengan istilah Kehidupan yang Susah.

“Di sini kami hidup dalam kemiskinan. Satu anakku berkebutuhan khusus. Kami hidup dengan bantuan 1000 lira pemerintah, bantuan tetangga dan bantuan yayasan atau wakaf. Percayalah uang tersebut tak cukup untuk tujuh anak, dan kadang kami tidur dalam kondisi lapar. Psikologis kami buruk dan kami tak tahu apa yang akan terjadi pada diri kami. Suamiku tak bisa bekerja. Orang-orang tak ada yang bergembira dan tak ada pesta pernikahan yang digerlar. Ia juga tak memiliki kecakapan kerja di bidang yang lain. Walaupun dia cakap, namun lagi-lagi tak ada pekerjaan. Satu harapanku adalah suatu hari pintu Sur bisa dibuka untuk kami. kalau tidak hidup kami akan susah dan semakin susah.

Data tidak resmi mengatakan ada 60 ribu orang yang pindah dari Sur karena konflik, bom, barikade. Mayoritas yang pindah tak memiliki kemampuan ekonomi yang baik dan mereka tak bisa pergi ke tempat yang jauh. Sekarang mereka tinggal di rumah semi permanen di pinggir kota. Harapan mereka hanya satu, kembali ke tempat di mana jantung mereka berdetak, Sur.

Diterjemahkan oleh Hari Pebriantok


Hari Pebriantok
Salah satu pendiri Turkish Spirit. Hari berasal dari Sragen, Jawa Tengah dan alumni jurusan Jurnalistik Selcuk University, Konya Turki. Menjadi penerjemah profesional Turki-Indonesia dan sebalinya. Untuk korespondensi bisa dikontak via aku-akun media sosial di sini. Hari menyukai tulisan reportase, travel note dan sekaligus fotografi.

Silahkan Baca Juga

Previous
Next Post »