Ziarah Kubur di Masjid Sultan Eyub

01.38.00

Aura kesucian dan kekhusukan terasa di masjid yang dibangun pada tahun 1458 itu, pada masa Sultah Mehmet II atau Sultan Fatih

[Peziarah di Makam Eyup. Foto istanbuldagez.com]
Begitu keluar dari Stasiun Metro Topcular, Istanbul, rasa kebingungan mulai menghinggapi. Stasiun bawah tanah yang pintu cikis (keluar) diapit jalan selebar 3 meter itu membuat saya bingung. Bergerak ke kanan atau ke kiri. Saya mencoba untuk bergerak ke kiri dan mulai menyusuri trotoar namun sepertinya arah yang saya tuju itu bukan menuju jalan yang saya inginkan. 

Saya pun kembali ke arah awal, ke stasiun. Sampai di tempat awal, langkah yang saya ambil, kembalikan dari sebelumnya, yakni ke kanan. Di tengah kegalauan, bertanya kepada dua orang yang sedang berjalan. Ketika bertanya singkat soal keberadaan Eyub Camii, mereka dengan sigap mengatakan jalan lurus dan belok kiri. “Sekitar 3 km,” ujarnya.

Saya menuruti apa yang disampaikan itu. Menyeberang jalan dan menyusuri lintasan, melintasi bangunan toko. Sesampai di pertigaan saya belok kiri dan terus merambat jalan. Rasa was-was mulai muncul kembali saat berada di perempatan. Perasaan was-was selama beberapa saat itu langsung hilang saat melihat ada papan petunjuk yang mengarahkan ke Eyub Camii.

Saya terus berjalan lurus mengikuti jalan itu. Di kanan-kiri jalan, beragam toko dan kedai serta rumah saya lewati. Dari kejauhan, seperti ciri masjid-masjid di Turki, terlihat menara lancip yang menjulang tinggi. Meski demikian belum bisa memastikan apakah tempat itu adalah Eyub Camii. Pada sebuah kesempatan bertanya kepada orang yang kebetulan berpapasan. Saat bertanya lokasi yang hendak dituju, ia menunjuk bangunan masjid yang bermenara tinggi itu sebagai Eyub Camii. Dengan demikian, masjid itu dari kejauhan sudah terlihat. 

Masjid itu berada di samping pertigaan jalan. Memasuki komplek area, kita akan melihat berbagai rumah makan, minuman dan oleh-oleh. Tempat yang disebut Eyub Sultan Mosque atau Eyub Sultan Camii itu dikepung oleh restoran, perbelanjaan, makam dan perumahan penduduk.

Di depan itu masuk komplek masjid, ada sebuah air mancur dalam sebuah lingkaran. Tak jauh dari air mancur, ada kursi-kursi panjang yang siap diduduki. Saya langsung masuk ke dalam masjid. Seperti masjid yang lain, ada plastik untuk membungkus alas kaki yang kita pakai. Kutarik plastik, selanjutnya kubuka dan memasukan sepatu. Kubawa bungkusan plastik itu masuk ke dalam masjid. 

Di dalam masjid ada rak-rak pendek yang biasa digunakan untuk menaruh sepatu. Saya dan pengunjung lain pun menaruh alas kaki di tempat itu. Selanjutnya di hamparan karpet berwarna merah, orang yang berada di dalam masjid itu melakukan sholat.

Aura kesucian dan kekhusukan terasa di masjid yang dibangun pada tahun 1458 itu, pada masa Sultah Mehmet II atau Sultan Fatih. Sebagai masjid yang dibangun dengan gaya Utsmaniyah atau Ottoman, bangunan yang berada di dalam masjid ini sama dengan kebanyakan masjid-masjid yang berada di Turki.

Di dalam masjid saya merenungi masa lalu dan merasakan kenikmatan yang sudah diberikan Allah. Selepas berdoa, saya keluar dari dalam masjid melalui pintu utama. Di luar ini ada sebuah pohon yang dikelilingi oleh pagar berukuran 1 meter. Pohon itulah yang menjadi pembatas antara masjid dan sebuah bangunan. Di dalam bangunan itulah makam Eyub. 

Untuk masuk ke makam, pengunjung harus memutar ke arah keluar kemudian dari pintu samping bangunan masuk ke dalam. Sama seperti masuk ke dalam masjid, ke dalam makam ini pengunjung harus membungkus alas kaki dengan plastik yang telah disediakan.

Antrian kecil terjadi. Satu persatu akhirnya pengunjung masuk. Ruangan di dalam bangunan itu tak seluas bangunan masjid sehingga ketika berada di dalam serasa penuh. Di dalam bangunan makam, kita akan menjumpai orang-orang yang melakukan ziarah kubur. Tak heran para peziarah yang terdiri dari laki-laki dan perempuan itu melakukan ritual doa. Terlihat kaum perempuan yang duduk bersandar pada dinding mendaras kitab suci Alquran. Sedang kaum laki-laki duduk bersimpuh menghadap maka Eyub. Dari sini terlihat bahwa ummat Islam di Indonesia dan Turki memiliki kebiasaan yang sama yakni ziarah kubur.

Makam Eyub sendiri dibatasi oleh dinding berlukiskan motif Turki. Ada pintu masuk ke makam yang berpagar aluminium setinggi satu meter dan lebar satu meter. Di dalam ruangan itulah Eyub bersemayam.

Eyub yang memiliki nama panjang Khalid bin Zaid al Anshari an Najjari atau juga dikenal dengan sebutan Sultan Ayub merupakan sahabat Nabi Muhammad. Saat Nabi hijrah ke Madinah, Eyub membuka pintu rumahnya untuk Nabi. 

Mengapa Eyub sebagai orang Arab dimakamkan di Turki? Ini tak lepas dari upaya dakwah Islam. Islam ingin berkembang ke Barat, Eropa. Keinginan mendakwahkan Islam ke Eropa terhalang oleh Kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) yang berpusat di Konstantinopel (Istanbul), Turki. Untuk menyingkirkan halangan itu maka Byzantium harus ditaklukan. Di sinilah permasalah tak mudah. Berbagai serangan terhadap Byzantium yang dilakukan beberapa kali, sejak tahun 669 Masehi, belum berhasil. Baru pada masa Sultan Fatih, tahun 1453, Byzantium berhasil ditaklukan. 

Perjuangan-perjuangan sebelumnya telah melahirkan syuhada di medan laga. Salah satu di antaranya adalah Sahabat Eyub. Kegigihan Eyub dalam menaklukan Byzantium membuat Sultan Fatih membangun masjid untuknya dan memperbaiki makam Eyub.


Ardi Winangun
Penulis adalah traveler dan kontributor travelogue di Harian Jawa Pos. Bisa dikontak di media sosial Facebook dengan nama Ardi Winangun.

Silahkan Baca Juga

Previous
Next Post »

2 komentar

Write komentar
13 Maret 2017 pukul 08.19 delete

akan lebih baik jika penulis menulis lengkap nama sahabat Nabi dengan nama Abu Ayyub Al Anshari.

Reply
avatar