Di Turki, Jejak Ruang dan Waktu Menyatu

14.55.00
[Selat Busphorus, Istanbul. Foto +Turkish Spirit]
Untuk kesekian lagi saya kembali menjejakkan kaki di Istanbul, Turki. Kota yang berada di dua benua, menempati belahan Eropa dan juga Asia. Sinar matahari musim semi makin lengkap dengan bunga yang mulai bermekaran.

Beberapa tahun terakhir pemerintah Turki di semua tingkatan kota yang disebut ‘belediyesi’ menanam jutaan bibit tulip untuk menegaskan bahwa tulip sesungguhnya milikTurki. Sebagaimana juga tercatat di dinding perpustakaan Universitas Leiden. Bunga tulip awalnya sebagai hadiah dari kaisar di Turki yang diberikan pada kerajaan Belanda waktu itu.

Dari bandara Attaturk ke lapangan Taksim, sepanjang jalan dipenuhi dengan bunga tulip dengan sajian aneka warna. Saat memasuki wilayah Sultan Ahmet, pajangan dari warisan masa lalu itu tetap kokoh. Tidak hanya ornamen-ornamen bekas kekaisaran Ottoman (Usmaniyah), ada banyak peninggalan Yunani dan Byzantium masih dapat disaksikan.

Hubungan baik yang tercipta antara Turki dengan Mesir dan Jerman, tampak masih tetap berdiri tegak. Sebuah pelajaran bahwa persahabatan selalu saja dapat dibangun dalam perbedaan, termasuk dalam perbedaan agama sekalipun.

Ketika kekaisaran Ottoman berkuasa di tanah Turki yang kekuasaannya hingga Eropa, apa yang didapatkan dari Byzantium di masa Al-Fatih ketika menaklukkan Istanbul yang kala itu disebut Kostantinopel, tetap dipertahankan. Salah satu yang menjadi penanda sejarah adalah adanya Aya Sophia dalam ejaan Inggris disebut Hagia Sophia.

Saat ini tempat tersebut dijadikan sebagai museum yang berada di kawasan berdampingan dengan Masjid Biru dan Istana Topkapi. Walaupun berasal dari basilica gereja, tidak menjadi alasan untuk dihancurkan. Justru sebelumnya pernah difungsikan sebagai masjid sebelum kemudian menjadi museum seperti saat ini.

Termasuk pepohonan yang sudah berusia ratusan tahun. Tentara Turki Utsmani bahkan tidak secara serampangan menebang pohon, apalagi sampai membunuh ketika penaklukan dilakukan.

Istana Topkapi menjadi pusat pemerintahan sekaligus kediaman para sultan. Selama 600 tahun sebelum pindah ke Istana Dolmabahce. Posisi strategis yang berada di bibir selat Bosphorus menjadi sebuah anugerah tersendiri. Dengan pemandangan lepas ke selat menjadi daya dukung sehingga kesultanan Turki Ustmani menjangkau wilayah Eropa.

Kaligrafi dan hiasan lukisan menyisakan keindahan dinding dan di langit-langit Istana Topkapi. Ini menggambarkan betapa di masa lalu, keterampilan melukis dan mengoreskan kuas untuk menulis kaligrafi telah dikuasai. Persentuhan dengan budaya Persia semakin menambah keindahan kaligrafi tersebut.

Berada di Turki, saya senantiasa diselimuti daya magis. Hingga mengingatkan saya pada sejarah masa lalu. Sebagaimana Rasul bersabda dalam hadist yang diriwayatkan Ahmad bahwa kejatuhan Konstantinopel akan dilakukan oleh panglima terbaik dengan pasukan terbaik. Sabda Rasul itulah yang merupakan sebuah harapan pada akhirnya terwujud melalui Sultan Muhammad II. Makam sahabat Abu Ayyub Al-Anshari berada di kota ini juga. Sahabat yang rumahnya menjadi persinggahan Rasul ketika hijrah dari Mekkah ke Medinah.

Turki yang pernah menjadi rumah bagi tiga kekuasaan besar: Yunani, Bizantium dan Islam tetap mempertahankan artefak dan situs yang ada. Termasuk, sebaran makam sahabat dan para sultan. Ada satu makam khusus bersama dengan masjidnya, yang dinamakan Masjid Al-Fatih. Sebuah gelar bagi Sultan Muhammad II.

Dengan keberadaan situs-situs tersebut, tidak ditujukan untuk melanggengkan kemusyrikan ataupun kejahilan di tengah mayoritas kehidupan Muslim di sana. Justru menjadi penyemangat jangan sampai apa yang dihasilkan di masa sekarang, tidaklah lebih baik dari apa yang sudah ada di masa lalu.

Catatan sejarah perjumpaan Turki dengan Jepang di Era Meiji, juga masih tersimpan sampai sekarang. Dokumen yang ditulis Fukushima Yasumasa ketika berkunjung ke Turki, masih tetap terpelihara dengan rapi. Ini menjadi bukti bahwa Turki telah melakukan diplomasi dengan bangsa-bangsa Asia sejak dulu. Sehingga apa yang dilakukan sekarang ini, termasuk menjadi tuan rumah konferensi negara-negara Islam yang dihelat pada14-16 April 2016, tak lebih dari kelanjutan yang sudah dilakukan sejak dulu. Hingga apa yang dicapai hari ini adalah kesinambungan pemikiran dan juga aksi untuk berkontribusi bagi perdamaian dunia.
Sumber tulisan dari http://koridor.xyz/


Ismail Suardi Wekke
Dosen pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sorong. Peneliti di Pusat Studi Pendidikan Asia Tenggara, Universitas Kanjuruhan Malang dan Fungsionaris Masika ICMI Papua Barat. Mengisi seminar internasional di sejumlah negara.

Silahkan Baca Juga

Previous
Next Post »