Rahasia Alam Semesta di balik Rempah-Rempah

22.05.00

"Kehidupan, seperti halnya memasak, juga memiliki siklus yang sama: preparation, main course, dessert dan presentation"

[Cuplikan Film A Touch of Spice. Foto +YouTube]
Beberapa bulan lalu, saya tidak mengetahui apapun tentang Turki selain pada dua hal ini: Orhan Pamuk dan Istanbul. Saya mengenal Orhan Pamuk melalui novelnya yang berjudul My Name is Red. Kemudian saya jatuh cinta dan mulai membaca karyanya yang lain seperti Snowd anThe Musseum of Innocence. Ia menjadi salah seorang penulis favorit saya setelah Haruki Murakami dan Tagore. Dan pengetahuan saya tentang Istanbul sebenarnya tidak banyak juga selain bahwa kota indah ini menjadi latar belakang dalam film favorit saya sepanjang masa yang berjudul A Touch of Spice.

A Touch of Spice sendiri bukanlah film asli Turki, melainkan film produksi Yunani (didistribusikan juga di Turki dengan judul: Bir Tutam Baharat) yang mengambil setting di Istanbul pada tahun 1955-1978 di mana Istanbul Pogrom sedang terjadi. Di tengah kekisruhan pengusiran komunitas Yunani dari Istanbul (dan Turki secara keseluruhan), FanisIakovides menghabiskan masa kecil bersama kakeknya yang seorang Turki di Istanbul. Kakek Fanis memiliki toko rempah-rempah terkenal dan di sanalah Fanis jatuh cinta pada astronomi dan seorang gadis untuk pertama kalinya.

A Touch of Spice diawali dengan kembalinya Fanis yang telah menjadi professor astronomi dan astrofisika ke Istanbul untuk menengok kakeknya yang sedang sakit keras dan sekarat. Perjalanan ke Istanbul rupanya memanggil kembali memori masa kanak-kanak yang ia habiskan di toko rempah-rempah milik kakeknya. Kakek Fanis adalah seorang culinary philosopher dan ia mengajari Fanis tentang filosofi rempah-rempah dan kaitannya dengan sistem tata surya. Sebagai contoh, ia mengumpamakan kayu manis sebagai Venus,"Like all women, cinnamon is both bitter and sweet."
[Foto +YouTube]
Sepanjang film, kita disuguhi dengan pemandangan indah kota Istanbul dan selat Bosporus. Saat Fanis bertemu kembali dengan cinta pertamanya yang seorang perempuan Turki, kita diajak melihat struktur bangunan Turki yang merupakan perpaduan Eropa dan Timur Tengah. Selain sisi artistik, film ini juga menampilkan sisi kelam kehidupan keluarga Fanis sendiri.

Fanis sudah aktif dan mengenal dunia dapur sejak kecil. Berawal dari alat dapur mainan, ia kemudian menggunakan alat dapur yang asli dan mulai memasak makanan. Ia sangat suka memasak karena segala hal yang telah diajarkan kakeknya mengenai filosofi bumbu dapur membuatnya merasa dekat dengan sang kakek. Setiap kali ia ingin menggunakan kayu manis sebagai bumbu masakan, ia akan selalu teringat pada cinta pertamanya, Saime.

Rupanya kesenangan Fanis dalam memasak membuat ibunya takut. Ibu Fanis berpikir bahwa seorang anak lelaki tidak seharusnya senang berada di dapur. Awalnya ia membiarkan Fanis karena memahami kesulitannya untuk beradaptasi ke dalam lingkungan baru. Namun lambat laun ketakutannya membuat ia berpikir bahwa Fanis akan mengalami disorientasi seksual ketika tumbuh dewasa. Untuk memisahkan Fanis dari dapur, ia mengirim anak lelakinya itu ke pelatihan militer. Akan tetapi, seperti jalinan takdir, Fanis tetap kembali ke dapur.

Setelah menonton film ini, saya menyadari bahwa kehidupan kita sekompleks filosofi masakan dan aktivitas tata surya. Kehidupan, seperti halnya memasak, juga memiliki siklus yang sama: preparation, main course, dessert dan presentation. Untuk menciptakan masakan yang lezat, kita harus mengetahui bumbu apa yang saling bertentangan, pun dalam kehidupan. Pepper is hot and scorches like the sun rupanya tidak sekedar tagline, tapi mewakili keseluruhan ide dan simbol yang seringkali membuat saya kewalahan untuk memahami esensi kehidupan, kaitannya dalam rempah-rempah dan manusia sebagai pelengkap tata surya. <ed/ts/laelil>


Windha Larasati DF
Lahir dan besar di Denpasar, Bali. Kemudian meneruskan pendidikan menengah di Tambakberas, Jombang dan menghabiskan masa muda dengan bersenang-senang sambil belajar di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, mengambil jurusanI lmuKomunikasi. Aktif di beberapa komunitas sastra selama kuliah, kemudian vakum untuk mencari jati diri sebagai wanita karir yang mapan. Saat ini tengah mendaftarkan diri untuk menjadi mahasiswi S2 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Akun Twitter @windhalarasati.

Silahkan Baca Juga

Previous
Next Post »