Rumi, Masnawi dan Ratapan Kerinduan

20.59.00

Al-Qur'an diawali dengan seruan, Baca! Mastnawi dimulai dengan seruan, Dengarkan! Seruan yang kedua mengandaikan: ‘dengarkan logos Ilahi, simak rahasia-rahasia-Nya, dengarkan kebenaran yang menggema dalam dirimu!

[Suasana Makam Rumi. Foto +Turkish Spirit]
Alastu bi rabbikum, bukankah aku adalah Tuhanmu/Bala shahidna,ya kami adalah saksinya./Tak ada di dunia ini/yang lebih indah dan baikdaripada/alam alastu.../Kau bilang Maulana, kami semua adalah anak-anakAdam/yang selalu teringat, alam alastu itu penuh dengan musik surgawi/kendatikami sudah tertutupi debu keraguan../Suaranya masih terdengar merdu/membuathati tertindih rindu/Di sana semua ciptaan menari-nari/mengikuti iramamusiknya/....semuanya menari, rindu kembali/ke alam alastu.
(Sindhunata, Ke Surga dengan Menari Sama, 2006)

Masnawi, kota Konya dan Rûmî adalah sebuah ruang jiwa yang identik. Jika salah satunya disebut, yang lainnya ikut terjaring dalam tafakur. Tapi, dua yang pertama hadir justru karena gema ratapan kerinduan agung sufi-penyair, Rûmî.

Masnawi adalah buah harum intuisi-puitik dari samudera batin Rûmî yang terefleksikan dalam larik-larik sajak yang diselimuti pesona magis dan rindu yang tertindih. Kitab ini menyisakan jejak tangis abadi dan air mata kerinduan kudus akibat kehilangan gurunya Syams al-Tabrizi—sahabat “misteri” dalam perjalanan spiritual—menyusul ketidakmampuan Rûmî menemukan seorang sahabat yang pas untuk berbagi pengalaman-senyap keruhaniannya.

Maulana Rûmî mendaku, “Masnawi adalah jalan cahaya bagi mereka yang ingin mencari kebenaran, menyingkap rahasia-rahasia Ilahi, dan karib dengan rahasia-rahasia tersebut.” Lihatlah pesonanya:
Jika kau punya jantung
bertawaflah mengelilinginya!
secara ruhani
Ka’bah sejati adalah jantung
bukan bangunan fisik dari batu dan tanah
Allah mewajibkan mengelilingi Ka’bah fisik
untuk merengkuh Ka’bah jantung
yang bersih dan murni

Aktus penyelaman ke kedalaman batin yang paling sublim menyebabkan Rûmî menyaksikan peristiwa-peristiwa penyingkapan yang tak tepermanai. Melalui kemurnian cahaya penyaksian (musyâhadah), Rûmî mengerang:
Aku menjadi hamba
menjadi hamba
dan menjadi hamba
aku hamba tak berdaya
malu karena gagal menunaikan kehambaanku
maka kutundukkan kepala…
Setiap hamba akan bahagia jika dibebaskan
Wahai Tuhan!
aku bahagia karena menjadi hamba-Mu

Perjumapannya dengan Syams membuka api suci kerinduan Rûmî yang sejauh ini menjadi tirai penghalang bertemu Sang Kekasih. Misi Syams adalah mengangkat pemahaman dan penglihatan batin Rûmî ke level yang tak ditekuk logico-positivistic. Sebab itu, Rûmî mengerang kegirangan, karena berhasil menghalau sekat dan melesat jauh menerobos realitas transenden.

Lautan misteri di dalam hati Rûmî terus menggelegak dan membakar laksana samudera minyak yang tersentuh kilatan api. Begitulah, Syams membakar kerinduan Rûmî, tapi kemudian dia menyaksikan sebuah ledakan dahsyat yang justru membuatnya ikut terbakar. Sejak itu, kerinduan, pengetahuan dan kearifan mereka tentang Allah, bertaut.

Ketika Syams meninggal, Rûmî terasa terpanggang api kesepian yang tak bertepi. Masnawi—yang menghimpun tak kurang dari 26.000 sajak—hadir sebagai jeritan kerinduan terdalam. Sebab itu, Matsnawi dapat dipandang sebagai puisi perpisahan. Sejak Nur Muhammad menyentuh Rûmî melalui Syams, kepergiannya ke alam baka merupakan perpisahan yang tak terperi bagi Rûmî.
[Dr. Haidar Bagir di Museum Mevlana, Naskah Asli Masnawi dalam Bahasa Persia. Foto +Turkish Spirit]
Karena dirinya dituntun oleh Syams menuju samudera makna yang tak tepermanai, Rûmî merindukannya sepanjang hayatnya. Dia laksana Majnun dalam legenda romansa, yang ditakdirkan untuk terbakar api cinta abadi terhadap Laila. Ketika seorang mewartakan, “Syams masih hidup,” Rûmî spontan menyerahkan semua miliknya kepada orang tersebut. Sejumlah Sahabat Rûmî mengingatkan jika ikhwal perkabaran itu bohong. Rûmî lalu memberi jawab: “Hadiah ini kuserahkan untuk sebuah kebohongan tentang hidupnya Syams. Andai saja aku mendengar kabar benar tentang dia, aku akan serahkan hidupku.”

Gelombang kerinduan spiritual Rûmî dilukiskan Masnawi ibarat seruling sunyi yang merintih:

Dengarlah seruling
menyimpan pesan
Ia menyingkap rahasia Allah yang tersembunyi
Wajahnya memucat
raganya kosong
yang tersisa
hanya napas sang peniup
dan melantunkan
’Allah, Allah’
tanpa lidah
tanpa bahasa

Getar getir dan ratapan kerinduan yang tak tunai dalam kalam, juga mengerkah teosof-penyair, Farid al-Dîn al-Târ, yang gagal menemukan sahabat sejati dalam berbagi menyauk telaga keruhanian:
Aku seekor burung
terbang dari dunia rahasia
tujuanku mencari mangsa
untuk kuterbang bersama ...
sayang, tak kutemukan seseorang
yang mengenali rahasia-rahasia ini
Aku kembali melalui pintu masuk
yang dulu

Masnawi sejatinya adalah serangkaian kisah alegoris, galaksi makna dan semesta kode. Rûmî tak sedikit memainkan butiran cahaya dunia lambang untuk sampai ke rahasia-Nya, tenggelam di kedalaman cinta-Nya:
Wahai saudaraku!
kisah-kisah itu ibarat sekam
maknanya seperti inti gandum di dalamnya
Orang berakal memakan dan mencerna gandumnya
dan tidak terkecoh oleh kulitnya!
Dengarkan! sisi luar kisah-kisah itu
tapi pastikan kautahu
memisahkan inti gandum dari sekamnya
kata-kataku tak pernah nirmakna
renungkan:
pengungkapan itu mencerminkan kedalaman batin kita

Masnawi juga senandung nestapa kerinduan untuk segera menyatu dengan-Nya:

Setelah kau lihat peti matiku diusung
setelah kepergianku
jangan tangisi aku
jangan ucapkan perpisahan ketika aku diturunkan
ke lahad …
benih mana yang tak tumbuh
setelah disemai dalam tanah
ada tujuh langit di bawah kakiku
[Kata Pembuka Masnawi Versi Terjemahan Reynold A. Nicholson]
Al-Qur'an diawali dengan seruan, Baca! Masnawi dimulai dengan seruan, Dengarkan! Seruan yang kedua mengandaikan: ‘dengarkan logos Ilahi, simak rahasia-rahasia-Nya, dengarkan kebenaran yang menggema dalam dirimu!


Dr. Mohd. Sabri AR
Dosen Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar. Aktif menulis tentang wacana keagamaan dan sufisme dan mengisi konferensi baik nasional ataupun internasional

Silahkan Baca Juga

Previous
Next Post »