Belajar dari Kejujuran Penumpang Dolmuş

17.32.00

Setiap naik angkot ini, saya terus mengamati sepanjang perjalanan, siapa tahu ada penumpang yang “iseng” tidak bayar. Namun, selama itu pula saya tidak mendapatkannya

[Dolmus, Angkutan Kota di Konya. Foto: Dokumentasi Pribadi Penulis]
Waktu di arloji menunjukkan waktu pukul 5 sore. Matahari masih cukup terik sore itu saat puluhan orang berjubel, berebut kursi kosong yang hanya tersisa 5 buah. Saat jam pulang kantor, Dolmus memang menjadi salah satu sarana transportasi pilihan. Selain karena harganya yang murah, ia mampu menjangkau sudut-sudut kota.

Dolmus adalah sebutan angkutan kota (angkot) di Turki. Di Provinsi Konya, sekitar 600 kilometer dari Istanbul, kerap sekali kita jumpai angkot berwarna hijau ini. Kendaraan minibus ini berkapasitas 10 tempat duduk. Namun bisa dimasuki lebih dari 20 orang. Bentuknya seperti mobil van untuk ambulans. Ukurannya lebih besar dari angkot di Jakarta, Indonesia. Dan juga lebih kecil dari Metromini.

Lalu apa bedanya dan istimewanya Dolmus dibanding dengan transportasi publik lainnya di Konya, seperti Tram ataupun bus?. Sistem pembayarannya. Untuk menaiki tram atau bus, kita harus menggunakan kartu elektronik. Sedangkan Dolmus, sistem pembayarannya masih manual. Kita harus menyerahkan uang recehan rata-rata 2 TL (Turkish Lira, mata uang Turki) untuk satu kali perjalanan.

Jika ingin menggunakan Tram, kita harus menempel kartu prabayar yang terisi saldo di ‘gate’ masuk. Demikian pula halnya ketika akan naik bus, kita juga harus menempelkan kartu pada sebuah mesin yang berada di sebelah pengemudi. Beberapa bus menerapkan aturan yang mewajibkan penumpang naik dari pintu depan, sehingga bisa terlihat apakah penumpang tersebut menempelkan kartunyya atau tidak.

Sistem pembayaran yang masih manual inilah, menurut saya, letak istimewanya Dolmus. Peluang kecurangan, baik dari sisi penumpang maupun pengemudi sangat besar. Untuk naik Dolmus, kita tidak mesti melewati gate di halte layaknya Tram. Pintu masuk Dolmus juga berada di tengah, yang jauh dari jangkauan pandangan sopir. Tidak ada pula kondektur yang meminta ongkos ketika penumpang naik ke atas Dolmus.

Selama hampir dua pekan saya berada di Konya, saya kerap menaiki Dolmus untuk bepergian ke pusat kota. Setiap naik angkot ini, saya terus mengamati sepanjang perjalanan, siapa tahu ada penumpang yang “iseng” tidak bayar. Namun, selama itu pula saya tidak mendapatkannya. Bahkan disaat jam pulang kerja, yang mana waktu tersebut adalah Dolmus sedang disesaki oleh para penumpang.

Mereka yang tidak bisa menjangkau sopir karena penumpang yang berjubel, menitipkan recehan Lira kepada penumpang lainnya. Mereka menyebutkan tujuan, jumlah uang, maupun berapa orang yang ikut bersamanya. Dan penumpang yang berada paling dekat dengan sopir pun dengan senang hati menyampaikan “amanah” dari rekannya sesama penumpang.

Saya juga mendapati beberapa anak kecil yang juga memiliki kesadaran yang sama. Demikian halnya dengan pengungsi Suriah—saya mengidentifikasinya dari bahasa yang digunakan—yang notabene “pengungsi” di negara bekas kekuasaan Ottoman ini. Mereka tak minta dispensasi dengan membayar ongkos lebih murah atau gratisan.

Pikiran saya seketika terbang ke Tanah Air. Kita kerap mencari akal agar tidak mengeluarkan ongkos angkutan umum. Tak jarang, saya menyaksikam sopir dan penumpang angkot berdebat keras karena selisih ongkos yang tidak seberapa. Tak sedikit pula anak-anak sekolah yang rela “membajak” mobil bak terbuka karena tak ingin mengeluarkan ongkos.

Sekitar dua atau tiga tahun lalu, ketika sistem perkeretaapian kita masih belum sebaik sekarang, banyak yang rela “kucing-kucingan” dengan kondektur kereta agar terbebas dari ongkos. Atau bahkan ada yang menaiki atap kereta dengan mempertaruhkan nyawa daripada harus merogoh koceknya.

Memang harus kita akui, kadang kita masih harus “dipaksa” dengan seperangkat sistem untuk bisa jujur. Bahkan, kadangkala sistem dan pengawasan sehebat apa pun masih sering kita akali. Mentalitas. Itulah kata kunci. Jika sejak awal mental kita buruk, tidak jujur, sistem yang hebat pun tidak ada gunanya.

Jangan harap kita bisa “membubarkan” Komisi Pemberatansan Korupsi (KPK). Karena sulit rasanya menghilangkan kasus korupsi di negeri ini. Bagaimana kita bisa melenyapkan pejabat yang koruptif, dengan nilai milyaran atau triliunan rupiah, lah wong kita saja masih sering tidak jujur dengan uang recehan.

“Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan makan akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta (pembohong)”.


Amirul Hasan
Saat ini menduduki posisi sebagai Redaktur Pelaksana di Kantor Berita Kemanusiaan (KBK) dan Majalah SwaraCinta. Sebelumnya, ia juga pernah mendirikan media komunitas Kanal Tangsel (2009) dan Kampusku (2012), serta turut menjadi senior editor di majalah Infoz+ (2013). Di ranah sosial, ia pernah menjadi Program Officer di Divisi Advokasi Dompet Dhuafa (2010) dan turut membidani lahirnya Migrant Institute. Sempat juga mengabdi untuk almamater sebagai Communication and Marketing Manager di Social Trust Fund (STF) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2014-2015).

Silahkan Baca Juga

Previous
Next Post »