Jejak Turki di KAA Bandung

11.16.00

Sikap Turki yang kontroversial tersebut telah menjadi sebuah kegagalan besar dalam sejarah diplomasi yang dilakukan oleh Zorlu

[Fatin Zorlu. Foto +Hadza Min Fadhli Robby]
1955 merupakan tahun penting bagi bangsa-bangsa berwarna yang terjajah di seluruh dunia. Pada tahun ini, untuk pertama kalinya, mereka bertemu untuk mendiskusikan masa depan dunia yang sedang terpasung oleh konflik yang diprovokasi oleh dua negeri adidaya, Uni Soviet dan Amerika Serikat. Puluhan kepala negara dari Asia-Afrika berkumpul di Bandung, sebuah kota yang dahulu menjadi saksi atas perbudakan dan juga perjuangan anti-kolonialisme dan anti-imperialisme.

Di antara negara-negara yang datang ke Konferensi Asia-Afrika di Bandung, ada satu negara yang kedatangannya menarik untuk ditelaah lebih lanjut: Turki!

Mengapa Kedatangan Turki Menarik?

Sejak Perang Dunia Kedua, Turki dihadapkan pada sebuah dilema besar: Ke kekuatan mana Turki harus bergantung dalam politik internasional yang terus bergejolak? Pada pertengahan Perang Dunia Kedua, Turki harus terus berupaya melakukan pendekatan diplomatik kepada Nazi Jerman, AS-Inggris dan Soviet agar netralitas mereka tidak disalahpahami sebagai upaya pembiaran terhadap konflik berkepanjangan.
[Dokumen Turki KAA Bandung. Foto +Hadza Min Fadhli Robby]
Setelah usainya Perang Dunia Kedua, Turki dihadapkan pada perkembangan Perang Dingin, yang kemudian memaksa Turki untuk memilih satu di antara dua pilihan: bergabung di barisan kapitalis-liberalis yang dikomandoi Amerika Serikat atau bergabung di barisan komunis-sosialis yang dipimpin Uni Soviet. Kondisi geopolitik Turki yang strategis terancam oleh upaya aneksasi dan dominasi oleh Uni Soviet, sehingga kemudian Turki memutuskan untuk merapatkan dirinya ke Blok Barat. Tak lama setelah bergabung dalam Blok Barat, Turki banyak berpartisipasi dalam koalisi militer, seperti pada Perang Korea dan bergabung pada organisasi NATO.

Dalam kondisi seperti itu, Turki mengikuti Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955. Turki merupakan satu-satunya anggota NATO yang terlibat dalam Konferensi Asia-Afrika. Hal ini menjadi menarik karena salah satu agenda Konferensi Asia-Afrika adalah kritik terhadap pembentukan aliansi militer di dunia internasional.
Meskipun begitu, Turki tetap diundang oleh negara pemrakarsa konferensi, Indonesia, karena Turki masih dianggap sebagai bagian dari Asia-Afrika dan juga menjadi salah satu negara pelopor dalam upaya perjuangan kemerdekaan di Asia-Afrika. Bung Hatta sendiri menuliskan bahwa Perang Kemerdekaan Turki (Kurtulus Savasi) yang telah terjadi di berbagai medan perang seperti Afyon Karahisar, Sakarya dan tempat-tempat lainnya telah menjadi inspirasi bagi pergerakan kemerdekaan di Indonesia dan juga di bangsa-bangsa Asia-Afrika[1]

Dalam konferensi ini, Turki dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Turki yang juga berpengalaman sebagai diplomat, Fatin Rustu Zorlu. Dalam sebuah pidatonya ke Parlemen Turki pada tahun 1956, Menteri Zorlu mengungkapkan bahwa alasan Turki terlibat dalam Konferensi Asia-Afrika merupakan sebuah ‘permintaan’ dari negara-negara sahabat Turki di Blok Barat. Zorlu mengatakan: `Ya, negara-negara sahabat kita mengharapkan dengan sangat, mereka mengatakan pergilah (ke konferensi) itu, jika kalian (Turki) tidak pergi, maka akan terjadi sesuatu yang buruk’[2].
[Gedung Konferensi Asia-Afrika Bandung. Foto +Hadza Min Fadhli Robby]
Dorongan dari negara-negara sahabat Turki di blok Barat tidak mengherankan, karena Blok Barat amat mengkhawatirkan bahwa Konferensi Asia-Afrika dapat mengganggu upaya penangkalan penyebaran ideologi komunis di kedua benua tersebut. Dalam makalah yang disusun oleh Gurol Baba dan Senem Ertan[3], dijelaskan bahwa sikap Turki dalam Konferensi Asia-Afrika seolah menjadi seperti ‘Kuda Trojan Blok Barat’ yang menyusup ke arena negara-negara yang menolak kecenderungan perang antardua blok. Baba dan Ertan menjelaskan sikap Turki yang menjadi Kuda Trojan tersebut sangat wajar karena pada tahun 1955 AS memberikan paket bantuan ekonomi sebesar 20 juta dolar AS, pada masa-masa di mana ekonomi Turki membutuhkan genjotan untuk memperbaiki ekonominya[4].

Tak heran, Turki dengan tegas menyatakan kepada negara-negara anggota konferensi Asia-Afrika bahwa kecenderungan politik menjaga netralitas di tengah perang antarblok Barat dan blok Timur harus dihindari. Karena menurut Turki, upaya dominasi Blok Timur yang menyebarkan ‘komunisme’ dan ‘otoritarianisme’ harus dilawan secara serius oleh komunitas internasional. Satu-satunya solusi dalam situasi perang antar dua blok, menurut Turki, adalah bergabung dengan Free World atau dunia yang bebas ala Blok Barat[5]. Turki juga menekankan bahwa bergabung dengan Free World merupakan sebuah cara untuk melepaskan diri dari imperialisme lama dan menguatkan kembali komitmen terhadap keadilan dan melindungi kemerdekaan setiap negara.
Pernyataan tersebut tentu menimbulkan kontroversi dan perdebatan di antara negara-negara anggota konferensi, termasuk Indonesia yang sangat getol membela proposal untuk menjaga netralitas di tengah Perang Dingin. Bahkan, dalam pengakuan Mahmut Dikerdem, seorang diplomat Turki yang bertugas saat itu, sikap Turki yang kontroversial tersebut telah menjadi sebuah kegagalan besar dalam sejarah diplomasi yang dilakukan oleh Zorlu. Alih-alih terlihat seperti dirinya sendiri, Turki telah menjadi juru bicara Amerika. Menurut Duta Besar Dikerdem, pada konferensi itu, Zorlu tidak dapat melakukan pertemuan khusus dengan pemimpin dunia, seperti Nehru, Tito dan Nasir karena sikap Turki yang dianggap terlalu bias. Bagi Duta Besar Dikerdem, kesalahan diplomasi Turki yang seperti ini merupakan kesalahan yang tak dapat diperbaiki lagi[6].

Setelah konferensi Bandung usai, Turki makin menegaskan dirinya sebagai bagian dari Blok Barat dengan membentuk koalisi pertahanan Pakta Baghdad bersama dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah sebagai pakta pertahanan yang mengamankan kepentingan Blok Barat di kawasan tersebut. Namun koalisi ini pada akhirnya runtuh pada tahun 1979.

Sepulang dari Bandung, Fatin Rustu Zorlu meneruskan tugasnya sebagai Menteri Luar Negeri hingga pada tahun 1960, ketika dirinya, bersama dengan Perdana Menteri Adnan Menderes dan Menteri Hasan Polatkan harus mundur dari jabatan karena paksaan junta militer.


[1]Prof. Dr. Ismail Hakki Goksoy, `Ataturk ve Turk Inkilabinin Endonezya Etkileri’, http://www.atam.gov.tr/dergi/sayi-52/ataturk-ve-turk-inkilabinin-endonezyadaki-etkileri.
[2]Emel Emre, `Turkiye’nin Bandung Konferansinda Asya-Afrika Ulkelerine Ihaneti’, Ozgur Universite Formu 01 2005, p. 87.
[3]Gurol Baba dan Senem Ertan, ‘Turkey at the Bandung Conference: fully aligned among the non-aligned’, 2016 ISA Conference Paper, p. 1.
[4]Ibid, p.2.
[5]Emre, p. 88.
[6]Emre, p. 88.


Hadza Min Fadhli R
Bagian dari tim Turkish Spirit. Mahasiswa Hubungan Internasıonal di Eskişehir Osmangazi Üniversitesi, Eksişehir Turki. Aktif menulis untuk media dan mengisi di blog pribadinya. Silahkan kunjungi alamatnya di sini.

Silahkan Baca Juga

Previous
Next Post »