Turki, Relasi Alternatif Indonesia

02.52.00

Itulah cirikhas unik Islam vernaculer dalam perspektif Turki

[Versi Cetak Harian Jawa Pos, 10 Oktober 2016. Foto +Bernando J. Sujibto]
Pelan tapi pasti, Indonesia terus hadir dan berpartisipasi dalam berbagai acara penting di Turki. Misalnya, hadirnya pementasan wayang dalam serangkaian acara 13th Konya International Konya Mystic Music Festival, 22-30 September di Konya. Festival musik mistik internasional yang dihelat untuk memperingati hari lahirnya sufi besar Jalaluddin Rumi (30 September 1207) ini dinobatkan oleh Majalah Songline bermarkas di London sebagai 25 of The Best International Festival tahun 2015.

Kehadiran Indonesia menegaskan hubungan kedua negara semakin akrab, sebagai dua entitas yang mempunyai latar belakang kultur yang lahir dan besar dari peradaban Islam. Di samping budaya polulernya, seperti diwakili serial Turki di tanah air, Turki juga semakin intens meningkatkan relasi dengan Indonesia di banyak cakupan. Di waktu yang sama agen-agen kebudayaan Indonesia juga hadir di Turki sebagai simbiosis mutualisme demi memperkuat “relasi alternatif” antara kedua negara.

Pada awalnya masyarakat Turki mengetahui hal-ihwal Indonesia lewat media massa dan kisah pertemuan mereka secara langsung dengan orang kita di Tanah Suci. Sekitar sepuluh tahun terakhir, bersamaan dengan jumlah pelajar Indonesia di Turki yang semakin meningkat, acara-acara kesenian yang langsung didatangkan dari Indonesia dan program umroh dengan memasukkan Turki dalam paket mereka membuat masyarakat Turki secara langsung bersentuhan dengan orang Indonesia. Imajinasi tentang Indonesia, yang sebelumnya jauh dan diidefinisikan sebagai Uzak Doğu (negara dari Timur Jauh), semakin dekat di mata mereka.

Kekuatan Alternatif

Fenomena di atas sebenarnya secara gamblang bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk membangun kekuatan alternatif. Sejauh ini Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya banyak bekerja sama dengan Barat, atau lebih tepatnya dicengkram oleh kekuatan global seperti Amerika, Eropa, Rusia dan juga China.

Di luar kekuatan utama di atas, Indonesia harus menggandeng negara-negara yang mempunyai selera-kesinambungan dalam banyak aspek, khususnya dalam perspektif kultural. Turki, bagi saya, berada dalam konteks negara yang memiliki kedekatan dengan definisi jelas: persaudaraan berdasarkan agama (mayoritas). Meski terma ini bisa dicaci-maki di tengah perdebatan paham sekulerisme dan liberalism—atau maraknya stigmatisasi SARA secara luas—konservatisme dalam pemahaman Islam ihwal persaudaraan antarsesama Muslim tidak akan pernah terhapus!

Sementara itu, Turki telah membuktikan diri sebagai negara yang tidak bisa didikte oleh kekuatan manapun. Turki di bawah penguasa sekarang menjelma menjadi single player yang sangat aktif berperan dalam percaturan global. Misalnya, apabila Turki tidak sejalan dengan sekutu abadinya Amerika, mereka dengan cepat bermanover menggalang kekuatan bersama Rusia dan Iran.

Agustus kemarin sempat terjadi tensi tingkat tinggi ketika otoritas Turki mengkritik pedas Amerika yang mengolok-olok Turki di balik gagalnya kudeta 15 Juli. Turki dengan benderang menyatakan bahwa jika perlu Rusia bisa menempatkan jet tempur mereka di İncirlik, pangkalan udara pasukan NATO di Turki. Kalau tidak karena keberaniannya bermain api, P.M. Turki Binali Yıldırım tidak akan menyatakan hal tersebut di depan publik. Namun Turki tahu, sekutu abadi bernama Amerika ibarat ular yang mencaplok dan bermain kapan saja. Kuktinya, hari-hari setelah Kudeta 15 Juli, Turki menerjunkan 7000 pasukan bersenjata menjaga pangkalan militer NATO yang otomatis “milik” Amerika itu.

Sementara itu di tingkat Eropa sendiri, Turki menunjukkan diri sebagai negara yang dibutuhkan oleh mereka. Sehingga, meski secara politik Turki terus dipermainkan misalnya dalam proses pemenuhan menjadi anggota Uni Eropa, Turki tidak pernah tinggal diam dan menyusun kekuatan baru dengan negara-negara Selatan (Afrika dan Asia) untuk memperkuat stabilitas internal mereka.

Jika Anda tinggal di Turki setidaknya dalam dua tahun dan mengerti bahasa, kultur dan emosi mereka, secara mudah akan merasakan betapa negara-negara Eropa telah menghina (rakyat) Turki dengan memproduksi wacana dan bahkan tuduhan-tuduhan hoax. Misalnya, sekelas Menteri Luar Negeri Swedia juga ikut menyebarkan kebencian yang membuat berang seluruh rakyat Turki. Dalam akun Twitternya pada 14 Agustus 2016 Margot Wallström menulis “Turkish decision to allow sex with children under 15 must be reversed. Children need more protection, not less, against violence, sex abuse.
[Foto +Turkish Spirit]
Jelas sekali tuduhan tersebut tidak berdasar. Di luar itu, masih terus berlangsung produksi wacana dan polarisasi sedemikian rupa untuk menjegal Turki. Misalnya, agen-agen media di Eropa melontarkan isu bahwa Turki tidak layak menjadi anggota NATO oleh sebab krisis pengungsi Syria, dan sebagainya.

Di tengah agresifitas Turki, khususnya pasca kudeta, dan tekanan negara Eropa yang memandang Turki semakin kuat dan otoriter, memperkuat relasi dengan negara-negara Selatan adalah strategi yang sedang dimainkan.

Untuk itu, saya melihat potensi kerjasama Indonesia dengan Turki akan menjadi kekuatan baru. Dalam beberapa hal, Turki bisa menjadi model khususnya bagi pengembangan kebudayaan Islam atas khazanah lokal yang mereka miliki. Jika memungkinkan, konteks pengelolaan warisan kebudayaan ini harus dilihat sebagai proses rekonstruksi identitas kedua negara: Indonesia dengan lanskap multikultural dan Turki dengan warsian panjang sejarah peradaban Utsmani.

Di antara negara-negara yang mayoritas Muslim, Turki bisa dibilang salah satu negara dengan visi membangun kembali kebudayaan dan peradaban Islam paling kuat. Proyek besar-besaran dan restorasi sejarah lokal dan yang bersinggungan dengan Islam terus digalakkan. Yang menarik, Turki tidak pernah menghilangkan identitas lokal mereka meski tujuannya adalah untuk membangun dan menghidupkan kembali peradaban dan kejayaan Islam.

Tengoklah nama-nama proyek museum, sekolah, kursus Alquran, pusat riset, dll. Mereka pasti menggunakan identitas lokal, dengan menisbatkan kepada tokoh-tokoh Muslim yang berjaya selama Utsmani berkuasa, misalnya lembaga kurus al-Qur’an Yunus Emre, dll. Di samping itu, Turki pelan-pelan terus merevitalisasi sejarah Islam-Utsmani yang diboldozer oleh rezim sebelumnya. Misalnya, perubahan nama-nama durak (stasiun tram) yang sebelumnya merupakan kloning untuk identitas sekulerisme menjadi kembali ke identitas Utsmani, melalui nama-nama tokoh (seperti Elmalılı Hamdı) atau nama kebesaran Turki (Fırat: Sungai Eufrat).

Sependek yang saya tahu, sulit menemukan nama lembaga yang secara gagah-gagahan menyebutkan nama sahabat Nabi, khususnya yang berbau Arab, selain mereka yang mempunyai hubungan langsung dengan Turki seperti sahabat Abu Ayyub al-Anshoari (Baca: Makam Sahabat Nabi di Istanbul). Ini salah satu fakta menarik dalam internal pemahaman Islam di Turki. Turki mempunyai pendekatan berbeda, yaitu menggunakan kebudayaan dan khazanah tradisi lokal mereka untuk menunjukkan idenitas mereka sebagai Turki-Islam. Itulah cirikhas unik Islam vernaculer dalam perspektif Turki.

Tahun ini Konya dipilih sebagai The Islamic Tourism Capital for 2016 oleh Organization of the Islamic Conference (OKI). Dengan giat Provinsi Konya merestorasi situs-situs sisa Kerajaan Saljuk (1077-1308) dan membangun gedung besar Pusat Kebudayaan Islam di atas tanah sekita 10 ribu meter persegi, bersebelahan dengan Pusat Kebudayan Rumi.

Akhirnya, partisipasi kelompok Wayang Sadat pada malam pertama festival (22 September) kemarin semakin membuka ruang melalui jalur kesenian sebagai jalan relasi Indonesia-Turki. Wayang Sadat yang dicipatakan oleh Suryadi Warnosuhardjo asal Klaten tahun 1985 ini ikut menjelaskan bagaiman kesenian musik juga telah sarana dakwah di Nusantara dengan mementaskan lakon Wali Songo.

Pementasan Wayang Sadat menjadi delegasi ketiga dari Indonesia sejak festival ini pertama kali digagas tahun 2004 setelah Gamelan Semara Ratih (2010) dan Tari Saman (2014). Semoga ke depan Indonesia-Turki semakin aktif bergerak termasuk lewat jalur kesenian mereka.


BlogBernando J. Sujibto
Pendiri Turkish Spirit. Mahasiswa Program Master di Sosyal Bilimler Enstitüsü pada Jurusan Sosiologi di Selçuk Üniversitesi (2014-2016), Konya, Turki. Minat penelitian: Orhan Pamuk, Bidang sosial kebudayaan Turki, peacebuilding dan literary field. Jurnalis lepas dan kolomnis di sejumlah media nasional. Sejak belajar dan tinggal di Turki, mulai aktif menerjemahkan karya-karya sastra dan kebudayaan Turki. Menulis dan mengeditori sejumlah buku, playmaker untuk  @playplusina dan @spiritturki.

Silahkan Baca Juga

Previous
Next Post »