Kuliah Sarjana di Turki? Yakin?

14.01.00

Nilai kehidupan yang didapat di sini, nggak akan ditemukan di zona nyamanmu

[Summer di Kampus Turki. Foto +Hari Pebriantok]
Hampir semua mahasiswa Indonesia di Turki, khususnya setingkat sarjana, pernah mendapat pertanyaan “Kenapa Turki?”. Menarik pikir saya. Pertanyaan yang satu ini, klise tapi asyik. Jujur saja, sebagai Maba (mahasiswa baru) yang terhitung baru tiga bulan hidup di Turki, rasa-rasanya belum mau menjawab banyak. Biasanya saya cukup bilang, “Alhamdulillah, soalnya ada beasiswa”, atau “Emang mau study abroad”, atau juga “Karena Turki bagus”, atau hal-hal lain yang menjelaskan tentang keunikan Turki. Jawaban seperti ini mungkin cukup menjawab, tapi sebenarnya tersimpan banyak alasan lain, utamanya setelah sampai di Turki.

Ya, sesampainya di Turki, “kenapa Turki” memiliki “karena” yang mungkin saja tidak bagi semua orang sejalan. Bagi sebagian, butuh yang namanya ngecay (teh) dan bertukar pikiran, lalu bisa paham. Alasan itu sungguh beragam dan bagi saya begitu esensial! “Nilai kehidupan yang didapat di sini, nggak akan ditemukan di zona nyamanmu.” Satu jawaban saya dapat dari banyak mahasiswa yang sudah merasakan manis-pahit hidup di Turki. Terdengar idealis sekali ya? Tapi nyatanya, sangat realistis. Nol persen kami menggantungkan hidup pada siapapun. Orang tua di Indonesia, teman kamar, bahkan teman Indonesia yang tinggal satu kota di sini. Terdengar sulit? Sedikit, tapi seru selebihnya.

Saya melihat, hampir semua teman-teman sarjana di sini pun punya semangat tinggi untuk selalu belajar. Untuk terus melanjutkan studi, baik yang ada di depan mata maupun tingkat selanjutnya, lalu berkelana ke berbagai kota dan negara sambil membawa nama “Indonesia”, dan makna “belajar” yang lain-lain. Mereka penuh target dan mimpi mulia. Namun demikian tak perlu muluk-muluk, hidup dijalani dengan baik, cukup.

Bicara membawa nama “Indonesia”, saya sendiri merasakan meningkatnya rasa nasionalisme setelah sampai di sini. Secara tidak langsung, kami merepresentasikan Indonesia. Di mana-mana selalu ditanya, “Nerelisin?”, kamu dari mana? Dalam beberapa kesempatan pun memperkenalkan Indonesia lewat bidang seni-budaya. Semakin sadarlah kekayaan negeri sendiri. Bahkan saat bertemu dengan teman Indonesia saja, rasa “Bhineka Tunggal Ika” itu semakin bertambah. Mau tidak mau semua orang Indonesia yang tinggal di kota kita adalah keluarga. Tidak peduli dari kota dan pulau apa, agama dan bahasa lokalnya bagaimana, apalagi orangnya seperti apa, keberagaman itu justru menambah semangat nasionalisme yang selama ini lebih banyak dipelajari di sekolah saja.

Tidak hanya nasionalisme, meningkat pula apa yang disebut dengan rasionalisme. Mengalami perbedaan budaya dan bahasa, mendapat pengalaman baru bahkan dari hal-hal kecil setiap harinya, berada di lingkungan pertemanan orang Turki dan internasional, membuat kami belajar apa itu toleransi. Jelas, tanpa perlu menanggalkan hal-hal yang bersifat prinsip. Hidup di negeri lain juga membuat kami (harus) lebih terbuka terhadap ilmu baru dan isu lokal hingga global. Tentu, tak ketinggalan untuk memerhatikan negeri sendiri.

Dalam hal akademis, mereka pun memaknai “nilai” sebagai suatu hal yang berbeda. “Nilai. Kalau kamu cari nilai alias IPK, sekolah di Indo aja. Di sini, bukan IPK hal utama yang dicari.” Begitu seorang kakak berbagi pada saya. Bagaimana dosen di sini memberi IPK dengan di Indonesia berbeda. Bagi mahasiswa asli Turki saja, IPK 3 adalah hal yang luar biasa istimewa menurut penuturannya. Apalagi bagi mahasiswa asing yang terkendala bahasa. Walau begitu, tak terhitung jumlah mahasiswa Indonesia yang berprestasi di masing-masing kampusnya.

“Persoalan pekerjaan, tidak perlu takut sih. Apalagi persoalan link. Semua tergantung orangnya,” begitu kira-kira penuturan para mahasiswa yang banyak dari mereka pun kuliah sambil bekerja, berorganisasi dan berkomunitas, serta produktif di bidangnya masing-masing. Ini adalah satu dari sekian banyak poin yang sering di(per)tanyakan orang Indonesia mengenai kuliah sarjana di luar negeri.

Jadi perlu digarisbawahi bahwa sekolah sarjana di Indonesia dan luar negeri, dalam hal ini khususnya Turki, adalah satu hal yang tidak bisa dibanding-bandingkan. Kesempatan yang ada, pengalaman yang didapat, tantangan yang dihadapi, serta segala baik-buruknya jelas berbeda. Sehingga “pilihan masing-masing” adalah kesimpulan yang tepat. Asal jangan pernah berhenti belajar saja, di manapun dan kapanpun.


Sonia Dwita
Bergabung dengan tim Turkish Spirit. Calon mahasiswi S1 Journalism Studies, Selçuk University, Konya, Turki. Saat ini sibuk menikmati kelas persiapan bahasa Turki. Pernah aktif menjadi jurnalis remaja di Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Concern dan turun tangan pada isu pendidikan dan lingkungan. Jatuh hati pada dunia seni khususnya musik, sejak belasan tahun silam. Sonia hobi menulis catatan harian juga puisi, kadang dibagi di blog pribadinya di sini.

Silahkan Baca Juga

Previous
Next Post »