Percobaan Kudeta dan Fethullah Gülen

19.02.00

Mereka yang mengkhianati negeri ini akan dibayar sesuai dengan penghianatannya
Recep Tayyip Erdogan 

[Versi Cetak Dimuat di Jawa Pos, 17 Juli 2016. Foto +Bernando J. Sujibto]
Malam 15 Juli sekitar pukul 21.20 waktu setempat, keriuhan di Ibu Kota Turki tiba-tiba menyeruak. Jet F-16 terbang di langit Ankara dan sejumlah tank turun ke jalanan. Di waktu bersamaan terjadi pula di Istanbul. Bandara Ataturk dan dua akses jembatan Bosphorus yang menghubungkan Turki bagian Asia-Eropa ditutup. Tak lama kemudian media-media lokal Turki menyiarkan tentang “Percobaan Kudeta” yang dilakukan oleh sejumlah jenderal dan kelompok kecil pasukannya.

Upaya kudeta tersebut terjadi ketika Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sedang tidak di Ankara. Dia berada di kota Marmaris, Provinsi Mugla, daerah turistik terbaik pantai Mediterranea, Turki. Karena Bandara Ataturk masih diblokade oleh pasukan kudeta, Erdogan hanya bisa menyampaikan live via FaceTime untuk menenangkan rakyat.

Kudeta terjadi secara intens sejak sekitar pukul 23.00 hingga 03.00 pagi. Dalam durasi tersebut, jet tempur F-16 yang dipakai oleh pasukan kudeta melemparkan bom ke gedung DPR Turki dan penembakan ke gedung Markas Besar Polisi di Ankara. Dilaporkan sedikitnya ada tiga bom meledak di Ankara. Tapi, jet tempur yang menembakkan bom itu pun segera ditembak jatuh.

Pasukan kudeta ini cukup taktis menjalankan operasinya. Mereka langsung menyandera Kepala Angkatan Bersenjata Hulusi Akar. Setelah itu, situs resmi militer dibajak dengan menyatakan bahwa kendali negara dipegang oleh jajaran militer dan semua kerjasama dan aturan sah dari pemerintah diambil alih penuh oleh militer. Di waktu bersamaan pasukan kudeta mengambil alih TRT, saluran media resmi milik negara. Kabarnya, awak media dipaksa untuk memberitakan bahwa negara sudah diambil alih oleh militer!

Mengetahui titik genting demikian, rakyat Turki tak tinggal diam. Pidato Erdogan via telepon membakar semangat mereka. Presiden mengajak rakyat Turki untuk turun jalan dan melawan percobaan kudeta. Pidato Erdogan disambut histeris mayoritas rakyat Turki. Suara mereka sama: “melawan kudeta”, “Rakyat jangan tidur. Demi negeri keluarlah" dan sebagainya. Di Istanbul mereka lalu berjalan beriringan menuju bandara, memaksa melewati jembatan yang sebelumnya diblokade. Di jembatan itu pun terjadi bentrok antara pasukan kudeta melawan rakyat sipil.

Kudeta mereda dan rakyat menjadi tenang ketika Edogan mendarat di Bandara Ataturk sekitar pukul 03.50 pagi. Presiden langsung berpidato di depan rakyat Turki dan kembali mempertegas niatnya untuk menyapih parallel state yang berafiliasi dengan Fetullah Gulen, terduga dalang percobaan kudeta. Bagi Erdogan dan pemerintahannya, kudeta ini semakin memperjelas siapa saja pentolan Gulen yang masih tersisa di tubuh pemerintahan.

Percobaan kudeta tersebut menelan ratusan korban tewas dari rakyat sipil. Ada belasan korban tewas dari pasukan polisi yang terlibat baku tembak melawan tentara kudeta. Ada seorang jenderal di balik kudeta ini dilaporkan dibunuh dan malam itu lebih 130 tentara ditangkap. Tepat pukul 06.40 pagi, pasukan kudeta yang berada di jembatan Bosphorus menyerah dan melepaskan senjata mereka.

Gerakan Gulen?
[Versi Grup Jawa Pos Sumatera Ekspress. Foto Arif Zuhdi]
Dengan kudeta yang gagal ini, identitas gerakan Hizmet yang berafiliasi dengan Fetullah Gulen, tokoh ulama Turki yang sejak 1999 pindah ke Amerika, itu semakin benderang. Sejak sekarang, kelompok tersebut sudah tidak bisa lagi menyembunyikan “wajahnya” di depan penguasa Turki di bawah Erdogan, dan tentu akan menjadi musuh bersama bagi rakyat Turki secara umum. Penamaan parallel state yang digaungkan pemerintah sejak 2013, lalu meningkat dengan sebutan FETO (Organisasi Teroris Gulenist), pada sekitar akhir 2014, hari ini semakin menemukan bukti-bukti secara nyata.

Jika harus jujur, Hizmet adalah kelompok yang sulit dicari kesalahannya, apalagi sampai menjadi kriminal. Di Turki kelompok ini sudah mengakar sebagai salah satu jamaah Islam yang kuat dengan basis massa yang tak terhitung jumlahnya. Mereka mempunyai “rumah-rumah” (kalau di Indonesia seperti pesantren) yang menjadi basis pengkaderan dan gencar memberikan beasiswa kepada pelajar-pelajar dari berbagai penjuru dunia. Di samping itu, kelompok ini juga mempunyai banyak lembaga sekolah di sejumlah negara, termasuk di Indonesia.

Kelompok Islam yang berafiliasi dengan gerakan Islam moderat ini mengampanyekan sisi progresif dari Islam ke seantero dunia. Mereka membawa wajah Islam damai dan menganjurkan inter-faith dialogue di berbagai kegiatan dan gerakan-gerakannya di dunia internasional. Kita sangat mudah untuk menemukan kiprah dan kontribusi ulama yang satu ini.

Saya bertemu pertama kali dengan kelompok Gulen ketika ikut Moslim Exchange Program (MEP) di Australia tahun 2011. Karya-karya yang gencar mereka terbitkan di Sydney (basis paling kuat kelompok Gulen di Australia) adalah contoh dari produk-produk wacana progresif dan sisi moderat Islam yang menjadi jalan perjuangan mereka. Sekali lagi, sampai detik ini, saya tidak menemukan bahaya di balik gerakan keislaman kelompok Gulen (!).

Tapi kenapa oleh pemerintah Turki gerakan Gulen dianggap berbahaya? Di sini analisanya bisa menjadi kompleks. Kenapa yang awalnya sekongsi, akrab dan menyumbang suara besar kepada Erdogan dan AKP sejak 2002 akhirnya harus bercerai? Atau lebihnya tepatnya, kenapa Erdogan meradang dan menuduh mereka sebagai parallel state? Selama tiga tahun di sini, saya sulit menjawabnya karena hal itu “beroperasi di ranah elit”. Tapi setelah kudeta muncul, jika benar bahwa dalangnya adalah mereka dari kelompok Gulen, kita sudah bisa menjawabnya secara mudah!

Untuk itu, perhitungan Erdogan dan mantan P.M Ahmet Davutoglu benar. Mereka tahu betul bahwa orang-orang dari kelompok tersebut sudah “terlalu dalam” berada di setiap sendi negara. Mereka merubungi “tubuh Turki hingga ke jantungnya” dan menjadi duri yang mengganggu roda pemerintahannya.

Padahal kelompok ini secara masif sudah dihabisi sejak tiga tahun terakhir. Mereka yang berada di tubuh kepolisian dicopot, para hakim yang berafiliasi denganya dicokol dan pentolan kelompok mereka ditangkap satu per satu. Yang paling ekstrem dan  mencengangkan adalah ketika media-media (salah satunya misalnya koran Zaman) yang berafiliasi dengan kelompok Gulen diambil alih pemerintah. Di samping itu lahan-lahan bisnisnya pun diberangus. Tetapi kenapa masih mampu menggalang sisa kekuatan di tubuh militer dan melakukan percobaan kudeta? Jelas, alasannya karena kelompok ini sudah begitu dalam dan menggurita di tubuh pemerintahan, lebih-lebih di elit militer.

Dalam tragedi kudeta gagal tersebut, pahlawan utama adalah Erdogan. Kedatangannya ke tengah-tengah rakyat di Istanbul membuat tokoh nomor satu itu menjadi semakin penting keberadaanya di Turki. Dengan lantang Erdogan berjanji akan menyapih habis sisa-sisa kelompok Hizmet. Karena pentolan kelompok sudah terlihat benderang, tinggal dicomot dan dijebloskan ke penjara.

Akhirnya saya bisa berandai-andai: jika saja Erdogan dan pemerintahannya telat menyikapi fenomena parallel state yang berafiliasi dengan Gulen, saya tidak bisa membayangkan gerakan besar apa yang akan terjadi dan sebenarnya menjadi tujuan tersembunyi di balik kelompok tersebut (?), tujuan yang tidak pernah diketahui oleh para jamaahnya di akar rumput!


Bernando J. Sujibto
Penulis dan Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi di Selcuk University, Konya Turki. Sedang merampungkan riset tesis tentang karya Orhan Pamuk. Follow Twitter @_bje.

Silahkan Baca Juga

Previous
Next Post »