Kardan Adam

04.49.00

"Ada percikan darah di sekitar topi berwarna biru itu. Darah di atas putih salju yang mulai menipis. Air mata Amine tiba-tiba mengucur deras."

[Vers'i Cetak Cerita di Suara NTB, 5 Maret 2016]
Anne... anne, aku mimpi baba bawa sekarung teh.”
“Terus?”
“Tapi, baba tidak mau masuk ke rumah.”

Amine terhenyak. Memandang lekat mata Hale yang sepagi itu sudah menyala.

“Apakah baba akan pulang, anne?”

Amine mengangguk. Sangat pelan.

Sementara muka Hale tampak redup. Dia tak pernah tahu di mana keberadaan ayahnya. Pun Amine belum sanggup cerita tentang ayahnya saat ini. Ia menunggu Hale tumbuh sampai dewasa. Saat ini Hale masih tahun kedua ilkokul.

“Tehnya sudah siap, tatlım,” ujar Amine.

Hale langsung menyergap meja tempat biasa mereka minum teh. Tak ada roti. Tak ada peynir. Tak ada zaitun. Hanya segelas teh, sendiri. Aneh. Tak seperti biasanya. Muka Hale merengut. Menabur pandang ke sekeliling. Sementara aku terus mengamati tingkah Hale yang lucu, tapi sendu. Ingin sekali kupeluk erat.

Anne, aku mau sekolah. Sarapanku mana?”
Tatlım, sarapan sebentar lagi. Hari ini sekolah libur.”

Hale menatap jam dinding. Pukul 7.00, saat biasa Hale berangkat ke sekolah diantar ibunya.

Karena hari ini libur lagi, berarti sudah tiga hari Hale tidak masuk kelas. Dua hari sebelumnya, kota Şırnak dihantam badai salju. Setiap turun salju lebat, dengan angin yang kencang, pemerintah kota biasa meliburkan sekolah dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Atas.

Hale menuju jendela, mengintip jalanan belakang rumahnya yang masih diselimuti salju. Kata Mert, teman kelas yang sekaligus tetangga rumahnya, kar tatili hanya dua hari. Dan hari ini sekolah mestinya masuk lagi. Kemarin sore menjelang senja, Hale, Mert dan teman-temannya bermain kardan adam di perempatan jalan, tepat di samping rumahnya.

Hale lalu berlari ke jendela samping.

“Tehnya diminum, tatlım!”
Anneanne… topiku tertinggal di sana,” pekik Hale sambil menunjuk perempatan jalan.

Hale cepat meloncat dari jendela. Ambil jaket, sepatu musim dingin berwarna kuning dan syal. Menuju pintu. Dia tarik daun pintu keras-keras. Terkunci. Dari belakang Amine menyergap tubuh mungilnya.

Tatlım, sekarang sokağa çıkma yasağı!”
“Kenapa?”

Sebelum Amine sempat menjawab, tiba-tiba bunyi tembakan terdengar beruntun, berdentang nyaring dari depan kompleks. Hale melongo. Tak paham apa-apa. Ini kali pertama ada larangan keluar ke jalan sejak Hale lahir. Waktu Amine hamil tua beberapa kali diberlakukan larangan keluar rumah. Sejak saat itu menjadi hari yang buram; nyaris merampas nyawa Hale dan dirinya, ketika terbersit untuk bunuh diri, tepat di hari pertama sokağa çıkma yasağı. Tapi Tuhan ternyata ingin mereka berdua masih bertahan hidup di tengah kota yang bergolak itu.

Sokağa çıkma yasağı kali ini pemerintah Turki menerjunkan pasukan khusus demi misi menumpas gerakan separatis. Kota Sirnak dimasukkan dalam daftar utama kota berpenghuni para pemberontak yang ingin merdeka dari Turki.

Amine lalu memeluk Hale erat-erat. Mencium dan mendekapnya hangat. Ia memalingkan mukanya yang tak lagi bisa menahan air mata. Amine segera membersihkan rembesan air matanya dengan jilbab sebelum Hale sempat melihatnya. Ia juga tak ingin suara-suara peluru di luar sana sampai terus mengancam telinga Hale. Amine memasangkan headset microphone kesukaan Hale berwarna biru. Mereka lalu menonton video cerita anak di Youtube.

Tetapi, setiap ada bunyi letupan peluru, pegangan Hale makin mengikat. Mengepal erat. Seperti ketakutan!
***
Pagi buta, sekitar pukul 5, aku melihat Hale berlari sempoyongan menuju jendela samping yang bisa melihat perempatan jalan tempatnya biasa bermain. Hale belum cuci muka pagi itu. Sementara ibunya masih di tempat tidur. Karena semalaman Amine tidak bisa tidur di tengah rentetan bunyi senapan yang begitu sengit. Semalam suntuk ia melindungi Hale dengan memasangkan headset di kedua telinganya.

Hale menatap topi berwarna biru yang dua hari kemarin tertinggal sewaktu bermain kardan adam bersama teman-temannya. Pagi ini, dia sendirian. Aku ingin menemaninya.

“Apakah tadi malam bermimpi lagi?” tanyaku.

Hale tak menghiraukanku. Dia hanya melihat sekilas, lalu kembali menatap topi musim dingin yang kini masih ada di tengah-tengah gemutih salju.

“Cerita dong, tatlım!”
“Tadi malam aku kembali melihat baba membawa sekarung teh. Tapi baba tidak mau masuk ke rumah. Dia berhenti dan meletakkan sekarung teh di tempat topiku itu,” gumam Hale, tapi tak menghiraukanku.
[Anak-Anak Sedang Membuat Kardan Adam]
Hale kembali melihat jalanan sepi senyap. Sama sekali tak mengerti ada apa yang terjadi di luar sana. Dia hanya tahu sudah dua hari tidak boleh keluar rumah. Hale tiba-tiba menangis sesenggukan.

“Kamu bicara dengan siapa, tatlım?”

Amine merangkul Hale dari belakang. Mencium pipinya yang seperti buah ceri. Ia mulai cemas akan terjadi apa-apa dengan anak semata wayangnya itu.

“Bicara dengan…. dengan itu!” jawab Hale sambil menunjuk ke araku, di meja.

Amine menatap aneh ke arahku.

“Dia mengajakku bermain kardan adam. Mau ambilin topi. Mau melindungiku. Boleh kan, anne?

Roman muka Amine berubah seketika. Ia menatap meja sekali lagi. Aku diam. Amine merangkul Hale lebih erat lagi dan menggendongnya kembali ke kamar tidur. Mata Hale menatapku di sela-sela rambut ibunya yang kali ini tanpa jilbab.
***
“Pasukan khusus yang dıterjunkan pemerintah untuk membersihkan Şırnak dari para separatis berhasil dengan mulus. Tak ada korban nyawa dari pihak keamanan. Sementara itu, puluhan pemberontak tewas. Dalam hitungan hari ke depan, Şırnak akan betul-betul bersih dari kelompok separatis.”

Berita dari saluran televisi milik pemerintah di ruang sebelah terdengar cukup nyaring. Siapa yang menaruh saluran ke TRT1? Ini pasti kerjaan Hale tadi, sebelum ditinggal tidur. Dari luar, dentum peluru beradu dengan suara televisi.
***
Larangan keluar rumah sudah tiga hari berlangsung. Pagi sekali, pada jam yang sama, Hale kembali berlari ke jendela. Menatap topi musim dingin yang tergeletak di persimpangan jalan itu. Salju hari ini sudah tipis. Aku kembali menyapa Hale dengan lembut. Sebelum membalas, dia tiba-taba menjerit melengking. Berlari ke arahku di meja, menutup matanya dengan kedua tangannya. Tangisnya makin histeris. Tak menghiraukan omonganku lagi.

Amine terkejut dan sontak berlari dari kamar tidur. Tubuh kecil itu dipeluk, matanya diusap dengan telapak tangannya, lalu diciumnya.

Anneanneanne!” jerit Hale sembari menggerak-gerakkan tangannya ke jendela.

Amine langsung menghampiri jendela dan menatap ke luar. Seketika tangan Amine menutup mata Hale dan meleluknya. Erat di dadanya. Ada percikan darah di sekitar topi berwarna biru itu. Darah di atas putih salju yang mulai menipis. Air mata Amine tiba-tiba mengucur deras. Tapi segera dibalut dengan kerudung tipisnya.
***
Amine sudah menutup rapat semua jendela. Hale tak berani lagi melihat halaman. Dia hanya duduk di meja, menonton video dan sesekali bercakap-cakap denganku.

Sudah lima hari penduduk kota itu dilarang keluar rumah. Tapi hari ini kabarnya, larangan itu akan segera dicabut. Karena semua pemberontak yang sembunyi di sekitar kompleks itu sudah tewas satu per satu.

Pagi ini, ada tiga gelas the di meja. Buat Hale, Amine dan yang satu lagi adalah segelas teh yang diseduh lima hari kemarin. Setiap minum teh, Hale membayangkan bahwa teh itu adalah kiriman dari ayahnya, lewat mimpi-mimpinya.
[Salah Satu Kondisi Rumah di Şirmak. Foto +Anadolu Agency]
Tatlım, kamu sangat menyukai teh yang dibawa ayahmu. Aku adalah teh yang dibawa ayahmu sebelum tertembak di halaman, tempat kamu biasa bermain kardan adam, ketika malam-malam dia datang dari membeli sekarung teh selundupan di perbatasan Irak, tepat di hari pertama sokağa çıkma yasağı lima tahun silam. Ayahmu hanya penjual kaçak çay, teh yang kamu minum ini!”

Secepat kilat kedua tangan mungilnya menyergap segelas teh yang tersisa dan menenggaknya seketika.

Tatlım, itu teh basiiiii!” teriak ibunya, tapi terlambat. Teh itu sudah habis.

Hale lalu menangis sesenggukan.
Suaranya tersengal-sengal.

Turki, winter 2015

Bahasa Turki:

Anne: Ibu
Baba: Aya
Tatlım: Manisku (biasanya dipakai untuk anak-anak atau kekasih/pacar
İlkokul: Taman Kanak-KanakPeynir : Keju khas Turki (untuk sarapan)
Kardan adam: Boneka salju (permainan di negara-negara yang mempunyai salju)
Kar tatili: Liburan karena salju
Kaçak çay: Arti harfiah “teh selundupan.” Di Turki istilah ini menjadi stigma untuk suku Kurdi yang biasa bertransaksi teh dari Irak atau Suriah. Istilah ini hanya ada di Turki bagian timur. Banyak isu menyebar bahwa teh jenis ini dijual dan hasilnya untuk mendukung finansial gerakan kelompok separatis di Turki.
Sokağa Çıkma Yasağı: “Dilarang keluar ke jalan.” Kebijaan seperti ini berlaku ketika pasukan keamanan Turki sedang melakukan operasi untuk menumpang para separatis. Biasanya, kebijakan ini hanya diberlakukan di daerah-daerah yang rawan gerakan separais, yaitu daerah Turki timur.


Bernando J. Sujibto,
Menulis cerita, esai dan kolom, juga menulis sejumlah buku. Saat ini sedang merampungkan penelitian tesisnya tentang Orhan Pamuk untuk Program Pascasarjana Sosiologi di Selcuk University, Konya Turki. Berceloteh di @_bje.

Silahkan Baca Juga

Previous
Next Post »