Perkara Prosa di Turki

17.46.00

"Proyek modernisasi Turki di bawah Mustafa Kemal salah satunya mereproduksi kosakata asli bahasa Turki kuno (öztürkçe) atau Prancis untuk menggantikan kosa kata Arab dan Persia yang paling dominan. Dalam praktiknya, öykü lebih banyak digunakan tinimbang hikaye."

[Contoh Öykü dalam Malajah Online http://hayatedebiyat.com/]
Menjelang masa-masa akhir di Turki, saya tengah “bersitegang” dengan pemahaman (dan pengetahuan) diri saya sendiri. Pemicunya adalah perkara prosa di Turki, khususnya cerita pendek. Setelah cukup intens berkenalan dengan sastra Turki lewat Orhan Pamuk melalui genre novel, mau tidak mau saya harus berkencan lebih dekat dengan sejarah sastra mereka sendiri. Dan bertemulah dengan mahkluk bernama öykü!

Namun sebelum berbincang ihwal öykü, penting sedikit memotret aspek historis sastra Turki modern. Secara historis, ada periode urgen dalam sejarah sastra Turki, yaitu transisi dari masa Ottoman ke era Republik. Sejarah revolusi (inkilap tarihi) tersebut tak hanya fokus pada transisi politik dan pemerintahan, tetapi aspek kebudayaan termasuk bidang seni dan sastra digunakan sebagai media untuk mendukung visi demi melengkapi perkakas ideologisasi mereka, menjadi Turki modern. Karena, dalam praktiknya, tetek bengek ideogolis (yang awalnya adalah proyeksi politik) akan tercelup basah pada tubuh kebudayaan—resepsi dan memori masyarakat itu sendiri.

Nah, ada lubang serius yang harus ditanggung oleh proyek yang tak selesai ini. Efek paling kentara yang mudah dijumpai hari ini adalah perkara prosa, khususnya terkait dengan cerita pendek di Turki. Kita yang datang dari tradisi sastra (dipengaruhi) Barat akan terkejut ketika berhadapan dengan cerita pendek Turki hari ini. Aturan dan pakem yang dipakai oleh penulis cerita pendek dunia nyaris tak dihiraukan, seperti jumlah halaman dan unsur intrinsik (khususnya alur, latar, dan penokohan).

Memang, belum ada definisi final untuk jenis prosa fiksi bernama cerita pendek ini. Tetapi, meminjam istilah Edgar Allan Poe, “harus selesai dibaca sekali duduk”, secara tersirat ingin menghadirkan konsensus ihwal jumlah tulisan dan kebutuhan terhadap durasi, tentu dengan mengakomodasi sejumlah karakteristik cerita pendek seperti eksposisi plot, setting, karakter, konflik, dan sekaligus jumlah halaman.

Dalam literatur sastra Turki modern, ada dua istilah untuk prosa fiksi: roman (novel) atau öykü. Buku berjenis roman adalah cerita panjang yang kita kenal sebagai novel. Tetapi, dalam öykü kita akan dihadapkan kepada suatu problem. Karena dalam praktiknya, öykü ternyata dipakai secara bebas oleh para penulis prosa untuk menamakan jenis tulisan cerita (selain novel). Di luar itu, ada satu lagi--meski tak banyak disebut dalam konteks susastra--yaitu masal, jenis cerita fantasi dan cerita rakyat (Anatolia) yang biasanya khusus untuk anak-anak. Artinya, bentuk-bentuk cerita (apa pun) selain roman kemudian dengan mudah dikelompokkan ke dalam öykü atau hikaye! Baik cerita yang hanya terdiri dari dua kalimat (yang saya pikir awalnya adalah puisi), flash fiction, atau short story, digolongkan dalam satu istilah: öykü. Simak misalnya öykü yang terdiri dari dua kata karya Hasan Harmancı berjudul Dervis ile Ermis (Menjadi Sufi bersama Darwish) di bawah ini:

Dervis ile Ermis
-Masallah
-Estagfirullah

Di Turki, Anda cukup bilang öykü untuk mencari jenis karya sastra berupa cerita pendek. Kata öykü asli dari bahasa Turki yang berarti cerita, hikaye (Arab) atau dastan (Persia). Sampai sekarang ketiga istilah tersebut masih dipakai dalam bahasa Turki meski kata dastan (Turki: destan) mempunyai konotasi berbeda, yaitu dipakai untuk menyebutkan novel dan kisah-kisah epik, misalnya karya Orhan Pamuk terbaru Kafamda bir Tuhaflık (2014).

Meskipun istilah hikaye dan öykü sama-sama dipakai, öykü lebih akrab dengan para penulis cerita pendek dan pembaca sastra Turki. Menurut Kahraman (2015), istilah öykü diproduksi dari bahasa Turki sejak tahun 1930, kemudian dipakai dalam penulisan cerita pendek. Seperti diketahui, proyek modernisasi Turki di bawah Mustafa Kemal salah satunya mereproduksi kosakata asli bahasa Turki kuno (öztürkçe) atau Prancis untuk menggantikan kosa kata Arab dan Persia yang paling dominan. Dalam praktiknya, öykü lebih banyak digunakan tinimbang hikaye.

Penulis-penulis cerita pendek (öykücü) era akhir Ottoman dan awal Republik Turki yang berkiblat ke Eropa dan Amerika adalah Ahmet Mithat (1844-1912), Huseyin Gurpinar (1864-1944), Halit Ziya (1866-1945), Yakup Kadri (1889-1974), dan Refik Halit (1888-1965). Bagi mereka, era tanzimat, sebuah gerakan reformasi untuk memodernisasi sistem internal pemerintahan Ottoman tahun 1839-1876, diyakini menjadi fondasi yang memengaruhi mereka dalam berkarya.
[Öykü dalam Majalah Sastra Mahalle Mektebi, Edisi No. 26, November-Desember 2015]
Yang menarik, modernisasi terhadap sastra Turki klasik—perpaduan dua khazanah peradaban besar Arab dan Persia—bertahan hingga dekade 1970-an ketika Ferit Edgü menulis cerita fenomenal berjudul Dendam yang hanya berisi empat kalimat. Setelah itu, kebebasan bercerita dengan öykü akhirnya kembali menyeruak lepas. Untuk mewadahi ledakan ini, kritikus sastra Turki seperti Ramazan Korkmaz (2007) bekerja mengelompokkan ke dalam istilah kücürek öykü, öykücük, kıpkısa öykü, dan semacamnya yang artinya: cerita mini. Tetapi istilah-istilah itu tidak laku. Penulis ataupun pembaca sastra cukup menyebut öykü untuk menamai jenis cerita yang beragam tersebut. Misalnya lihat cerpen-cerpen yang diterbitkan oleh majalah sastra Varlık, salah satu majalah sastra Turki paling tua (terbit 1933), ataupun Hece Öykü dan Sözcükler. Mereka ikut memberikan ruang kepada cerita-cerita super-pendek yang hanya berisi satu halaman.

Melalui öykü, penulis-penulis prosa Turki kembali menemukan kebebasan untuk mengekspresikan khazanah sastra klasik mereka, misalnya bentuk-bentuk humor dan satire yang ditulis oleh Nasruddin Hoja. Gaya-gaya bercerita yang ratusan tahun sudah menyatu dengan kultur Turki seperti bentuk mesnavi (misalnya cerita-cerita mini dalam Masnawi karya Jalaluddin Rumi), gazel dan kaside (seperti gaya Divan Kabir-nya Rumi) pun akhirnya kembali diadopsi dalam karya-karya penulis cerpen dewasa ini.
[Penulis Buku Bahane Prof. Dr. Köksal Alver. Foto @konhaber.com]
Sebagai contoh, saya ingin menunjukkan buku kumpulan cerpen berjudul Bahane yang terbit akhir tahun 2015. Kumpulan öykü karya Prof. Dr. Koksal Alver (profesor sosiologi-cum sastrawan) ini memuat 23 cerita hanya dengan tebal hanya 94 halaman (!), dan dicetak dengan ukuran seperti buku saku. Yang menganut “standar cerpen” hanya ada 4 cerita. Yang lain rata-rata berkisar 1–2 halaman per cerita. Bahkan ada cerita yang cuma terdiri dari satu paragraf, misalnya Hikayeci (Tukang Cerita), Eskiyen (Basi), dan Yorgun Yazar (Penulis yang Lelah). Buku Alver ini menghadirkan sebuah percobaan literasi berupa permainan kata dalam membentuk irama kalimat. Cerita berjudul Avare (Kosong) tersusun dari frasa dengan akhiran seirama ken atau iken (arti: ketika). Nyaris seperti puisi lirik yang kita kenal!

Untuk membentuk irama akhir dalam sebuah kalimat, bahasa Turki mempunyai keunggulan karena mempunyai kata akhiran yang kaya. Nyaris semua kalimat dalam bahasa Turki bisa dimengerti karena faktor ini. Bernd Brunner (2015) menyebut bahasa Turki sebagai agglutinative language (eklemeli bir dil), yaitu bahasa yang banyak disusun dengan imbuhan. Bahasa Turki memainkan peran imbuhan tengah dan akhir yang memudahkan penulis membentuk irama sedemikian kaya.

Semakin dalam saya membaca sastra Turki (khususnya cerita pendek), ketegangan yang saya alami semakin memuncak. Perkembangan cerita pendek di Turki telah mengalami peluberan yang luar biasa. Bahkan tanpa batasan saklek yang mengikat kreativitas mereka. Mereka mempunyai kebebasan menulis öykü tanpa melihat pakem dan unsur-unsur dasar dalam cerita pendek itu sendiri. Ini tentu saja bisa dilihat sebagai sebuah kefatalan, tetapi bisa juga dinilai sebagai justifikasi sebuah gerakan yang harus diwadahi secara proporsional.

Akhirnya, di mata pembaca cerita pendek dengan standar yang berkembang secara global (dari Poe, Maupassant, Borges, O. Henry, Munro, hingga Budi Darma dan Seno Gumira Adjidarma), öykü yang berkembang di Turki modern tengah mengalami kegamangan (dan bahkan ambiguitas): antara mengikuti pakem Barat atau kembali menggali dan mengembangkan khazanah sastra lokal mereka dengan menganggit kembali cerita-cerita mini yang berkembang pesat di kalangan para sufi.

Tulisan ini sebelumnya dimuat di Basabasi.co


Bernando J. Sujibto,
Menulis cerita, esai dan kolom, juga menulis sejumlah buku. Saat ini sedang merampungkan penelitian tesisnya tentang Orhan Pamuk untuk Program Pascasarjana Sosiologi di Selcuk University, Konya Turki. Berceloteh di @_bje.

Silahkan Baca Juga

Previous
Next Post »