Ziarah ke Museum of Innocence

18.20.00

"Ini betul-betul kisah cinta yang tak wajar (atau bahkan keparat), dan memang begitulah cinta: menyelipkan kisah-kisah unik masing-masing."

[Menanjak dari Tophane ke Museum. Foto +Bernando J. Sujibto]
Suatu siang menjelang sore hari Jumat, 29 Agustus 2014, tepat 39 tahun setelah cerita cinta yang rapuh dan sintimentil ini mulai ditulis oleh Orhan Pamuk—yaitu seperempat menuju pukul 3 suatu sore hari Senin, 26 May 1975—dalam novel berjudul Museum Kepolosan, saya menjadi pengunjung ke-9.304 di sebuah museum yang mengabadikan kisah cinta antara Kemal dengan Füsun itu. Saya berziarah ke museum ini dengan merangkul novel Masumiyet Müzesi versi Turki di dada. Saya mengikuti anjuran Kemal Basmacı, tokoh protagonis, yang meminta kepada segenap pembaca agar senantiasa mendekap novel ini di dada masing-masing apabila ingin berziarah ke tengah lokus kepolosan cinta yang menjelma menjadi simbol dan artefak dalam bentuk koleksi-koleksi di sebuah museum dengan nama yang sama: Museum of Innocence.

Bagi mereka yang lebih dulu selesai membaca novelnya, berkunjung ke Museum of Innocence adalah sebentuk ziarah untuk merasai luka perih dan ketulusan kisah cinta fiktif yang pernah dialami oleh seorang tokoh cerita bernama Kemal. Kemal nyaris menyerahkan masa-masa produktif hidupnya untuk cinta, dari tahun 1975 hingga 1984, dan setelah itu pun ia harus menanggung ketololan cinta yang menyesatkan dirinya dalam keindahan dan kebahagian yang menyakitkan. Ini betul-betul kisah cinta yang tak wajar (atau bahkan keparat), dan memang begitulah cinta: menyelipkan kisah-kisah unik masing-masing. Fragmen dalam Museum of Innocence mengingatkan saya kepada kisah-kisah cinta paling fenomenal di jagat raya: Layla & Majnun­-nya Nizami Ganjavi, Lolita-nya Vladimir Nabokov dan Love in The Time of Cholera milik Gabriel García Márquez.
[Jalan Curam dari Taksim ke Museum. Foto +Bernando J. Sujibto]
Kemal menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri. Ketika Füsun masih berada di sampingnya dan menjadi “milik” Kemal, kebahagiaan adalah ketika menikmati kehalusan kulit, rambut dan lehernya yang jenjang; ketika Füsun menghilang pergi bersama keluarganya entah kemana, kebagiaan adalah ketika Kemal memandangi objek-objek yang pernah disentuh Füsun, aroma-aroma yang melekat di sana dan sebuket kenenangan yang melumurinya, juga jalan-jalan berundak di kota Istanbul yang pernah dilaluinya; ketika Füsun ditemukan kembali dari pengasingan dan tenyata sudah bersuami, kebahagiaan adalah ketika Kemal dapat mengunjunginya tiga kali seminggu (untuk makan malam dan minum teh) selama kurang lebih delapan tahun; dan ketika Füsun meninggal akibat kecelakaan, kebahagiaan bagi Kemal adalah kemampuan merasakan dan menikmati luka dan perih yang dialami Füsun.

Sebelum masuk ke dalam gedung museum, sebaiknya kita menikmati sebentuk bangunan tua dengan gaya asitekstur Prancis awal abad 19. Gedung yang berdiri tepat di ujung gang jalan Dalgıç itu menunjukkan siapa Füsun dan keluargnya, sebuah cermin kehidupan sederhana. Meskipun Kemal berasal dari keluarga kelas atas dan kaya raya di Istanbul, pilihan Pamuk membeli bangunan lantai tiga seadanya dengan kesan klasik dan tak luas itu menegaskan suatu potret kehidupan sosial-ekonomi Istanbul tahun 1970-an yang selaras dengan latar belakang dan kondisi riil seperti tergambar dalam novel. Pengunjung yang telah membaca novel akan menemukan keserasian antara cerita dan realisasi Pamuk dalam bentuk aktual.
[Museum of Innocence. Foto +Bernando J. Sujibto]
Pun bila masuk ke dalam museum kesan klasik tahun 70-an akan menyergap kuat. Objek-objek yang dibikin tua atau dokumen-dokumen yang memang hanya ada di tahun-tahun itu, seperti kover film, halaman koran dan majalah, dokumen imigrasi, foto, bungkusan rokok dan botol minuman misalnya dibingkai dalam sentuhan muram dan sayu—sebuah nuansa melankolia—demi menghadirkan narasi perih ihwal kisah cinta yang menyiksa.  

Di lantai pertama, setelah menyaksikan objek paling masif berupa puntung rokok yang berjumlah 4.213, kenangan yang paling dihayati Kemal karena setiap puntung rokok adalah ekspresi emosi yang intens (yoğun bir duygunun dışavurumudur) dari setiap momen yang melingkupi dunia Füsun. Kemal mengerti nuansa emosi gadis pujaannya dengan cara bagaimana ia menyalakan, menghisap dan sekaligus mematikan rokoknya; apakah ia meletakkan puntung rokok di asbak dengan lamat-lamat penghayatan atau tergesa-gesa melempitnya begitu saja, atau bahkan mencampakkannya ke luar jendela. Detail-detail masif dan intens begini kerapkali berkonsekwensi kepada ketaklogisan kisah cinta antara Kemal dan Füsun. Dalam diri Füsun pun demikian, meski tidak banyak dieksplor secara detail masif oleh Pamuk. Misalnya, karena sudah berjanji kepada Kemal sejak awal percintaannya bahwa Füsun tidak akan berhubungan intim dengan siapa pun, ternyata selama lebih lima tahun menikah ia tak sekali pun bersetubuh dengan sang suami. Tiba-tiba jiwa Kemal seperti melolong ketika mendengar fragmen yang sulit masuk akal ini. Ternyata, dalam diri Füsun terbenam kenangan cinta yang tak kalah hebat bergelora dan mengejutkan Kemal.
[Koleksi dalam Museum. Foto +Bernando J. Sujibto]
Habitus Melankolia

Saya dengan mudah menengarai bahwa novel ini adalah lokus dari melankolia yang mencerminkan karya-karya Pamuk tentang Istanbul ataupun yang disebut sendiri dalam esai-esai otobiografinya, misal dalam buku "Istanbul: Hatılar ve Şehir" atau "Manzaradan Parçalar" dan "Öteki Renkler" (dua buku yang memuat esai-esai dan kronik kehidupan dan pemikiran Pamuk). Pamuk seolah ingin menerjemahkan konsep melankolia seperti terjadi pada diri Kemal. Dia tidak berhenti sebagai agen personal yang menanggung kemuraman—dalam konteks novel ini melalui kisah cinta—tetapi, ternyata keluarga Kemal pun, khususnya sang ayah, mengalami fase keterputusan kultur dari marwah keluarga yang diejawantahkan dengan serangkaian perselingkuhan. Di lingkungan sekitar Kemal, teman-teman bermainnya, potret kesuraman dan kehilangan akan akar dan identitas sejarah sangat jelas dihadirkan Pamuk melalui dua wajah: Islam dan Barat, meskipun kehidupan sekuler Eropa lebih dominan dalam novel-novel Pamuk, termasuk novel ini.

Latar belakang kehidupan sosial Istanbul dalam novel ini adalah potret yang nyaris utuh ihwal habitus melakolia itu sendiri. Saya bersepakat dengan Norbert Bugeja dalam bukunya Postcolonial Memoir in the Middle East: Rethinking the Liminal in Mashriqi Writing ketika coba mendifinisikan bahwa melankolia (hüzün) is not the melancholy of a solitary person, but the black mood shared by millions of people together, will in the last instance transcend the individual per se in order to encompass the entire socius (Bugeja, 2012:126). Sementara itu, Pamuk sendiri dengan jelas mengatakan bahwa hüzün adalah state of mind yang merasuk ke dalam laku sosial (Pamuk, 2008:82) dan memungkinkan orang banyak (people of the city) menghadapi hal yang sama: kehilangan dan perubahan sebagai fenomena sejarah.
[Koleksi Karya Pamuk dari Berbagai Bahasa. Foto +Bernando J. Sujibto]
Kepiawaian Pamuk dalam membenturkan peradaban Barat dan Timur dengan intensitas yang tinggi adalah pioner bagi penulis novel sastra Turki sendiri. Penulis-penulis hebat seperti Ahmet Hamdi Tanpınar, yang digadang-gadang sebagai peletak dasar novel postmodern dalam sastra Turki, Sabahattin Ali ataupun Yaşar Kemal misalnya, tak seistimewa Pamuk ketika mendalami aspek-aspek historisitas untuk menemukan originalitas dari kehilangan demi kehilangan ihwal kultur dan tradisi Turki itu sendiri. Pamuk begitu gagah menghancurkan kerigidan sejarah dengan intervensi aspek-aspek fiksional dan karena keistimewaan aspek-aspek fiksional pada tubuh sejarah terciptalah konstruksi fiksi-dari-sejarah yang tersusun sebagai dunia baru dan mencengangkan. Ia bergumul dengan impresi-impresi kehilangan dari dinamika sejarah Turki lalu menambalnya dengan fiksi. Kehilangan yang menjadi lokus Pamuk dengan menyelam secara tekun ke dalam sejarah masa lalunya lalu dihadirkan ke dalam komposisi hibriditas untuk mendengungkan kebudayaan Turki melalui tema habitus melankolia, adalah proyek original yang dapat dijumpai dan sekaligus diperdebatkan dalam karya-karyanya.

Ada banyak anomali dalam aspek kultural dan politik yang dapat ditemui dalam novel ini dan sekaligus saya rasakan sendiri setelah satu tahun lebih tinggal di Turki. Seperti kasus-kasus birokrasi dan penyuapan, korupsi, perselingkuhan, jaringan bisnis hitam dan kasus nasabah bank. Sejatinya Pamuk bukan omong kosong menghadirkan sedemikian rigid kehidupan Istanbul dan Turki dalam karya-karyanya. Rekaman-rekaman historisitas yang begitu dalam dan menuntut totalitas dan intensitas kerja dari seorang penulis tertuang secara brilian dalam karya-karyanya. Namun sayang sekali semua karya besar yang dihasilkan Pamuk diabaikan oleh mayoritas rakyat Turki. Mereka dilampaui rasa sakit karena pernyataan kontoversial Pamuk pada sebuah wawancara di majalah yang terbit di Swiss ihwal genosida bangsa Armenia setahun sebelum dirinya didapuk hadiah Nobel Sastra pada tahun 2006.

Akhirnya, keluar dari museum dengan setangkup konklusi tentang konstelasi kebesaran sejarah dan kehilangan, kebahagiaan dan penderitaan, kesuraman dan sekaligus harapan adalah sebuah keniscayaan. Museum Kepolosan ini adalah rumah kecil yang berisi narasi melankolia dari sudut pandang seorang pecinta, di mana di waktu yang bersamaan dia bersentuhan dengan sejarah, sosial, politik dan ekonomi sebagai ruang lingkup habitus. Dari aspek ini, koleksi-koleksi dalam museum dan kisah-kisah cinta dalam novel The Museum of Innocence adalah eksemplar untuk merepresentasikan habitus melenkolia sebagai proyek dan topik utama dalam memperbincangkan karya-karya Orhan Pamuk.
Versi cetak dimuat di Jawa Pos22 Februari 2015


Bernando J. Sujibto Penulis dan Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi di Selcuk University, Konya Turki (2014-2016). Mengambil konsentrasi Sosiologi Sastra dan melakukan penelitian untuk karya-karya Orhan Pamuk. Menerjemahkan karya-karya sastra Turki ke dalam Bahasa Indonesia. Twitter @_bje.

Silahkan Baca Juga

Previous
Next Post »